Terima kasih

Terima kasih sudah berkunjung di blog saya ;)

Sunday, June 10, 2012

Theory Mudhorobah

THEORY MUDHOROBAH



KATA PENGANTAR



Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan petunjuk dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berjudul “MUDHARABAH”.

Penulis menyadari dalam rangka penyusunan makalah ini tidak mungkin terwujud tanpa adanya perhatian serta bimbingan dari berbagai pihak, maka untuk itu penulis ucapkan terima kasih kepada seluruh dosen yang telah membimbing, mendidik, serta memberikan perhatian dan motivasi kepada penulis,semua teman-teman seperjuangan STEI Tazkia angkatan 2010, serta semua pihak yang mohon maaf tidak bisa dituliskan satu persatu yang telah banyak memberikan dukungan dan dorongannya dalam penyusunan makalah ini.

Atas segala bimbingan dan bantuan baik moril maupun material penulis sampaikan  jazakumullahu khairon katsiron. Amin.

 Bogor, 12 Oktober 2011




Tim Penulis




BAB I

PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang


Menurut Murinde, Naser dan Wallace, bentuk khusus kontrak keuangan yang telah dikembangkan untuk menggantikan mekanisme bunga dalam transaksi keuangan Islam (syari’ah) adalah mekanisme bagi hasil atau mudharabah. Hal ini sesuai dengan pandangan Warde (2000) dan Mallat (2000) yang menyatakan, bahwa mekanisme bagi hasil ini merupakan core product bagi lembaga keuangan syari’ah, seperti bank syari’ah. Sebab bank syari’ah secara eksplisit melarang penerapan tingkat bunga pada semua transaksi keuangannya.
Hal yang terpenting adalah fungsi-fungsi dari bank-bank modern saat ini, yaitu pengumpul modal dalam skala besar melalui tabungan dan pengalihan modal tersebut kepada para produsen dan usahawan, penerima deposito, pinjaman kepada orang-orang yang membutuhkan dana, pengadaan berbagai fasilitas dan pelayanan kepada masyarakat umum sebagaimana yang diberikan kepada usahawan.
Selain itu bank juga dapat menghasilkan uang dan menyediakan kredit. Tindakan bank merupakan hal terpenting dalam menentukan naik-turunnya total persediaan uang dalam suatu perekonomian dan ini mempengaruhi harga barang dan jasa, tingkat aktivitas ekonomi secara umum dan ketenagakerjaan serta pendapatan. Mengingat secara lebih terperinci tentang bagaimana sistem tersebut dapat diorganisasikan dengan berdasarkan kemitraan usaha dan pembagian hasil sehingga memenuhi fungsi-fungsinya tanpa menimbulkan kejahatan-kejahatan yang terdapat dalam perbankan berdasarkan bunga.
Menjadi suatu kewajiban bagi para ahli ekonomi Islam menjelaskan peraturan-peraturan tentang ketentuan syirkah mudharabah secara terperinci berdasarkan prinsip-prinsip Islam, sehingga kebiasaan-kebiasaan usaha berfungsi secara harmoni supaya dapat memenuhi tuntutan zaman modern. Dengan itu semua, risiko ketidakpercayaan dan kecurigan dapat dikurangi, dan untuk itu harus ada ketentuan-ketentuan yang baik dan jelas dari pendapat-pendapat yang dapat dijadikan pegangan. Bagaimana jika timbul suatu masalah dalam hubungan bisnis, di mana satu pihak melanggar ketentuan-ketentuan kontrak atau melakukan kejahatan terhadap bunga pihak lain melalui kecurangan, penipuan, merusak kepercayaan, sementara pihak lain menjalankan ketentuan kontak yang ada, ini merupakan pertanyaan lain yang timbul di luar dari cakupan pendapat yang ada.
Untuk menjelaskan secara terperinci tentang tinjauan hukum syariah tentang syrikah-mudharabah telah dilakukan keterangan dari empat orang ahli fiqh yang ternama yaitu Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali.Keempatnya memberikan dukungan sepenuhnya atas usaha reorganisasi perbankan dengan berdasarkan syirkah mudharabah.

1.2 Tujuan Penulisan

Berdasarkan latar belakang masalah dan pembahasan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka ada beberapa tujuan yang ingin penulis capai dalam penyusunan makalah ini. Tujuan-tujuan tersebut yaitu untuk mengetahui :
1.      Pengertian Mudharabah
2.      Hukum Mudharabah
3.      Hikmah Mudharabah
4.      Jenis-jenis Mudharabah
5.      Syarat dan Rukun Mudharabah

1.3 Rumusan Masalah

Adapun masalah yang akan penulis bahas lebih lanjut dalam karya tulis ilmiah ini adalah:
1.      Apa Pengertian Mudharabah?
2.      Bagaimana Hukum Mudharabah dalam Islam?
3.      Apa Hikmah Mudharabah?
4.      Apa Jenis-jenis Mudharabah?
5.      Apa Syarat dan Rukun Mudharabah?

1.4 Metodologi Penulisan

Metode dalam penulisan karya ilmiah ini adalah metode kualitatif.Penulis menggunakan data-data yang terdapat di perpustakaan, internet, blog dan koleksi pribadi yang kemudian penulis bandingkan dengan teori-teori yang penulis dapatkan.



BAB II

PEMBAHASAN


2.1 Pengertian Mudharabah

Syarikah mudharabah memiliki dua istilah.Yaitu mudharabahdan qiradhsesuai dengan penggunaannya di kalangan kaum Muslimin.Penduduk Iraq menggunakan istilah mudharabahuntuk menyebut transaksi syarikah ini.Disebut sebagai mudharabah, karena diambil dari kata dharb (di muka bumi).Yang artinya, melakukan perjalanan yang umumnya untuk berniaga dan berperang.
Allâh Ta'ala berfirman :
Qs al Muzzammil/73:20
(Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu)
orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allâh;
dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allâh.
(QS al Muzzammil:20)
ungkapanAda juga yang mengatakan diambil dari kata dharb (mengambil) keuntungan dengan saham yang dimiliki.Dalam istilah bahasa Hijaz, disebut juga dengan qiradh, karena diambil dari kata muqaradhah, yang artinya penyamaan dan penyeimbangan. Seperti yang dikatakan,                                        
(dua orang penyair melakukan muqaradhah),
yakni saling membandingkan syair-syair mereka. Adapun yang dimaksud dengan qiradh disini, yaitu perbandingan antara usaha pengelola modal dan modal yang dimiliki pihak pemodal, sehingga keduanya seimbang.
Ada juga yang menyatakan, bahwa kata itu diambil dari qardh, yakni memotong.Tikus itu melakukan qardhterhadap kain, yakni menggigitnya hingga putus. Artinya, dalam masalah ini, pemilik modal memotong sebagian hartanya untuk diserahkan kepada pengelola modal, dan dia juga akan memotong keuntungan usahanya.
Sedangkan menurut para ulama, istilah syarikah mudharabah memiliki pengertian, yaitu pihak pemodal (investor) menyerahkan sejumlah modal kepada pihak pengelola untuk diperdagangkan.Dan pemodal berhak mendapat bagian tertentu dari keuntungan.
Dengan kata lain, mudharabah adalah akad (transaksi) antara dua pihak. Salah satu pihak menyerahkan harta (modal) kepada yang lain agar diperdagangkan, dengan pembagian keuntungan di antara keduanya sesuai dengan kesepakatan. Sehingga mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua pihak atau lebih. Dalam hal ini, pemilik modal (shahib al-Mal atau investor) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan.Bentuk ini menegaskan kerjasama dengan kontribusi 100% modal dari shahib al-Mal dan keahlian (pengelola) dari mudharib.

2.2 Hukum Mudharabah dalam Islam

Para ulama telah sepakat, sistem penanaman modal ini dibolehkan.Dasar hukum dari sistem jual beli ini adalah Ijma’ ulama yang membolehkannya, seperti dinukilkan Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyyah, dan lainnya.
Ibnu Hazm mengatakan,”Semua bab dalam fiqih selalu memiliki dasar dalam al-Qur‘an dan Sunnah yang kita ketahui kecuali qiradh (mudharabah). Kami tidak mendapati satu dasarpun untuknya dalam al-Qur‘an dan Sunnah. Namun dasarnya adalah Ijma’ yang benar.Yang dapat kami pastikan, hal ini ada pada zaman Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam; Beliau mengetahui dan menyetujuinya.Dan seandainya tidak demikian, maka tidak boleh.”
Berkaitan dengan pandangan Ibnu Hazm tersebut, maka Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh mengomentari pernyataan Ibnu Hazm, bahwa :
1.      Bukan termasuk madzhab beliau (Ibnu Hazm) membenarkan Ijma’ tanpa diketahui sandarannya dari Al-Qur‘an dan Sunnah, dan ia sendiri mengakui bahwa ia tidak mendapatkan dasar dalil  mudharabahdalam Al-Qur‘an dan Sunnah.
2.      Ibnu Hazm tidak memandang, bahwa tidak adanya yang menyelisihi adalah Ijma’, padahal ia tidak memiliki disini kecuali ketidak-tahuan adanya yang menyelisihinya.
3.      Ibnu Hazm mengakui persetujuan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam setelah mengetahui sistem mu’amalah ini. Taqrir(persetujuan) Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam termasuk satu jenis sunnah, sehingga (pengakuan Ibnu Hazm) tidak adanya dasar dari sunnah menentang pernyataan beliau tentang taqrir ini.
4.      Jual beli (perdagangan) dengan keridhoan kedua belah fihak yang ada dalam Al-Qur’an meliputi juga qiradh dan mudhorabah.
5.      Madzhab Ibnu Hazm menyatakan harus ada nash dalam Al Qur’an dan Sunnah atas setiap permasalahan, lalu bagaimana disini meniadakan dasar dalil qiradh dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
6.      Tidak ditemukannya dalil tidak menunjukkan ketidak-adaannya.
7.      Atsar yang ada dalam hal ini dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak sampai pada derajat pasti (Qath’i) dengan semua kandungannya, padahal Ibnu Hazm memastikan persetujuan Nabi dalam permasalahan ini.
Demikian juga Syaikh al-Albani rahimahullâh mengkritik pernyataan Ibnu Hazm di atas dengan menyatakan, ada beberapa bantahan (atas pernyataan beliau). Yang terpenting, bahwa asal dalam mu’amalah adalah boleh, kecuali ada nash (yang melarang). Berbeda dengan ibadah; pada asalnya, dalam ibadah dilarang kecuali ada nash, sebagaimana dijelaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh. Qiradh dan mudharabahjelas termasuk yang pertama. Juga ada nash dalam al Qur‘an yang membolehkan perdagangan dengan keridhaan, dan ini mencakup qiradh. Ini semua cukup sebagai dalil kebolehannya dan dikuatkan dengan Ijma’ yang beliau akui sendiri.
Di bagian lain, Ibnu Taimiyyah rahimahullâh menyatakan : “Sebagian orang menjelaskan beberapa permasalahan yang ada Ijma’ di dalamnya, namun tidak memiliki dasar nash seperti mudharabah. Hal itu tidak demikian.Mudharabah sudah masyhur di kalangan bangsa Arab Jahiliyah, apalagi pada bangsa Quraisy.Karena umumnya, perniagaan merupakan pekerjaan mereka.
Pemilik harta menyerahkan hartanya kepada pengelola (‘umaal). Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam sendiri pernah berangkat membawa harta orang lain sebelum kenabian, seperti memperdagangkan harta Khadijah. Juga kafilah dagang yang dipimpin Abu Sufyan, kebanyakan dengan sistem mudharabah dengan Abu Sufyan dan selainnya.
Ketika Islam datang, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menyetujuinya dan para sahabatpun berangkat dalam perniagaan harta orang lain secara mudharabah, dan Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak melarangnya.Sunnah disini adalah perkataan, perbuatan dan persetujuan Beliau. Ketika Beliau menyetujui, maka mudharabah dibenarkan dengan sunnah”.
Hukum ini, juga dikuatkan dengan adanya amalan sebagian sahabat Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, di antaranya yang diriwayatkan dalam al Muwattha‘dari Zaid bin Aslam, dari ayahnya, bahwa ia menceritakan : Abdullah dan Ubaidillah bin Umar bin al Khaththab pernah keluar dalam satu pasukan ke negeri Iraq. Ketika kembali, mereka lewat di hadapan Abu Musa al Asy’ari, yakni Gubernur Bashrah.
Beliau menyambut mereka berdua dan menerima mereka sebagai tamu dengan suka cita. Beliau berkata,”Kalau aku bisa melakukan sesuatu yang berguna untuk kalian, pasti akan aku lakukan,” kemudian beliau berkata: “Sepertinya aku bisa melakukannya. Ini ada uang dari harta Allâh Ta'ala yang akan aku kirimkan kepada Amirul Mukminin. Aku meminjamkannya kepada kalian, untuk kalian belikan sesuau di Iraq ini, kemudian kalian jual di kota al Madinah. Kalian kembalikan modalnya kepada Amirul Mukminin, dan keuntungannya kalian ambil.”
Mereka berkata,”Kami suka (dengan hal) itu,” maka beliau menyerahkan uang itu kepada mereka dan menulis surat untuk disampaikan kepada Umar bin al Khaththab, agar Amirul Mukminin itu mengambil dari mereka uang yang dia titipkan. Sesampainya di kota al Madinah, mereka menjual barang itu dan mendapatkan keuntungan.
Ketika mereka membayarkan uang itu kepada Umar, lantas Umar bertanya: “Apakah setiap anggota pasukan diberi pinjaman oleh Abu Musa seperti yang diberikan kepada kalian berdua?”
Mereka menjawab,”Tidak.”
Beliau berkata,”Apakah karena kalian adalah anak-anak Amirul Mukminin, sehingga ia memberi kalian pinjaman? Kembalikan uang itu beserta keuntungannya.”
Adapun ‘Abdullah, hanya terdiam saja, sementara ‘Ubaidillah langsung angkat bicara: “Tidak sepantasnya engkau berbuat demikian, wahai Amirul Mukminin. Kalau uang ini berkurang atau habis, pasti kami akan bertanggungjawab,”
(Namun) ‘Umar tetap berkata,”Berikan uang itu semuanya.”
‘Abdullah tetap diam, sementara ‘Ubaidillah tetap membantah. Tiba-tiba salah seorang di antara pengawal ‘Umar berkata: “Bagaimana bila engkau menjadikannya sebagai investasi, wahai ‘Umar?”
'Umar menjawab,”Ya. Aku jadikan itu sebagai investasi,”
‘Umar segera mengambil modal beserta setengah keuntungannya, sementara ‘Abdullah dan ‘Ubaidillah mengambil setengah keuntungan sisanya.
Kaum Muslimin sudah terbiasa melakukan kerja sama semacam itu hingga jaman kiwari ini, di berbagai masa dan tempat tanpa ada ulama yang menyalahkannya. Ini merupakan konsensus yang diyakini umat, karena cara ini sudah digunakan bangsa Quraisy secara turun-temurun, dari jaman jahiliyah hingga jaman Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, kemudian Beliau mengetahui, melakukan dan tidak mengingkarinya.

2.3 Hikmah Disyari’atkan Mudharabah

Tentulah sangat bijak, bila pengembangan modal dan peningkatan nilai suatu modal merupakan salah satu tujuan yang disyariatkan.Sementara itu, modal bisa berkembang hanya dengan dikelola dan diperniagakan.Dan tidak setiap orang yang mempunyai harta mampu berniaga.Begitu juga tidak setiap yang memiliki keahlian berdagang mempunyai modal. Maka masing-masing kelebihan itu dibutuhkan oleh pihak lain.
Oleh sebab itu, mudharabah ini disyariatkan oleh Allâh Ta'ala demi kepentingan kedua belah pihak. Islam mensyariatkan kerja samamudharabah untuk memudahkan seseorang, karena sebagian mereka memiliki harta, namun tidak mampu mengelolanya. Ada juga seseorang yang tidak memiliki harta, namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan mengembangkannya. Maka syariat membolehkan adanya kerja sama ini untuk bisa saling mengambil manfaat.
Shahib al mal (investor) memanfaatkan keahlian mudharib (pengelola).Sedangkan mudharib (pengelola) memanfaatkan harta. Maka dengan demikian terwujudlah kerja sama harta dan amal. Allâh Ta'ala tidak mensyariatkan satu akad, kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan.

2.4 Jenis-jenis Mudharabah

Para ulama membagi mudharabah menjadi dua jenis, yaitu:
Pertama.Mudharabah al muthlaqah (mudharabah bebas).Adalah sistem mudharabah, yang dalam hal ini, pemilik modal (shahib al mal atau investor) menyerahkan modal kepada pengelola tanpa pembatasan jenis usaha, tempat dan waktu, ataupun dengan siapa pengelola bertransaksi. Jenis ini memberikan kebebasan kepada mudharib (pengelola modal) untuk melakukan apa saja yang dipandang dapat mewujudkan kemaslahatan.
Kedua.Mudharabah al muqayyadah (mudharabah terbatas).Dalam hal ini, pemilik modal (investor) menyerahkan modal kepada pengelola dan menentukan jenis usaha, tempat, waktu, ataupun pihak-pihak yang dibolehkan bertransaksi dengan mudharib.
Persyaratan pada jenis yang kedua ini diperselisihkan para ulama mengenai keabsahannya. Namun yang rajih, pembatasan tersebut berguna dan sama sekali tidak menyelisihi dalil syar’i, karena hanya sekedar ijtihad dan dilakukan berdasarkan kesepakatan dan keridhaan kedua belah pihak, sehingga wajib ditunaikan. Demikianlah yang dirajihkan oleh penulis kitab al Fiqh al Muyassar, halaman 187.Perbedaan antara keduanya terletak pada pembatasan penggunaan modal sesuai permintaan investor.

2.5 Syarat dan Rukun dalam Mudharabah

Pengertian syarat dalam mudharabah adalah, syarat-syarat yang ditetapkan salah satu pihak yang mengadakan kerjasama berkaitan dengan mudharabah, meliputi dua syarat :
Pertama.Syarat yang shahih (dibenarkan), yaitu syarat yang tidak menyelisihi tuntutan akad dan tidak pula menyelisihi tujuannya, serta memiliki maslahat (kebaikan) untuk akad tersebut.Contohnya, pemilik modal mensyaratkan kepada pengelola agar tidak membawa pergi harta tersebut ke luar negeri atau membawanya ke luar negeri, atau melakukan perniagaannya khusus di negeri tertentu atau jenis tertentu yang mudah didapatkan.Menurut kesepakatan para ulama, syarat-syarat yang demikian ini dibenarkan dan wajib dipenuhi, karena terdapat kemaslahatan dan tidak menyelisihi tuntutan maupun maksud akad perjanjian mudharabah.
Kedua.Syarat yang fasad (tidak benar). Syarat ini terbagi tiga:
a.       Syarat yang meniadakan/menghapus tuntutan konsekwensi akad, seperti mensyaratkan tidak membeli sesuatu atau tidak menjual sesuatu atau tidak menjual, kecuali dengan harga modal atau di bawah modalnya. Syarat ini disepakati ketidak benarannya, karena menyelisihi tuntutan dan maksud akad kerja sama, yaitu mencari keuntungan.
b.      Syarat yang bukan dari kemaslahatan dan tuntutan akad, seperti mensyaratkan kepada pengelola untuk memberikan mudharabah kepadanya dari harta yang lainnya.
c.       Syarat yang berakibat tidak jelasnya keuntungan. Misalnya, mensyaratkan kepada pengelola pembagian keuntungan yang tidak jelas, atau mensyaratkan keuntungan satu dari dua usaha yang dikelola. Keuntungan usaha ini untuk pemilik modal, dan yang satunya untuk pengelola. Atau menentukan nilai satuan uang tertentu sebagai keuntungan. Syarat ini disepakati kerusakannya, karena mengakibatkan keuntungan yang tidak jelas dari salah satu pihak, atau bahkan tidak mendapatkan keuntungan sama sekali. Dengan demikian, maka akadnya batal.
RUKUN AL MUDHARABAH
Al Mudharabah seperti usaha pengelolaan usaha lainnya memiliki tiga rukun:
1.      Adanya dua atau lebih pelaku yaitu investor (pemilik modal) dan pengelola (mudharib).
2.      Objek transaksi kerja sama yaitu modal, usaha dan keuntungan.
3.      Pelafalan perjanjian.
Sedangkan imam Al Syarbini dalam Syarh Al Minhaaj menjelaskan bahwa rukun Mudharabah ada lima, yaitu Modal, jenis usaha, keuntungan, pelafalan transaksi dan dua pelaku transaksi. Ini semua ditinjau dari perinciannya dan kembali tiga rukun di atas.
Rukun pertama: adanya dua atau lebih pelaku.
Kedua elaku kerja sama ini adalah pemilik modal dan pengelola modal. Disyaratkan pada rukun pertama ini keduanya memiliki kompetensi beraktifitas (Jaiz Al Tasharruf) dalam pengertian mereka berdua baligh, berakal, Rasyid dan tidak dilarang beraktivitas pada hartanya. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa keduanya harus muslim atau pengelola harus muslim, sebab seorang muslim tidak ditakutkan melakukan perbuatan riba atau perkara haram. Namun sebagian lainnya tidak mensyaratkan hal tersebut, sehingga diperbolehkan bekerja sama dengan orang kafir yang dapat dipercaya dengan syarat harus terbukti adanya pemantauan terhadap aktivitas pengelolaan modal dari pihak muslim sehingga terlepas dari praktek riba dan haram.

Rukun kedua: objek transaksi
Objek transaksi dalam Mudharabah mencakup modal, jenis usaha dan keuntungan.
a.       Modal
1.      Modal harus berupa alat tukar/satuan mata uang (Al Naqd) dasarnya adalah ijma’ atau barang yang ditetapkan nilainya ketika akad menurut pendapat rojih.
2.      Modal yang diserahkan harus jelas diketahui.
3.      Modal yang diserahkan harus tertentu.
4.      Modal diserahkan kepada pihak pengelola modal dan pengelola menerimanya langsung dan dapat beraktifitas dengannya.
Jadi dalam Mudharabah disyaratkan modal yang diserahkan harus diketahui dan penyerahan jumlah modal kepada Mudharib (pengelola modal) harus berupa alat tukar seperti eas, perak dan satuan mata uang secara umum.Tidak diperbolehkan berupa barang kecuali bila ditentukan nilai barang tersebut dengan nilai mata uang ketika akad transaksi, sehingga nilai barang tersebut yang menjadi modal Mudharabah.
b.      Jenis Usaha
Jenis usaha di sini disyaratkan beberapa syarat:
1.      Jenis usaha tersebut di bidang perniagaan
2.      Tidak menyusahkan pengelola modal dengan pembatasan yang menyulitkannya, seperti ditentukan jenis yang sukar sekali didapatkan, contohnya harus berdagang permata merah delima atau mutiara yang sangat jarang sekali adanya.
Asal dari usah dalam Mudharabah adalah di bidang perniagaan dan bidang yang terkait dengannya yang tidak dilarang syariat.Pengelola modal dilarang mengadakan transaksi perdagangan barang-barang haram seprti daging babi, minuman keras dan sebagainya.
c.       Keuntungan
Setiap usaha dilakukan untuk mendapatkan keuntungan, demikian juga Mudharabah. Namun dalam Mudharabah disyaratkan pada keuntungan tersebut empat syarat:
1.      Keuntungan khusus untuk kedua pihak yang bekerja sama yaitu pemilik modal dan pengelola modal.
2.      Pembagian keuntungan untuk berdua tidak boleh hanya untuk satu pihak saja. Seandainya dikatakan: “saya bekerja sama Mudharabah dengan mu dengan keuntungan sepenuhnya untuk mu, maka ini dalam madzab Syaf’I tidak sah.
3.      Keuntungan harus diketahui secara jelas.
4.      Dalam transaksi tersebut ditegaskan persentase tertentu bagi pemilik modal (investor) dan pengelola. Sehingga keuntungannya dibagi dengan presentase bersifat merata seperti setengah, sepertiga atau seperpat.
Rukun ketiga: Pelafalan Perjanjian (Shigoh Transaksi)
Shighah adalah ungkapan yang berasal dari kedua belah pihak pelaku transaksi yang menunjukkan keinginan melakukannya.Transaksi Mudharabah atau Syarikat dianggap sah dengan perkataan dan perbuatan yang menunjukkan maksudnya.

2.6 Berakhirnya Usaha Mudharabah

Mudharabah ini berakhir dengan pembatalan dari salah satu pihak.Karena tidak ada syarat keberlangsungan secara terus-menerus dalam transaksi usaha semacam ini.Masing-masing pihak bisa membatalkan transaksi, kapan saja dikehendaki. Transaksi mudharabah ini juga bisa berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak yang melakukan transaksi, atau karena ia gila atau idiot.
Imam Ibnu Qudamah rahimahullâh (wafat tahun 620 H) menyatakan: “Mudharabah termasuk jenis akad yang diperbolehkan. Ia berakhir dengan pembatalan salah seorang dari kedua belah pihak -siapa saja-, dengan kematian, gila atau dibatasi karena idiot. Hal itu, karena ia beraktivitas pada harta orang lain dengan seizinnya, maka ia seperti wakil dan tidak ada bedanya antara sebelum beraktivitas dan sesudahnya”.
Sedangkan Imam an Nawawi rahimahullâh menyatakan: “Penghentian qiradh dibolehkan, karena ia diawalnya adalah perwakilan dan setelah itu menjadi syarikat. Apabila terdapat keuntungan, maka masing-masing dari kedua belah pihak boleh memberhentikannya kapan suka, dan tidak membutuhkan kehadiran dan keridhaan mitranya.Apabila meninggal atau gila atau hilang akal, maka berakhirlah usaha tersebut”.
Imam Syafi’i rahimahullâh menyatakan: “Kapan saja pemilik modal ingin mengambil modalnya sebelum diusahakan dan sesudahnya, dan kapan pengelola ingin keluar dari qiradh, maka ia keluar darinya”.
Apabila telah dihentikan dan harta (modal) utuh, tidak memiliki keuntungan, maka harta tersebut diambil pemilik modal.Apabila terdapat keuntungan, maka keduanya membagi keuntungan tersebut sesuai dengan kesepakatan.Apabila berhenti dan harta berbentuk barang, lalu keduanya sepakat menjualnya atau membaginya, maka diperbolehkan, karena merupakan hak milik kedua belah pihak.Apabila pengelola meminta untuk menjualnya, sedangkan pemilik modal menolak dan tampak dalam usaha tersebut ada keuntungan, maka penilik modal dipaksa untuk menjualnya, karena hak pengelola ada pada keuntungan, dan tidak tampak kecuali dengan dijual.Namun bila tidak tampak keuntungannya, maka pemilik modal tidak dipaksa.

BAB III

CONTOH KASUS


3.1 Contoh Soal Perhitungan Bagi Hasil Akad Mudharabah

Bank Jayen Syariah (BJS) melakukan kerjasama bisnis dengan Bapak Irfa, seorang pedagang buku di Pasar Shoping Yogyakarta menggunakan akad mudharabah (BJS sebagai pemilik dana dan Irfa sebagai pengelola dana). BJS memberikan modal kepada Irfa sebesar Rp 10.000.000 sebagai modal usaha pada Tanggal 1 Januari 2009 dengan nisbah bagi hasil BJS : Irfa = 30% : 70%. Pada tanggal 31 pebruari 2009, Irfa memberikan Laporan Laba Rugi penjualan buku sebagai berikut:
Penjualan Rp 1.000.000
Harga Pokok Penjualan (Rp 700.000)
Laba Kotor Rp 300.000
Biaya-biaya Rp 100.000
Laba bersih Rp 200.000
Hitunglah pendapatan yang diperoleh BJS dan Irfa dari kerjasama bisnis tersebut pada tanggal 31 Pebruari 2009 bila kesepakan pembagian bagi hasil tersebut menggunakan metode:
a.    Profit sharing
b.   Revenue sharing
Jawab:
a. Profit sharing
Bank Syariah : 30% x Rp 200.000 (Laba bersih) = Rp 60.000
Irfa : 70% x Rp 200.000 = Rp 140.000
b. Revenue sharing
Bank Syariah : 30% x Rp 300.000 (Laba Kotor) = Rp 90.000
Irfa : 70% x Rp 300.000 = Rp 210.000

3.2     Pembiayaan Mudharabah

  1. Pengakuan Pembiayaan Mudharabah dilakukan sebagai berikut :
a.          diakui pada saat pembayaran kas atau penyerahan aktiva non-kas kepada pengelola; dan
b.         pembiayaan mudharabah yang diberikan secara bertahap diakui pada setiap pembayaran atau penyerahan
  1. Pengembalian pembiayaan Mudharabah dapat dilakukan bersamaan dengan distribusi bagi hasil atau pada saat diakhirinya Mudharabah
  1. Bagi hasil mudharabah dapat dilakukan dengan menggunakan 2 (dua) metode, yakni :
a.       Bagi Laba (Profit Sharing), dihitung dari pendapatan setelah dikurangi beban yang berkaitan dengan pengelolaan dana mudharabah
b.      Bagi Pendapatan (Revenue Sharing), dihitung dari jumlah pendapatan pengelolaan mudharabah
  1. Contoh : Pembiayaan Mudharabah dengan jadual tanpa angsuran/  cicilan pokok dengan metode bagi hasil berdasarkan bagi laba
 KETERANGAN TRANSAKSI
JUMLAH
(Rp)
KSP/ USP Syariah “A” membiayai kebutuhan modal kerja Mudharabah  anggotanya  sebesar Rp. 25.000.000,00 untuk jangka waktu 3 bulan, keuntungan yang diperoleh Anggota  akan dibagi hasil sesuai  nisbah sebesar 40% untuk KSP/ USP dan 60% untuk Anggota



25.000.000,00
Penarikan telah dilakukan sebesar Rp. 25.000.000,00 setelah akad ditandatangani.

Proyeksi Hasil :

BLN
KE

HASIL USAHA
(NET)
BAGIAN
KSP/USP
40%
BAGIAN
ANGGOTA
60%

CICILAN
POKOK

JUMLAH SETORAN
1
1.200.000,00
480.000,00
720.000,00
-
480.000,00
2
1.500.000,00
600.000,00
900.000,00
-
600.000,00
3
1.600.000,00
640.000,00
960.000,00
25.000.000,00
25.640.000,00
Jumlah =
1.720.000,00
2.580.000,00
% terhadap Modal

6,88

10,32



  1. Jurnal transaksi pembiayaan Mudharabah tersebut pada saat penarikan adalah sebagai berikut :

JURNAL PERKIRAAN
DEBET
(Rp)
KREDIT
 (Rp)
Pembiayan Mudharabah
15.000.000,00
-
     Kas/ rekening Anggota
-
15.000.000,00

  1. Jurnal pada saat pembayaran bagi hasil bulan ke-1, ternyata perolehan laba (hasil usaha bersih)  yang dilaporkan sebesar Rp. 1.300.000,00 sehingga bagi hasil yang diserahkan kepada KSP/ USP adalah sebesar 40% x Rp. 1,3 juta = Rp.  520.000,00: 

JURNAL PERKIRAAN
DEBET
(Rp)
KREDIT
 (Rp)
Kas/ Rekening Anggota
520.000,00
-
     Pendapatan Bagi Hasil Mudharabah
-
520.000,00

  1. Jurnal pembayaran bagi hasi bln ke-2 dan ke-3 dilakukan sebagaimana ilustrasi pada no. 6 diatas, dan


  1. Pada saat jatuh tempo, jurnal pelunasan dilakukan sebagai berikut (untuk pokok pembiayaan) :

JURNAL PERKIRAAN
DEBET
(Rp)
KREDIT
 (Rp)
Kas/ Rekening Anggota
25.000.000,00
-
     Pembiayaan Mudharabah
-
25.000.000,00

  1. Jadual Pembayaran pokok pembiayaan Mudharabah dapat pula dilakukan secara angsuran tetap sebagaimana keterangan transaksi dibawah ini :

KETERANGAN TRANSAKSI
JUMLAH
(Rp)
KSP/ USP Syariah “A” membiayai kebutuhan investasi Mudharabah untuk pendirian warung makan  anggotanya  sebesar Rp. 30.000.000,00 dengan jangka waktu 6 bulan, keuntungan yang diperoleh Anggota  akan dibagi hasil sesuai  nisbah sebesar 40% untuk KSP/ USP dan 60% untuk Anggota



25.000.000,00
Penarikan telah dilakukan sebesar Rp. 50.000.000,00 setelah akad ditandatangani.





Nama Anggota : Tn Sidik                              Jumlah Pembiayaan : Rp. 30.000.000,00
                                                                             Jangka Waktu     : 6 Bulan

BLN
ke
PROYEKSI
HASIL USAHA
(NET)

CICILAN POKOK

BAGI HASIL
(40%)

JUMLAH SETORAN

BAKI
DEBET
0
-
-
-
-
30.000.000,00
1
1.875.000,00
5.000.000,00
750.000,00
5.500.000,00
25.000.000,00
2
1.875.000,00
5.000.000,00
750.000,00
5.500.000,00
20.000.000,00
3
2.250.000,00
5.000.000,00
900.000,00
5.750.000,00
15.000.000,00
4
2.250.000,00
5.000.000,00
900.000,00
5.750.000,00
10.000.000,00
5
2.500.000,00
5.000.000,00
1.000.000,00
6.000.000,00
5.000.000,00
6
2.500.000,00
5.000.000,00
1.000.000,00
6.000.000,00
0,00
Jumlh=
13.250.000,00
30.000.000,00
5.300.000,00
35.300.000,00
%-tase
17,67

  1. Jurnal yang dilakukan pada saat pembayaran angsuran pokok dan bagi hasil bulan ke-1 adalah sebagai berikut : (asumsi jumlah bagi hasil yang diterima ternyata sesuai dengan hasil proyeksi sebesar Rp. 750.000,00)


JURNAL PERKIRAAN
DEBET
(Rp)
KREDIT
(Rp)
Kas/ Rekening Anggota
5.000.000,00
-
Pembiayaan Mudharabah
-
5.000.000,00
Kas/ Rekening Anggota
750.000,00
-
Pendapatan Bagi Hasil Mudharabah
-
750.000,00

  1. Jurnal pembayaran angsuran pokok dan bagi hasil bulan ke-2 s/d bulan ke-6 dilakukan sesuai dengan jurnal no. 10 diatas, namun bagi hasil dibukukan sebesar realisasi laba yang diperoleh dan dilaporkan oleh anggota untuk penerimaan bagi hasil bulan tersebut.  
  1. Jika realisasi pembayaran angsuran pokok dilakukan sesuai jadual, maka pada bulan ke-6 pembiayaan ini secara otomatis akan selesai (nihil).

3.3Pembiayaan Mudharabah Muqayadah

Pembiayaan Mudharabah umumnya dilakukan dan menempatkan fihak KSP/ USP sebagai Agen Investasi, dan berlaku kebijakan akuntansi sebagai berikut :
  1. Jika KSP/ USP bertindak sebagai agen dalam menyalurkan dana mudharabah muqayyadah dan KSP/ USP tidak menanggung risiko (Chanelling Agent), maka pelaporannya tidaK dilakukan dalam Neraca tetapi dilaporkan dalam Laporan Perubahan Dana Investasi Terikat, dan dana yang diterima dan belum disalurkan diakui sebagai titipan.
Contoh : KSP/ USP Syariah “A” memperoleh dana Mudharabah Muqayyadah dari Lembaga Keuangan “X” sebesar Rp. 100.000.000,00 yang dipergunakan untuk pembiayaan proyek-proyek khusus sesuai perjanjian. Dana tersebut pada saat laporan telah direalisir sebesar Rp. 90.000.000,00
a.       Jurnal saat penerimaan dana tersebut :

JURNAL PERKIRAAN
DEBET
(Rp)
KREDIT
(Rp)
Kas/ Rekening  Giro pd Bank “ABC”
100.000.000,00
-
Kewajiban Segera-Titipan  Dana
Mudharabah Muqayyadah
-
100.000.000,00
b.      Jurnal pada sat penyaluran :
JURNAL PERKIRAAN
DEBET
(Rp)
KREDIT
(Rp)
Kewajiban Segera-Titipan  Dana
Mudharabah Muqayyadah
90.000.000,00
-
Kas/ Rekening Anggota
-
90.000.000,00
c.       Setelah penyaluran tersebut buku pembantu perkiraan Titipan Dana Mudharabah Muqayyadah nampak sebagai berikut :
Nama Perkiraan : Titipan Dana Mudharabah Muqayyadah
TGL
KETERANGAN
DEBET
KREDIT
SALDO
D/K
Agst-03
Saldo Awal =
0,00
5
Penerimaan Dana
-
100.000.000,00
100.000.000,00
K
20
Penyaluran
90.000.000,00
-
10.000.000,00
K
2.      Jika KSP/ USP bertindak sebagai agen dalam menyalurkan dana mudharabah muqayyadah atau investasi terikat tetapi KSP/ USP menanggung risiko atas penyaluran dana tersebut (Executing Agent), maka pelaporannya dilakukan dalam Neraca sebesar porsi risiko yang ditanggung oleh KSP/ USP.

BAB IV

PENUTUP


4.1        Kesimpulan

Syarikah mudharabah diambil dari kata dharb (di muka bumi).Yang artinya, melakukan perjalanan yang umumnya untuk berniaga dan berperang. Secara istilah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak, dimana pihak pertama bertindak sebagai pemilik dana (shahibul mal) yang menyediakan seluruh modal (100%), sedangkan pihak lainnya sebagai pengelola usaha (mudharib). Keuntungan usaha yang didapatkan dari akad mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, dan biasanya dalam bentuk persentasi.
            Hukum Mudharabah dalam Islam itu diperbolehkan, karena bertujuan untuk saling membantu antara pemilik modal (shahibul mal) dan seseorang yang ahli dalam memutarkan uang (mudharib).Mudharabah ini disyariatkan oleh Allâh Ta'ala demi kepentingan kedua belah pihak. Islam mensyariatkan kerja samamudharabahuntuk memudahkan seseorang, karena sebagian mereka memiliki harta, namun tidak mampu mengelolanya. Ada juga seseorang yang tidak memiliki harta, namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan mengembangkannya. Maka syariat membolehkan adanya kerja sama ini untuk bisa saling mengambil manfaat.

4.2        Saran

Topik-topik seperti ini sepatutnya mendapat kajian dan pembahasan secara rinci dan oang-orang yang berpengetahuan sebaiknya menyumbangkan pemikirannya untuk hal-hal tersebut.Keseluruhan organisasi sacara islami mengorganisir kembali terhadap semua masalah ekonomi termasuk perbankan, asuransi serta usaha-usaha perniagaan itu dimungkinkan hanya dalam tatanan masyarakt Islam yang bebas dari segala bentuk kekuasaan.


DAFTAR PUSTAKA

Djuwaini, Dimyaudin.2007. Pengantar Fiqh Muamalah. Bogor : LPPM TAZKIA
http://adib.web.id/2010/06/22/syarat-rukun-mudharabah/
http://hakimsimanjuntak.blogspot.com/2011/07/landasan-hukum-mudharabah.html
http://majalah-assunnah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=135
Setijawan, Edi, dkk. 2005. Standar Operasional Produk BPR Syari’ah. Jakarta: ASBISINDO 

Share:
Location: Lokasi tidak diketahui.

0 comments:

PEMBACA YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN PESAN ;)

Tes iklan

Category

Contact Form

Name

Email *

Message *

Followers

SUBSCRIBE Yaa

Blue Generation (IKRH 619)

Blue Generation (IKRH 619)

Batman Begins - Diagonal Resize 2

About Me