Terima kasih

Terima kasih sudah berkunjung di blog saya ;)

Thursday, June 2, 2011

Sejarah Peradaban di Andalusia


 ISLAM DI ANDALUSIA


Sebelum kedatangan umat Islam, daerah Iberia merupakan kerajaan Hispania yang dikuasai oleh orang Kristen Visigoth. Pada tahun 711 M, pasukan Umayyah yang sebagian besar merupakan bangsa Moor dari Afrika Barat Laut, menyerbu Hispania dipimpin jenderal Tariq bin Ziyad, dan dibawah perintah dari Kekhalifahan Umayyah di Damaskus.
Pasukan ini mendarat di Gibraltar pada 30 April, dan terus menuju utara. Setelah mengalahkan Raja Roderic dari Visigoth dalam Pertempuran Guadalete ( 711 M ), kekuasaan Islam terus berkembang hingga pada tahun 719 M. Hanya daerah Galicia, Basque dan Asturias yang tidak tunduk kepada kekuasaan Islam. Setelah itu, pasukan Islam menyeberangi Pirenia untuk menaklukkan Perancis, namun berhasil dihentikan oleh kaum Frank dalam pertempuran Tours (732 M). Daerah yang dikuasai Muslim Umayyah ini disebut provinsi Al-Andalus, terdiri dari Spanyol, Portugal dan Perancis bagian selatan yang disebut sekarang.

Asal kata Al-Andalusia
Asal kata al-andalus masih belum disetujui para ahli bahasa dan sejarawan.
Etimologi dari nama Al-Andalus belum diketahui secara pasti. Nama ini digunakan untuk merujuk kepada semenanjung Iberia atau daerah Selatan Iberia yang dikuasai umat Islam, dan bukti paling awal dari nama ini adalah pada koin yang dicetak oleh pemerintah Islam di Iberia sekitar 715 (tahun pencetakan juga tidak pasti karena koin dituliskan dalam Latin dan Arab, dan keduanya memberikan tahun yang berbeda). Terdapat setidaknya tiga teori etimologi yang pernah diusulkan oleh para ilmuwan Barat, semuanya menganggap bahwa nama ini berasal dari zaman kekuasaan Romawi di Semenanjung Iberia.
Teori pertama adalah nama tersebut berasal dari Vandal, suku Jerman yang menguasai sebagian Iberia selama 407-429. Salah satu ilmuwan yang menerima teori ini adalah Reinhart P. Dozy, sejarawan abad ke-19. Teori kedua adalah berasal dari Arabisasi kata "Atlantik". Pendukung teori ini adalah sejarawan Spanyol Vallvé. Teori ketiga yang diajukan oleh Halm (1989) adalah bahwa nama ini berawal dari nama yang diberikan suku Visigoth yang berkuasa di Iberia pada abad ke-5 hingga 9. Dalam bahasa Latin, Iberia Visigoth disebut Gothica Sors (tanah undian Goth). Halm memprediksikan bahwa dalam bahasa Gothic "tanah undian" mungkin disebut landahlauts, dan ia menyarankan dari sinilah asal nama Al-Andalus berasal.
Ketiga teori ini semuanya tidak memiliki bukti historis, sehingga dapat dikatakan amat lemah. Pelopor dan pembela dari ketiga teori ini semuanya adalah sejarawan. Namun belakangan,ahli bahasa telah diikutsertakan dalam diskusi ini. Argumen-argumen dari ilmu sejarah, linguistik dan toponimi (ilmu yang mempelajari nama daerah), selanjutnya menunjukkan kelemahan semua teori diatas, dan bahwa nama Al-Andalus ternyata berasal dari masa Romawi.

Perkembangan Masyarakat
Masyarakat Al-Andalus terdiri dari tiga kelompok utama berdasarkan agama: MuslimKristen, dan Yahudi. Dalam tiap-tiap kota, komunitas-komunitas ini tinggal di daerah yang berbeda. Umat Islam sendiri, walaupun disatukan oleh agama yang sama, kadang terbagi-bagi menurut etnis, terutama perbedaan antara orang Arab dan orang Berber. Orang-orang Arab tinggal di bagian selatan dan di Lembah Ebro di timur laut, sedangkan orang-orang Berber tinggal di daerah pegunungan yang sekarang berada di utara Portugal, dan di Meseta Central. Islam di Al-Andalus dan mengikuti banyak adat, kesenian, dan kata-kata dari bahasa Arab, namun masih memelihara tradisi dan ibadah Kristen mereka dan bahasa turunan Latin yang mereka miliki, disebut Bahasa Muzarab
Orang-orang Yahudi biasanya bekerja sebagai pedagang, pemungut pajakdokter atau duta besar. Pada akhir abad ke-15terdapat sekitar 50.000 Yahudi di Granada dan 100.000 di seluruh Al-Andalus.

Muslim dan Non-Muslim di Al-Andalus
Perlakuan terhadap non-Muslim

Perlakuan terhadap non-Muslim di Al-Andalus merupakan bahan diskusi dan perdebatan di antara para ahli dan para pengamat, terutama mereka yang tertarik dengan keberadaan bersama umat Muslim dan non-Muslim di dunia modern. Kaum non-muslim di Al-Andalus, seperti Kristen dan Yahudi, dalam hukum Islam merupakan dzimmi, yang bebas menjalankan ajaran agamanya, tidak didorong untuk masuk Islam, namun membayar pajak yang disebut jizyah. Para ahli berpendapat bahwa agama minoritas (termasuk Yahudi) di Al-Andalus yang dikuasai umat Islam diperlakukan jauh lebih baik daripada di daerah Eropa Baratyang dikuasai Kristen, dan mereka hidup dalam "masa keemasan" toleransi, saling menghormati dan keharmonisan antarumat beragama.
Al-Andalus merupakan pusat kunci peradaban Yahudi pada Abad Pertengahan, dan menghasilkan ilmuwan-ilmuwan ternama, seperti Maimonidesrabbifilsuf, dan dokter yang menjadi ikon masa keemasan Yahudi di Al-Andalus. Masyarakat Yahudi di Al-Andalus juga merupakan salah satu masyarakat Yahudi yang paling stabil dan paling makmur. Sedangkan umat Kristen di Al-Andalus disebut kaum Muzarab. Kaum Muzarab merupakan keturunan orang Kristen terdahulu di Spanyol yang tetap memeluk Kristen namun mengadopsi budaya Arab.[14] Bahasa mereka, Bahasa Muzarab, merupakan bahasa Roman yang dipengaruhi oleh bahasa Arab dan dituliskan dalam abjad Arab.
Maria Rosa Menocal, spesialis sastra Iberia di Universitas Yale, berpendapat bahwa "toleransi merupakan aspek melekat pada masyarakat Andalus". Dalam bukunya The Ornament of the World (2003), Menocal berpendapat bahwa sebagai dzimmi, agama minoritas di Al-Andalus diberikan hak yang lebih terbatas daripada umat Muslim, namun masih lebih baik daripada di daerah Eropa yang dikuasai Kristen. Orang-orang Yahudi dan sekte-sekte Kristen yang dianggap terlarang datang dari seluruh Eropa ke Al-Andalus, tempat mereka menerima toleransi.
Bernard Lewis memiliki pandangan yang berbeda, dan berpendapat bahwa "klaim toleransi yang sekarang banyak didengar dari apologis Muslim, dan khususnya apologis untuk Islam, merupakan hal baru dan tidak diketahui asal-usulnya." Lewis menolak bahwa Muslim dan non-Muslim diberikan perlakuan sama di masa lalu. Ia juga mengatakan "bagaimana mungkin orang yang memeluk agama yang benar dan orang yang menolaknya dipelakukan sama? Ini merupakan hal yang mustahil secara teologi maupun logika"

Naik turunnya kekuasaan Islam
Penguasa Al-Andalus memperlakukan non-Muslim berbeda-beda sepanjang waktu. Salah satu periode toleransi adalah masa kekuasaanAbdurrahman III dan Al-Hakam II, ketika Yahudi Al-Andalus mengalami kemakmuran, mencurahkan hidupnya untuk melayani Kekhalifahan Kordoba, mempelajari sainsperdagangan, dan industri, terutama perdagangan sutera dan budak, yang ikut memakmurkan negeri Al-Andalus. Al-Andalus menjadi suaka bagi kaum Yahudi yang teraniaya di negeri-negeri lain.
Orang-orang Kristen di Al-Andalus, dipicu oleh contoh dari umat Kristen lain di sepanjang perbatasan Al-Andalus kadang kala menegaskan klaim-klaim Agama Kristen, dan dengan sengaja mencari kemartiran, bahkan selama masa-masa toleransi. Misalnya, 48 orang Kristen Kordoba melakukan penghinaan terhadap agama Islam, dan akhirnya dipenggal. Mereka sengaja melakukan tersebut agar mati sebagai martir, dan mereka dikenal sebagai Martir Kordoba. Beberapa orang dari generasi berikutnya-pun meneruskan hal ini, dan mereka sepenuhnya tahu apa nasib yang menimpa pendahulu mereka.
Setelah kematian Al-Hakam pada 976, situasi mulai memburuk bagi non-Muslim pada umumnya. Hampir 100 tahun berikutnya, pada 30 Desember 1066, peristiwa penganiayaan pertama terjadi ketika kaum Yahudi diusir dan ratusan keluarga dibunuh karena tidak mau meninggalkan Granada, dan kerusuhan setelahnya menewaskan sekitar 3.000 orang. Penganiayaan terhadap Yahudi juga terjadi sesekali pada masa Murabitun dan Muwahidun, tapi sumber yang ada amat sedikit dan tidak memberikan gambaran yang jelas mengenai hal ini.
Saat terjadi kekerasan terhadap non-Muslim, banyak ilmuwan Yahudi dan bahkan Muslim yang meninggalkan daerah kekuasaan Muslim menuju Toledo, yang lebih memiliki toleransi dan telah dikuasai oleh pasukan Kristen. Sekitar 40,000 Yahudi bergabung dengan pasukan Kristen, dan sisanya bergabung dengan pasukan Murabitun menghadapi raja Alfonso VI dari Kastilia.
Penguasa Muwahidun yang mengambil alih kekuasaan Murabitun pada 1147, lebih fundamentalis dari Murabitun, dan memperlakukan non-Muslim dengan keras. Takut akan kematian atau paksaan pindah agama, banyak orang Yahudi yang pindah ke daerah Muslim yang lebih toleran di Selatan dan Timur, atau ke daerah Kristen di Utara. Keluarga Maimonides sendiri pindah ke daerah Muslim yang lebih toleran. Namun, penguasa Muwahidun juga mendorong perkembangan seni dan tulisan, menghasilkan diantaranya Ibnu Tufail, Ibnu Araby, dan Ibnu Rusyd.

Kebudayaan

C.W. Previte-Orton menulis dalam Cambridge Medieval History, menulis 
"Peradaban Saracen yang brilian di Spanyol Islam membuat orang-orang Moor, bahkan dalam kemudurannya dibawah Reyes de Taifas, sebagai orang-orang paling beradab di Barat."
Banyak suku, agama, dan ras hidup bersama-sama di Al-Andalus, dan masing-masing menyumbang terhadap kemajuan intelektual di Andalus. Buku-buku jauh lebih tersebar luas di Al-Andalus dibanding di negara lainnya di Barat. Sejarah intelektual Al-Andalus terlihat dari hasilnya berupa banyaknya ilmuwan Islam dan Yahudi.
Kemajuan intelektual Al-Andalus bermula dari perseturuan intelektual antara Bani Umayyah yang menguasai Al-Andalus, denganBani Abbasiyah yang berkuasa di Timur Tengah. Penguasa Umayyah berusaha memperbanyak perpustakaan dan lembaga pendidikan di kota-kota Al-Andalus seperti Kordoba, untuk mengalahkan ibukota Abbasiyah Baghdad. Walaupun Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah saling bersaing, kedua kekhalifahan ini mengizinkan perjalanan antara kedua kekhalifahan ini dengan bebas, yang membantu penyebaran dan pertukaran ide serta inovasi dari waktu ke waktu.
Pada abad ke-10, kota Kordoba memiliki 700 masjid, 60.000 istana, dan 70 perpustakaan, dan salah satu perpustakaan yang terbesar memiliki hingga 500.000 naskah. Sebagai perbandingan, perpustakaan terbesar di Eropa Kristen saat itu memiliki tak lebih dari 400 naskah, bahkan pada abad ke-14 Universitas Paris baru memiliki sekitar 2.000 buku. Perpustakaan, penyalin, penjual buku, pembuat kertas, dan sekolah-sekolah di seluruh Al-Andalus menerbitkan sebanyak 60.000 buku tiap tahunnya, termasuk risalahpuisipolemik dan antologi. Sebagai perbandingan, Spanyol modern menerbitkan rata-rata 46.300 buku tiap tahunnya, menurut UNESCO.

Perkembangan Politik
Pada awalnya, Al-Andalus dikuasai oleh seorang wali Yusuf Al-Fihri (gubernur) yang ditunjuk oleh Khalifah di Damaskus, dengan masa jabatan biasanya 3 tahun. Namun pada tahun 740an M, terjadi perang saudara yang menyebabkan melemahnya kekuasaan Khalifah. Dan pada tahun 746 M, Yusuf Al-Fihri memenangkan perang saudara tersebut, menjadi seorang penguasa yang tidak terikat kepada pemerintahan di Damaskus.
Pada tahun 750 M, bani Abbasiyah menjatuhkan pemerintahan Umayyah di Damaskus, dan merebut kekuasaan atas daerah-daerah Arabia. Namun pada tahun 756 M, Abdurrahman I (Ad-Dakhil) melengserkan Yusuf Al-Fihri, dan menjadi penguasa Kordoba dengan gelar Amir Kordoba. Abdurrahman menolak untuk tunduk kepada kekhalifahan Abbasiyah yang baru terbentuk, karena pasukan Abbasiyah telah membunuh sebagian besar keluarganya.
Ia memerintah selama 30 tahun, namun memiliki kekuasaan yang lemah di Al-Andalus dan ia berusaha menekan perlawanan dari pendukung Al-Fihri maupun khalifah Abbasiyah.
Selama satu setengah abad berikutnya, keturunannya menggantikannya sebagai Amir Kordoba, yang memiliki kekuasaan tertulis atas seluruh Al-Andalus bahkan kadang-kadang meliputi Afrika Utara bagian barat. Pada kenyataannya, kekuasaan Amir Kordoba, terutama di daerah yang berbatasan dengan kaum Kristen, sering mengalami naik-turun politik, itu tergantung kecakapan dari sang Amir yang sedang berkuasa. Amir Abdullah bin Muhammad bahkan hanya memiliki kekuasaan atas Kordoba saja.
Cucu Abdullah, Abdurrahman III, menggantikannya pada tahun 912 M, dan dengan cepat mengembalikan kekuasaan Umayyah atas Al-Andalus dan bahkan Afrika Utara bagian barat. Pada tahun 929 M ia mengangkat dirinya sebagai Khalifah, sehingga keamiran ini sekarang memiliki kedudukan setara dengan kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad dan kekhalifahan Syi'ah di Tunis.

Kronika Budaya dalam Perjalanan Ideologi Politik di Andalusia
"Di depan kita musuh berada di belakang kalian lautan samudra
Hanya satu pilihan  bagi kita:
'Menang'!!!"

Menang adalah pilihan. Spekulasi yang keluar dari teriakan Thariq bin Ziyad menjadi legendaris tatkala empat kapal yang membawa 12000 tentara bersandar di pantai persis di balik bukit bebatuan yang kini terukir dengan nama Gibraltar itu dibakarnya sendiri (dari bahasa Arab: Jabal Thariq, bukit Thariq).
Di musim semi pada tahun 711 M merupakan awal Thariq mengukir babak baru dalam perjalanan sejarah selanjutnya. Perang di daerah Rio Barbate berkecamuk antara bala tentara Tariq dan pasukan Roderic, Raja Spanyol-Visigoth. Roderic kalah dengan luka yang parah dan jasadnya tak pernah terketemukan sampai kini.
"Moors", orang-orang Spanyol menyebut Thariq dan bala tentaranya. Hal itu dimungkinkan karena mereka berangkat dari Maroko. Orang-orang Moors sendiri tidak pernah menyebutnya demikian. Mereka adalah orang-orang Arab yang berasal dari Damaskus dan Madinah, kemudian bersama-sama orang-rang Berber muallaf sebagai tentara untuk penaklukan atau pembebasan (futuhah=babad) ke semenanjung Iberia yang akhirnya di sebut Andalusia.
Setelah pembebasan Andalusia tersebut mereka mulai adaptasi dengan komunitas baru. Sesuai dengan kondisi sebagai serdadu yang tidak memberi peluang untuk membawa wanita, mayoritas mereka mengawini orang-orang Spanyol maupun Visigoth, atau mengawini budak-budak Galicia untuk dijadikan istri. Dari sinilah akulturasi terbentuk dengan sendirinya selama 900 tahun hingga menjadi peradaban Independen yang mampu mengubah wajah dan jiwa bangsa Spanyol sepanjang masa, yaitu peradaban Moors atau sering disebut juga Peradaban Islam Andalusi (al Hadlarah al Islamiyah al Andalusia).



Peradaban Kosmopolitan
Di antara barbagai futuhah Arab-Islam, pembebasan Andalusia memberikan dampak yang berbeda. Fenomena yang menyolok antara pembebasan Andalusia dengan negeri lain di Arab Timur (al Masriq al ‘Arabi) dan Afrika Utara adalah bahwa Andalusia merupakan negeri kosmopolitan atau meminjam istilah Ibn Khaldun  dengan Al ‘Umran al Khadlari (Peradaban Urban) sedangkan yang lain adalah al ‘Umran al Badawi (Peradaban Nomad). 

B. Masa kekhalifahan
Andalusia - Spanyol diduduki umat Islam pada zaman khalifah Al-Walid Rahimahullah (705-715 M), salah seorang khalifah dari Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus, dimana Ummat Islam sebelumnya telah mengusasi Afrika Utara. Dalam proses penaklukan Spanyol ini terdapat tiga pahlawan Islam yang dapat dikatakan paling berjasa yaitu Tharif ibn Malik, Thariq ibn Ziyad, dan Musa ibn Nushair Rahimahullahum ajma’in.
Tharif dapat disebut sebagai perintis dan penyelidik. Ia menyeberangi selat yang berada di antara Maroko dan benua Eropa itu dengan satu pasukan perang, lima ratus orang diantaranya adalah tentara berkuda, mereka menaiki empat buah kapal yang disediakan oleh Julian.
Dalam penyerbuan itu Tharif tidak mendapat perlawanan yang berarti. Ia menang dan kembali ke Afrika Utara membawa harta rampasan yang tidak sedikit jumlahnya. Didorong oleh keberhasilan Tharif dan kemelut yang terjadi dalam tubuh kerajaan Visigothic yang berkuasa di Spanyol pada saat itu, serta dorongan yang besar untuk memperoleh harta rampasan perang, Musa ibn Nushair pada tahun 711 M mengirim pasukan ke spanyol sebanyak 7000 orang di bawah pimpinan Thariq ibn Ziyad Rahimahullah.
Thariq ibn Ziyad Rahimahullah lebih banyak dikenal sebagai penakluk Spanyol karena pasukannya lebih besar dan hasilnya lebih nyata. Pasukannya terdiri dari sebagian besar suku Barbar yang didukung oleh Musa ibn Nushair Rahimahullah dan sebagian lagi orang Arab yang dikirim Khalifah al-Walid Rahimahullah. Pasukan itu kemudian menyeberangi Selat di bawah pimpinan Thariq ibn Ziyad Rahimahullah. Sebuah gunung tempat pertama kali Thariq dan pasukannya mendarat dan menyiapkan pasukannya, dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Thariq).
Dengan dikuasainya daerah ini, maka terbukalah pintu secara luas untuk memasuki Spanyol. Dalam pertempuran di suatu tempat yang bernama Bakkah, Raja Roderick dapat dikalahkan. Dari situ Thariq Rahimahullah dan pasukannya terus menaklukkan kota-kota penting, seperti Cordova, Granada dan Toledo (ibu kota kerajaan Gothik saat itu). Sebelum Thariq Rahimahullah berhasil menaklukkan kota Toledo, ia meminta tambahan pasukan kepada Musa ibn Nushair Rahimahullah di Afrika Utara. Musa mengirimkan tambahan pasukan sebanyak 5000 personel, sehingga jumlah pasukan Thariq seluruhnya 12.000 orang. Jumlah ini belum sebanding dengan pasukan Gothik yang jauh lebih besar, 100.000 orang.
Kemenangan pertama yang dicapai oleh Thariq ibn Ziyad Rahimahullah membuat jalan untuk penaklukan wilayah yang lebih luas lagi. Untuk itu, Musa ibn Nushair Rahimahullah merasa perlu melibatkan diri dalam gelanggang pertempuran dengan maksud membantu perjuangan Thariq. Dengan suatu pasukan yang besar, ia berangkat menyeberangi selat itu, dan satu persatu kota yang dilewatinya dapat ditaklukkannya. Setelah Musa Rahimahullah berhasil menaklukkan Sidonia, Karmona, Seville, dan Merida serta mengalahkan penguasa kerajaan Gothic, Theodomir di Orihuela, ia bergabung dengan Thariq di Toledo. Selanjutnya, keduanya berhasil menguasai seluruh kota penting di Spanyol, termasuk bagian utaranya, mulai dari Saragosa sampai Navarre.
Gelombang perluasan wilayah berikutnya muncul pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz Rahimahullah tahun 99 H/717 M. Kali ini sasaran ditujukan untuk menguasai daerah sekitar pegunungan Pyrenia dan Perancis Selatan. Pimpinan pasukan dipercayakan kepada Al-Samah Rahimahullah, tetapi usahanya itu gagal dan ia sendiri terbunuh pada tahun 102 H. Selanjutnya, pimpinan pasukan diserahkan kepada Abdurrahman ibn Abdullah al-Ghafiqi Rahimahullah. Dengan pasukannya, ia menyerang kota Bordreu, Poiter, dan dari sini ia mencoba menyerang kota Tours. Akan tetapi, diantara kota Poiter dan Tours itu ia ditahan oleh Charles Martel, sehingga penyerangan ke Perancis gagal dan tentara yang dipimpinnya mundur kembali ke Spanyol.
Sesudah itu, masih juga terdapat penyerangan-penyerangan, seperti ke Avirignon tahun 734 M, ke Lyon tahun 743 M, dan pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah, Majorca, Corsia, Sardinia, Creta, Rhodes, Cyprus dan sebagian dari Sicilia juga jatuh ke tangan Islam di zaman Bani Umayah. Gelombang kedua terbesar dari penyerbuan kaum Muslimin yang geraknya dimulai pada permulaan abad ke-8 M ini, telah menjangkau seluruh Spanyol dan melebar jauh menjangkau Perancis Tengah dan bagian-bagian penting dari Italia. Kemenangan-kemenangan yang dicapai umat Islam nampak begitu mudah. Hal itu tidak dapat dipisahkan dari adanya faktor eksternal dan internal yang menguntungkan.
Yang dimaksud dengan faktor eksternal adalah suatu kondisi yang terdapat di dalam negeri Spanyol sendiri. Pada masa penaklukan Spanyol oleh orang-orang Islam, kondisi sosial, politik, dan ekonomi negeri ini berada dalam keadaan menyedihkan. Secara politik, wilayah Spanyol terkoyak-koyak dan terbagi-bagi ke dalam beberapa negeri kecil. Bersamaan dengan itu penguasa Gothic bersikap tidak toleran terhadap aliran agama yang dianut oleh penguasa, yaitu aliran Monofisit, apalagi terhadap penganut agama lain, Yahudi. Penganut agama Yahudi yang merupakan bagian terbesar dari penduduk Spanyol dipaksa dibaptis menurut agama Kristen. Yang tidak bersedia disiksa, dan dibunuh secara brutal.
Rakyat dibagi-bagi ke dalam sistem kelas, sehingga keadaannya diliputi oleh kemelaratan, ketertindasan, dan ketiadaan persamaan hak. Di dalam situasi seperti itu, kaum tertindas menanti kedatangan juru pembebas, dan juru pembebasnya mereka temukan dari orang Islam. Berkenaan dengan itu Amer Ali, seperti dikutip oleh Imamuddin mengatakan, ketika Afrika (Timur dan Barat) menikmati kenyamanan dalam segi material, kebersamaan, keadilan, dan kesejahteraan, tetangganya di jazirah Spanyol berada dalam keadaan menyedihkan di bawah kekuasaan tangan besi penguasa Visighotic. Di sisi lain, kerajaan berada dalam kemelut yang membawa akibat pada penderitaan masyarakat. Akibat perlakuan yang keji, koloni-koloni Yahudi yang penting menjadi tempat-tempat perlawanan dan pemberontakkan. Perpecahan dalam negeri Spanyol ini banyak membantu keberhasilan campur tangan Islam di tahun 711 M. Perpecahan itu amat banyak coraknya, dan sudah ada jauh sebelum kerajaan Gothic berdiri.
Perpecahan politik memperburuk keadaan ekonomi masyarakat. Ketika Islam masuk ke Spanyol, ekonomi masyarakat dalam keadaan lumpuh. Padahal, sewaktu Spanyol masih berada di bawah pemerintahan Romawi (Byzantine), berkat kesuburan tanahnya, pertanian maju pesat. Demikian juga pertambangan, industri dan perdagangan karena didukung oleh sarana transportasi yang baik. Akan tetapi, setelah Spanyol berada di bawah kekuasaan kerajaan Goth, perekonomian lumpuh dan kesejahteraan masyarakat menurun. Hektaran tanah dibiarkan terlantar tanpa digarap, beberapa pabrik ditutup, dan antara satu daerah dan daerah lain sulit dilalui akibat jalan-jalan tidak mendapat perawatan.
Buruknya kondisi sosial, ekonomi, dan keagamaan tersebut terutama disebabkan oleh keadaan politik yang kacau. Kondisi terburuk terjadi pada masa pemerintahan Raja Roderick, Raja Goth terakhir yang dikalahkan Islam. Awal kehancuran kerajaan Ghoth adalah ketika Raja Roderick memindahkan ibu kota negaranya dari Seville ke Toledo, sementara Witiza, yang saat itu menjadi penguasa atas wilayah Toledo, diberhentikan begitu saja. Keadaan ini memancing amarah dari Oppas dan Achila, kakak dan anak Witiza. Keduanya kemudian bangkit menghimpun kekuatan untuk menjatuhkan Roderick. Mereka pergi ke Afrika Utara dan bergabung dengan kaum muslimin.
Sementara itu terjadi pula konflik antara Roderick dengan Ratu Julian, mantan penguasa wilayah Septah. Julian juga bergabung dengan kaum Muslimin di Afrika Utara dan mendukung usaha umat Islam untuk menguasai Spanyol, Julian bahkan memberikan pinjaman empat buah kapal yang dipakai oleh Tharif, Tariq dan Musa Rahimahumullah.
Hal menguntungkan tentara Islam lainnya adalah bahwa tentara Roderick yang terdiri dari para budak yang tertindas tidak lagi mempunyai semangat perang Selain itu, orang Yahudi yang selama ini tertekan juga mengadakan persekutuan dan memberikan bantuan bagi perjuangan kaum Muslimin.
Adapun yang dimaksud dengan faktor internal adalah suatu kondisi yang terdapat dalam tubuh penguasa, tokon-tokoh pejuang dan para prajurit Islam yang terlibat dalam penaklukan wilayah Spanyol pada khususnya. Para pemimpin adalah tokoh-tokoh yang kuat, tentaranya kompak, bersatu, dan penuh percaya diri. Mereka pun cakap, berani, dan tabah dalam menghadapi setiap persoalan. Yang tak kalah pentingnya adalah ajaran Islam yang ditunjukkan para tentara Islam, yaitu toleransi, persaudaraan, dan tolong menolong. Sikap toleransi agama dan persaudaraan yang terdapat dalam pribadi kaum muslimin itu menyebabkan penduduk Spanyol menyambut kehadiran Islam di sana.

Perkembangan Peradaban
Umat Islam di Spanyol telah mencapai kejayaan yang gemilang, banyak prestasi yang mereka peroleh, bahkan pengaruhnya membawa Eropa dan juga dunia kepada kemajuan yang lebih kompleks, terutama dalam hal kemajuan intelektual.
Dalam masa lebih dari tujuh abad kekuasaan Islam di Spanyol, umat Islam telah mencapai kejayaannya di sana. Banyak prestasi yang mereka peroleh, bahkan pengaruhnya membawa Eropa, dan kemudian membawa dunia kepada kemajuan yang lebih kompleks.
Kemajuan Intelektual
Spanyol adalah negeri yang subur. Kesuburan itu mendatangkan penghasilan ekonomi yang tinggi dan pada gilirannya banyak menghasilkan pemikir.
Masyarakat Spanyol Islam merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari :
Komunitas-komunitas Arab (Utara dan Selatan)
Al-Muwalladun (orang-orang Spanyol yang masuk Islam)
Barbar 
Al-Shaqalibah (tentara bayaran yang dijual Jerman kepada penguasa Islam)
Yahudi
Kristen Muzareb yang berbudaya Arab
Kristen yang masih menentang kehadiran Islam
Semua komunitas itu, kecuali yang terakhir, memberikan saham intelektual terhadap terbentuknya lingkungan budaya Andalus yang melahirkan Kebangkitan Ilmiah, sastra, dan pembangunan fisik di Andalusia - Spanyol.
1. Filsafat
Islam di Spanyol telah mencatat satu lembaran budaya yang sangat brilian dalam bentangan sejarah Islam. Ia berperan sebagai jembatan penyeberangan yang dilalui ilmu pengetahuan Yunani-Arab ke Eropa pada abad ke-12. Minat terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan mulai dikembangkan pada abad ke-9 M selama pemerintahan penguasa Bani Umayyah yang ke-5, Muhammad ibn Abdurrahman (832-886 M).
Atas inisiatif al-Hakam (961-976 M), karya-karya ilmiah dan filosofis diimpor dari Timur dalam jumlah besar, sehingga Cordova dengan perpustakaan dan universitas-universitasnya mampu menyaingi Baghdad sebagai pusat utama ilmu pengetahuan di dunia Islam. Apa yang dilakukan oleh para pemimpin dinasti Bani Umayyah di Spanyol ini merupakan persiapan untuk melahirkan filosof-filosof besar pada masa sesudahnya.
Bagian akhir abad ke-12 M menjadi saksi munculnya seorang pengikut Aristoteles yang terbesar di gelanggang filsafat dalam Islam, yaitu Ibn Rusyd dari Cordova. Ia lahir tahun 1126 M dan meninggal tahun 1198 M. Ciri khasnya adalah kecermatan dalam menafsirkan naskah-naskah Aristoteles dan kehati-hatian dalam menggeluti masalah-masalah menahun tentang keserasian filsafat dan agama. Dia juga ahli fiqh dengan karyanya Bidayah al- Mujtahid.

Filosofi Islam Andalusi

Sejarawan Said Al-Andalusi menulis bahwa Khalifah Abdurrahman III (912-961) mengumpulkan sejumlah besar buku dan memberikan perlindungan bagi para ilmuwan yang mempelajari kedokteran dan "ilmu-ilmu kuno". Penggantinya Khalifah Al-Hakam II (Al-Mustansir), membangun sebuah universitas dan sejumlah perpustakaan di Kordoba. Kordoba menjadi salah satu pusat pembelajaran kedokteran dan filosofi terkemuka di dunia.
Namun ketika anak Al-Hakam II Hisyam II naik takhta (976), kekuasaan yang sebenarnya berada di tangan Al-Mansur bin Abi Amir. Ia merupakan tokoh agama yang tidak menyukai ilmu pengetahuan, sehingga banyak buku yang dikumpulkan dengan susah payah oleh Al-Hakam II dibakar di depan umum. Setelah kematian Al-Mansur pada 1002, filosofi di Al-Andalus bangkit kembali. Sejumlah cendikiawan terkenal bermunculan, termasuk Maslamah Al-Majriti (?-1008), seorang petualang berani yang menjelajahi daerah-daerah Islam dan daerah lain, dan tergabung dalam organisasi Ikhwan As-Shafa. Al-Majriti membantu penerjemahan karya Ptolemeus Almagest, membuat dan memperbaiki berbagai tabel astronomi, dan mempelopori geodesi serta triangulasi. Murid Al-Majriti yang terkenal adalah Abu Hakam Al-Kirmani, yang kemudian menjadi guru bagi filsuf dan dokter terkemuka Ibnu Bajjah (Avempace)

Filosofi dan kebudayaan Yahudi

Dengan adanya toleransi terhadap Yahudi di Al-Andalus, dan mundurnya pusat kebudayaan Yahudi di Babilonia, Al-Andalus menjadi pusat pemikiran-pemikiran intelektual Yahudi. Penulis-penulis seperti Judah Halevi (1086-1145) dan Dunash ben Labrat (920-990) memiliki sumbangan terhadap kehidupan Al-Andalus, dan lebih penting lagi memberikan sumbangan bagi perkembangan filosofi Yahudi. Puncak dari filsafat Yahudi adalah pemikir Yahudi asal Al-Andalus Maimonides(1135-1205), yang menerbitkan karya-karyanya di Maroko dan Mesir, karena menghindari dinasti Muwahidun yang berkuasa dengan keras di Al-Andalus. Ia mengarang buku Panduan bagi yang Bingung, dan memperbaharui hukum Yahudi, sehingga dijuluki "Musa baru" (nama depan Maimonides sendiri adalah Moses/Musa).

2. Kedokteran
Dokter dan tabib dari Al-Andalus memiliki sumbangan yang penting bagi bidang kedokteran, termasuk anatomi dan fisiologi. Di antaranya adalah Abul Qasim Az-Zahrawi (Abulcasis), "bapak ilmu bedah modern",[33] yang menuliskan Kitab at-Tashrif, buku penting dalam kedokteran dan ilmu bedahAt-Tashrifmerupakan ensiklopedia yang terdiri dari 30 volume, yang kemudian diterjemahkan ke Bahasa Latin dan digunakan dalam sekolah kedokteran di kebudayaan Eropa maupun Islam selama berabad-abad.

3. Sains
IImu-ilmu kedokteran, musik, matematika, astronomi, kimia dan lain-lain juga berkembang dengan baik. Abbas ibn Famas termasyhur dalam ilmu kimia dan astronomi. Ialah orang pertama yang menemukan pembuatan kaca dari batu. Ibrahim ibn Yahya al-Naqqash terkenal dalam ilmu astronomi. Ia dapat menentukan waktu terjadinya gerhana matahari dan menentukan berapa lamanya. Ia juga berhasil membuat teropong modern yang dapat menentukan jarak antara tata surya dan bintang-bintang. Ahmad ibn Ibas dari Cordova adalah ahli dalam bidang obat-obatan. Umm al-Hasan bint Abi Ja’far dan saudara perempuan al-Hafidz adalah dua orang ahli kedokteran dari kalangan wanita.
Dalam bidang sejarah dan geografi, wilayah Islam bagian barat melahirkan banyak pemikir terkenal, Ibn Jubair dari Valencia (1145-1228 M) menulis tentang negeri-negeri muslim Mediterania dan Sicilia dan Ibn Batuthah dari Tangier (1304-1377 M) mencapai Samudera Pasai dan Cina. Ibn al-Khatib (1317-1374 M) menyusun riwayat Granada, sedangkan Ibn Khaldun dari Tunis adalah perumus filsafat sejarah. Semua sejarawan di atas bertempat tinggal di Spanyol, yang kemudian pindah ke Afrika. Itulah sebagian nama-nama besar dalam bidang sains.
4. Fiqih
Dalam bidang fiqh, Spanyol Islam dikenal sebagai penganut mazhab Maliki. Yang memperkenalkan mazhab ini di sana adalah Ziad ibn Abdurrahman. Perkembangan selanjutnya ditentukan oleh Ibn Yahya yang menjadi Qadhi pada masa Hisyam Ibn Abdurrahman. Ahli-ahli Fiqh lainnya diantaranya adalah Abu Bakr ibn al-Quthiyah, Munzir Ibn Sa’id al-Baluthi dan Ibn Hazm yang terkenal.
5. Musik dan Kesenian
Dalam bidang musik dan suara, Spanyol Islam mencapai kecemerlangan dengan tokohnya al-Hasan Ibn Nafi yang dijiluki Zaryab. Setiap kali diselenggarkan pertemuan dan jamuan, Zaryab selalu tampil mempertunjukkan kebolehannya. Ia juga terkenal sebagai penggubah lagu. Ilmu yang dimiliknya itu diturunkan kepada anak-anaknya baik pria maupun wanita, dan juga kepada budak-budak, sehingga kemasyhurannya tersebar luas.
6. Bahasa dan Sastra
Bahasa Arab telah menjadi bahasa administrasi dalam pemerintahan Islam di Spanyol. Hal itu dapat diterima oleh orang-orang Islam dan non-Islam. Bahkan, penduduk asli Spanyol menomor duakan bahasa asli mereka. Mereka juga banyak yang ahli dan mahir dalam bahasa Arab, baik keterampilan berbicara maupun tata bahasa. Mereka itu antara lain: Ibn Sayyidih, Ibn Malik pengarang Aljiyah, Ibn Khuruf, Ibn al-Hajj, Abu Ali al-Isybili, Abu al-Hasan Ibn Usfur, dan Abu Hayyan al-Ghamathi. Seiring dengan kemajuan bahasa itu, karya-karya sastra bermunculan, seperti Al-’Iqd al-Farid karya Ibn Abd Rabbih, al-Dzakhirahji Mahasin Ahl al-Jazirah oleh Ibn Bassam, Kitab al-Qalaid buah karya al-Fath ibn Khaqan, dan banyak lagi yang lain.


Share:
PEMBACA YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN PESAN ;)

Tes iklan

Category

Contact Form

Name

Email *

Message *

Followers

SUBSCRIBE Yaa

Blue Generation (IKRH 619)

Blue Generation (IKRH 619)

Batman Begins - Diagonal Resize 2

About Me