Terima kasih

Terima kasih sudah berkunjung di blog saya ;)

Sunday, June 10, 2012

HISAB AL MIROS



HISAB AL MIROS
By: Adam Ariga


Daftar Isi







i

Mukaddimah




اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ قَدَّرَ لِكُلِّ وَرَثَةٍ نَصِيْبًا مَعْلُوْمًا بِعِلْمِهِ الْوَاسِع، وَجَعَلَ أَحْكَامَ التَّرِكَةِ مِنْ أَهَمِّ الشَّرَائِع، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ

Syukur Alhamdulillah dipanjatkan kehadirat Allah ‘Azza wa Jalla yang telah memberikan kita nikmat iman dan Islam. Salawat teriring salam juga tidak lupa disampaikan kepada nabi junjungan kita, Rasulullah SAW yang membawa risalah kepada kita untuk kebahagian di dunia dan di akhirat.

عن أبى هريرة رضى الله عنه قال: ‏قَالَ رَسُوْلُ الله t:
) تَعَلَّمُوا الفَرَائِضَ وَ عَلِّمُوهَا فَإِنَّهَا نِصْفُ العِلْمِ وَ هًوَ يُنْسَى وَهُوَ أَوَّلَُ شَىْءٍ يًُنْزَعَ مِنْ أًمَّتِى(
(رواه ابن ماجه و الدارقطنى)

Dari Abi Hurairah r.a berkata: Rasulullah SAW telah bersabda:
Pelajarilah Ilmu Al-Farâidh (Al-Mawârîts) kemudian ajarkanlah ilmu tersebut, sesungguhnya ia adalah setengah dari ilmu, dan ia akan dilupakan serta ilmu ini adalah yang pertama sekali akan dicabut dari ummat-ku
 (HR. Ibnu Majah dan Ad-Darul Quthniy)

Ilmu Al-Faraid (Al-Mawarits) merupakan ilmu yang sangat diperlukan oleh umat Muslim ketika seseorang ditinggalkan oleh salah satu keluarganya. Setelah terjadi adanya pihak yang meninggal maka berlakulah hukum mawarits tersebut yaitu memberikan harta warisan kepada ahli waris si mayit yang dapat dilakukan dapat dilakukan dengan dua cara, yakni fardh ‘bagian tetap’ dan ta’shib ‘bagian lunak atau sisa’. Mewariskan secara fardh didahulukan daripada mewariskan secara ta’shib, berdasarkan sabda Nabi saw, ”Berikanlah harta waris kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu, sisanya untuk orang laki-laki yang utama”.

Dengan adanya ilmu mawarits maka setiap ahli waris akan mengetahui hitungan dan bagian mereka masing-masing. Semua hitungan dan bagian mereka telah ditentukan oleh syar’I untuk ahli waris tertentu dengan takaran yang adil bagi setiap ahli warisnya. Bagian tersebut tidak lebih, kecuali dengan jalan radd dan tidak kurang, kecuali dengan jalan ‘aul. Maksud dari “bagian yang telah ditentukan” adalah meniadakan bagian dengan jalan ta’shib, karena ketidakjelasan bagiannya. Kalimat “secara syar’i” berarti menurut tinjauan syariat islam.
Allah swt. juga telah menetapkan ahli waris yang berhak menerima bagian tetap setengah, sepertiga, seperempat, seperenam, seperdelapan, dan dua per tiga. Dalam kondisi tertentu, seseorang atau beberapa orang ahli waris biasa terhalang untuk mendapatkan warisan, atau haknya atas harta waris berkurang.



ii

HISAB AL-MIRATS


 I.     Kaidah Hitung Pewarisan dalam Islam

I.1  Al-Furudh Al-Muqaddarah

            Hisab adalah cara untuk dapat menetapkan bilangan yang tidak pecah yang paling kecil yang keluar saham-saham yang telah ditetapkan dan men-ta’shib-kan masalah.
            Dalam penghitungan hak waris setiap ahli waris, maka kita juga harus mengetahui bagian-bagian yang telah ditentukan bagi setiap ahli waris atau disebut juga Furudhul Muqaddarah, bagian-bagian tersebut telah ditentukan secara syar’i bagi ahli waris tertentu. Bagian tersebut tidak lebih, kecuali dengan jalan radd[1] dan tidak kurang, kecuali dengan jalan ’aul[2].
            Di dalam al-Qur’an, kata furudh muqaddarah (yaitu pembagian ahli waris secara fardh yang telah ditentukan jumlahnya) merujuk pada 6 jenis pembagian, yaitu separuh (1/2), sepertiga (1/3), seperempat (1/4), seperenam (1/6), seperdelapan (1/8), dua pertiga (2/3).
Dalil setengah (1/2) adalah firman Allah swt., ”Jika anak adam itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta.” (an-Nisaa’ :11); ”bagimu (suami-suami) satu perdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu.” (an-Nisaa’: 12); dan ayat, ”jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya.” (an-Nisaa’: 176)
            Dalil sepertiga (1/3), adalah firman Allah swt., ”jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh bapak ibunya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga.” (an-Nisaa’: 11) dan ayat, ”Tetapi, jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (an-Nisaa’: 12)
            Dalil seperempat (1/4), adalah firman Allah swt.,”jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya.” (an-Nisaa’: 12) dan ayat,”para istri memperoleh seperempat harta dari yang kamu tinggalkan...” (an-Nisaa’: 12)
            Dalil seperenam (1/6), adalah firman Allah swt.,”untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak.” (an-Nisaa’: 11); ”jika yang mennggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.” (an-Nisaa’: 11); dan ayat,”jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seoarang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.” (an-Nisaa’: 12)
            Dalil seperdelapan (1/8), adalah firman Allah swt.,”jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan.” (an-Nisaa’: 12)
            Dalil dua pertiga (2/3), adalah firman Allah swt.,”jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan.” (an-Nisaa’: 11); dan ayat,”tapi, jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduannya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal.” (an-Nisaa’: 176)
            Dalam mengurutkan atau menghitung furudh muqaddarah, para ulama mempunyai dua metode, yaitu tadalliy’ ’menurun’ dan taraqqiy ’menaik’. Adapun yang dimaksud dengan tadalliy’ adalah menyebutkan fardh paling atas terlebih dahulu, lalu turun ke fardh yang lebih rendah. Misalnya, kita menyebutkan furudhul muqaddarah di dalam al-Quran, yaitu dua pertiga, seperdua,  seperdua dari dua pertiga dan separuh, kemudian dari setengahnya dua pertiga dan separuh, dan seterusnya, atau kita menyebutnya dua pertiga, setengah dari dua per tiga, dan seperempat dari dua per tiga, kemudian seperdua, setengahnya seperdua, dan seperempatnya.
            Sedangkan yang dimaksud dengan metode taraqqiy adalah menyebutkan fardh yang lebih rendah terlebih dahulu, lalu terus ke atas. Misalnya, kita menyebutkan furudhul muqaddarah, yaitu seperdelapan, seperenam, dua kali lipat seperdelapan dan seperenam, dan dua kali lipatnya dari dua kali lipat seperdelapan, dan seperenam, atau kita bisa katakan seperdelapan, dua kali lipat seperdelapan, seperenam, dua kali lipat seperenam, dan dua kali lipatnya dari dua kali lipat seperenam.
            Dari kedua metode di atas (tadalliy’ dan taraqqy) terdapat metode ketiga yang lebih ringkas dari kedua metode di atas, yaitu metode tawassuth ’menengah’, yaitu dengan menyebutkan bagian fardh yang tengah lebih dahulu, lalu menaik dan menurun. Misalnya, kita menyebutkan furudhul muqaddarah, yaitu seperempat, sepertiga, dua kali lipat dari seperempat dan sepertiga serta seperdua dari seperempat dan sepertiga atau kita bisa katakan seperempat, dua kali lipat dari seperempat dan setengah dari seperempat, serta sepertiga, dua kali lipat dari sepertiga dan setengah dari sepertiga.

I.2 Asal Masalah

Asal masalah merupakan suatu cara untuk menemukan porsi bagian masing-masing ahli waris dengan cara menyamakan nilai ”penyebut[3]” dari semua bagian para ahli waris. Acuan yang dapat digunakan untuk menentukan asal masalah tidak jauh dari angka-angka berikut ”2, 3, 4, 6, 8, 12, 24” seperti sebagai berikut:
  1. Jika nilai penyebut bagian para ahli waris adalah sama, maka nilai penyebut bagian para ahli waris tersebut dijadikan sebagai nilai asal masalah. Misalnya 1/2 dengan 1/2, maka asal masalahnya adalah 2.
  2. Jika nilai penyebut bagian salah satu ahli waris dapat dibagi oleh nilai penyebut bagian para ahli waris lainnya, maka nilai penyebut bagian ahli waris pertama tersebut dijadikan sebagai nilai asal masalah. Misalnya 1/2 dengan 1/6, maka asal masalahnya adalah 6.
  3. Jika nilai penyebut bagian para ahli waris tidak sama dan nilai bagian salah satu ahli waris tidak dapat dibagi oleh nilai penyebut bagian para ahli waris lainnya, maka nilai kelipatan persekutuan terkecil dari nilai penyebut para ahli waris tersebut dijadikan sebagai nilai asal masalah. Misalnya 1/4 dengan 2/3, maka asal masalahnya adalah 12.


I.3 ’Aul

Jumlah bagian para ahli waris boleh jadi lebih besar dari satu atau jumlah saham lebih besar dari asal masalah. Dalam kondisi seperti itu, bagian waris setiap ahli waris tidak mungkin didasarkan kepada nilai harta peninggalan secara mutlak karna itu tidak akan mencukupi. Oleh sebab itu, maka bagian waris para ahli waris harus dimodifikasi dengan cara membagi waris masing-masing oleh jumlah warisan (bukan oleh asal masalah). Penetapan bagian waris dengan cara menetapkan nilai jumlah waris, yang lebih besar dari nilai asal masalah, sebagai asal masalah dinamakan ’Aul.
Masalah: seorang laki-laki meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris yang terdiri dari janda, ibu, bapak, dan dua anak perempuan.
Ahli waris
Bagian
Asal masalah
Saham
Bapak
1/6
24
4
Ibu
1/6
24
4              >     27
2 anak perempuan
2/3
24
16
Janda Perempuan
1/8
24
3

I.4 Radd

            Jumlah bagian para ahli waris boleh jadi lebih kecil dari satu atau nilai jumlah saham lebih besar dari nilai asal masalah. Dengan kata lain adalah terdapat ’ashobah (sisa).
Masalah: seorang laki-laki meninggal dengan meninggalkan ahli waris yang terdiri dari istri, ibu, bapak, dan satu anak perempuan.
Ahli waris
Bagian
Asal masalah
Saham
Bapak
1/6
24
8
Ibu
1/6
24
8
Anak perempuan
1/2
24
12
Istri
1/8
24
3


Jumlah <
23
           

I.5 Cara Mewariskan dan Pengelompokan Ahli waris

a)      Cara Mewariskan

Untuk membagikan atau memberikan warisan kepada ahli waris si mayit, ada dua cara yang dapat dilakukan, yaitu fardh[4] dan ta’shib atau ‘ashabah[5]. Mewariskan secara fardh, yaitu memberikan harta waris kepada ahli waris sesuai dengan bagian yang telah ditentukan, seperti setengah, seperempat, seperdelapan, dua per tiga, sepertiga, dan seperenam. Adapun yang dimaksud dengan mewariskan secara ta’shib, yaitu memberikan harta waris kepada ahli waris, yang besar bagiannya tidak ditentukan, atau biasa disebut dengan bagian lunak. Dalam satu kasus, ahli waris ‘ashabah bisa mewarisi seluruh harta si mayit, jika ia sendirian. Dalam kasus lain, ia bisa mewarisi sisa, setelah bagian ashabul furudh diberikan.
b)     Pengelompokan Ahli Waris
  • Al-fardh saja
Ahli waris yang hanya mewarisi secara fardh (yang menerima bagian tetap), berjumlah tujuh orang, yaitu ibu, saudara laki-laki seibu, saudara perempuan seibu, nenek dari ibu, nenek dari ayah, suami, dan istri.   
Sementara itu, bagian tetap (fardh) dari setiap ahli waris di atas adalah sebagai      berikut:
a)      Ibu: seperenam (1/6) atau sepertiga (1/3) utuh, atau sepertiga (1/3) sisa.
b)      Nenek dari pihak ayah: seperenam (1/6), baik sendiri maupun bersama-sama dengan ahli waris lainnya.
c)      Nenek dari pihak ibu: seperenam (1/6), baik sendiri Maupun bersama-sama dengan ahli waris lainnya.
d)     Saudara laki-laki seibu: seperenam (1/6), bila hanya seorang diri, dan sepertiga (1/3) bila bersama-sama dengan yang lainnya.
e)      Saudara perempuan seibu: seperenam (1/6), bila hanya sendiri, dan sepertiga (1/3) bila bersama-sama dengan yang lainnya.
f)       Suami: setengah (1/2), jika tidak ada keturunan si mayit dan seperempat (1/4), jika adanya keturunan si mayit.
g)      Istri: seperempat (1/4), jika tidak ada keturunan mutlaq si mayit, dan seperdelapan (1/8), jika adanya keturunan mutlaq si mayit.
Contoh:
Seseorang meninggal dunia, meninggalkan 2 anak perempuan, ibu, ayah, maka anak perempuan mendapatkan bagian setengah, ibu mendapatkan bagian seperenam[6], dan ayah mendapatkan bagian seperenam[7] secara fardh serta sisanya secara ta’shib.
Asal masalah: 6
Ayah
1/6
1
Ibu
1/6
1
2 anak perempuan
2/3
4

  • At-ta’shib saja
Ahli waris yang hanya mewarisi secara ta’shib ‘harta sisa dari golongan fardh atau ‘ashabah, berjumlah dua belas, yaitu anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, paman seayah, anak laki-laki dari paman kandung, anak laki-laki dari paman seayah, laki-laki yang memerdekakan budak, dan perempuan yang memerdekakan budak.
            Seluruh ahli waris yang dua belas ini mewarisi harta peninggalan hanya dengan jalan ta’shib, dan tidak dapat mewarisi dengan jalan fardh selama-lamanya. Karenanya, ketika salah satu dari mereka sendirian dalam mewarisi harta peninggalan, maka dia akan mewarisi seluruh harta tersebut secara ta’shib, atau dia mewarisi sisa harta waris setelah dibagikan kepada ash-habul furudh ‘golongan yang menerima secara fardh terlebih dahulu.
  • Fardh dan Ta’shib bergabung
Ahli waris yang sewaktu-waktu dapat mewarisi dengan jalan fardh, ta’shib, atau kedua-duanya (fardh dan ta’shib). Ahli waris ini adalah ayah dan kakek. Keduanya dapat mewarisi harta dengan jalan fardh, yakni mendapatkan bagian seperenam, ketika tidak bersama dengan keturunan laki-laki si mayit. Namun, keduanya juga dapat mewarisi dengan cara ta’shib, yakni ketika mereka tidak bersama-sama dengan keturunan si mayit secara mutlak.
            Contoh:
 (mewarisi dengan jalan fardh dan ta’shib secara bersamaan). Seseorang meninggal dunia, meninggalkan anak perempuan, ibu, ayah, maka anak perempuan mendapatkan bagian setengah, ibu mendapatkan bagian seperenam, dan ayah mendapatkan bagian seperenam secara fardh serta sisanya secara ta’shib.

Asal masalah: 6
Ayah
1/6 + sisa
1 secara fardh + 1 secara ta’shib=2
Ibu
1/6
1
Anak perempuan
1/2
3

  • Fardh dan Ta’shib terpisah
Ahli waris yang mewarisi dengan jalan fardh pada suatu ketika, dan di saat lain mewarisi dengan jalan ta’shib. Ahli waris semacam ini ada empat orang, yaitu anak perempuan seorang atau lebih, cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki seorang atau lebih, saudara perempuan seorang kandung atau lebih; saudara perempuan seayah seorang atau lebih.
Contoh:
1.      (mewarisi secara fardh) seorang meninggal dunia, meninggalkan seorang anak perempuan dan paman, maka anak perempuan mendapat bagian setengah (1/2) secara fardh, sedangkan paman mendapatkan sisa secara lunak (ta’shib). Contoh lain, seorang meninggal, meninggalkan 2 orang anak perempuan dan saudara laki-laki sekandung, maka 2 orang anak perempuan mendapatkan bagian 2/3, sedangkan saudara laki-laki sekandung mendapatkan sisa menurut ta’shib.
Contoh pertama:        Asal masalah 2
Anak perempuan
1/2
1
Paman
Sisa
1

Contoh kedua:        Asal masalah 3
Anak perempuan
2/3
2 secara fardh
Saudara laki-laki kandung
Sisa
1 dari sisa

2.      (mewarisi secara ta’shib) seorang meninggal dunia, meninggalkan istri, satu orang anak perempuan, dan satu orang anak laki-laki, maka istri mendapatkan bagian seperdelapan (1/8). Sedangkan anak perempuan dan anak laki-laki mendapatkan sisa pembagian menurut bagian lunak. Ta’shib di sini disebut dengan ta’shib bil ghoir ‘setiap perempuan yang membutuhkan orang lain untuk menjadikan ‘ashabah’.

    II.            Urutan Para Ahli Waris dalam Menerima Warisan

A.    Ashabul Furudh

Yang dikatakan shahibul fardh atau shahibatul fardh adalah “orang yang mempunyai bagian harta peninggalan yang sudah ditentukan dengan nash Al-Qur’an[8], As-Sunnah[9] atau Al-Ijma[10]”. Selain mereka tidak ada yang berhak atas harta peninggalan.
Jumlah mereka ada dua belas. Empat orang lelaki, yaitu suami, ayah, kakek, dan saudara laki-laki seibu. Delapan orang dari para wanita, yaitu: istri, ibu, anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki walaupun betapa rendah derajat dan nenek walaupun betapa tingginya. Dan merekalah yang harus didahulukan dalam pembagian harta warisan.
  1. Ashabah Nasabiyah (ta’shib)
Yang dikatakan ashib nasabi adalah “kerabat lelaki yang mempunyai hubungan darah dengan seseorang, bukan dengan perantaan wanita saja, baik mempunyai hubungan langsung tanpa perantaraan, seperti anak lelaki dan ayah, atau perantaraan lelaki saja atau perantaraan seayah dan cucu lelaki dari anak lelaki, atau dengan perantaraan dan perempuan bersama-sama, seperti saudara laki-laki sekandung.
Sisa harta warisan sesudah diberikan kepada ashabul furudh menurut ketentuan masing-masing, diambil oleh ashib nasabi. Apabila furudh menghabiskan semua harta warisan, maka ashib nasabi tidak menerima apa-apa. Apabila tidak ada ashib fardh atau ada, tetapi terhalang dengan adanya ashib, maka ashib nasabi mengambil semua harta warisan jika ia seorang diri dan dibagi sama rata diantara mereka jika ashib itu berbilang dan sama derajat kekerabatannya.

C.    Dzawur Raddi

Yang dikatakan dzawur raddi atau ashabur raddi adalah orang yang dikembalikan lagi harta warisan kepadanya, yaitu ashabul furudh nasabiyah yang selain dari ayah dan kakek. Karena itu apabila ada sisa dari harta warisan sesudah diberikan bagian-bagian ashabul furudh dan tidak ada ashib nasabi yang berhak menerima sisa, maka sisa harta itu dikembalikan kepada ashabul furudh nasabiyah selain dari ayah dan kakek berdasarkan bagian mereka masing-masing karena mereka berdua mengambil sisa harta dengan jalan ta’shib. Karena suami istri tidak dikembalikan sisa warisan, suami-istri tidak mendapat hak bersama-sama ashabul furudh nasabiyah yang lain, karena mengembalikan harta pusaka kepada suami istri dilakukan di waktu tidak ada ahli waris yang dekat.
            Contoh:
Apabila seoarng meninggal dengan meninggalkan ibu dan saudara lelaki seibu, maka ibu mendapat sepertiga dengan jalan fardh dan saudara lelaki seibu mendapat seperenam dengan jalan fardh. Karenanya tinggallah sisa setengah harta. Sisa itu dikembalikan kepada mereka berdua menurut saham mereka masing-masing.

D.    Dzawul Arham

Yaitu orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat dengan orang yang meninggal, tetapi mereka tidak masuk ke dalam golongan ashabul furudh dan tidak juga ke dalam golongan ashabah, seperti cucu perempuan dari anak perempuan, cucu lelaki dari anak perempuan, anak perempuan dari saudara lelaki kandung, anak lelaki dari saudara perempuan kandung, dan seperti saudara ayah yang perempuan, saudara ibu yang lelaki dan yang perempuan.
Apabila orang yang meninggal tidak meninggalkan kerabat yang ashib dan tidak juga shahib fardh, maka dzawul arham[11] mengambil semua harta warisan tersebut. Adapun apabila diperoleh salah seorang dari suami istri, maka mereka mengambil fardhu-nya dan sisa harta diambil oleh dzawul arham, yaitu setengah harta di waktu bersama suami dan tiga perempat di waktu ada istri.
Mengembalikan sisa harta kepada salah seorang dari suami-istri yaitu ketika tidak ada kerabat yang menjadi waris, tidak ada dari ashabul furudh, tidak ada dari ashabah, dan tidak ada dzawul arham. Maka apabila yang menerima pusaka hanya suami atau istri, maka segala harta waris jatuh kepada mereka dengan jalan fardh dan jalan radd.

E.     Ashib Sababi

Yaitu mu’tiq[12] (orang yang memerdekakan budak), baik laki-laki ataupun perempuan.
Kesimpulannya: penerimaan pusaka ada empat cara:
  1. Dengan jalan fardh
  2. Ta’shib
  3. Radd
  4. Rahim
Tidak dapat berkumpul pada suatu harta peninggalan, pusaka dengan jalan radd dan pusaka dengan jalan ta’shib nasabi atau sababi karena ta’shib nasabi, mewarisi sisa harta setelah ashabul furudh. Karenanya tidak ada radd. Dan apabila ada shahib fardh, nasabi atau sahabi, maka ashib sababi tidak menerima pusaka, karena kedudukannya dikemudiannya daripada mengembalikan harta kepada ashabul furudh.

 III.            Permasalan dalam Penyelesaian Kasus Waris

Dalam kita menyelesaikan masalah waris/pusaka, maka kita perlu menempuh jalan-jalan di bawah ini sebagai mana di pembahasan di atas juga telah dibahas dengan terperinci:
  1. Mengetahui fardhu-fardhu yang diperoleh masing-masing waris.
  2. Menentukan asal masalah
  3. Menentukan bilangan saham masing-masing ahli waris
  4. Jumlah atau kadar satu-satu saham/warisan
  5. Bagian masing-masing ahli waris.
Di dalam kita menyelesaikan setiap masalah pembagian warisan/pusaka, haruslah kita tempuh jalan-jalan ini supaya pembagian itu benar menurut semestinya.

Kasus:
1.      Seorang meninggal dengan meninggalkan suami, dua anak perempuan, seorang ibu, dan seorang ayah dengan meninggalkan harta sejumlah 75 juta.
Ahli waris
bagian
Asal masalah
Saham/harta
Ayah
1/6
12
2
Ibu
1/6
12
2      15 (di’aul-kan dari 12)
2 anak perempuan
2/3
12
8
Suami
1/4
12
3

-          Ayah                          => 2/15 x 75 juta = 10 juta
-          Ibu                             => 2/15 x 75 juta = 10 juta
-          2 anak perempuan      => 8/15 x 75 juta = 40 juta
-          Suami                         => 3/15 x 75 juta = 15 juta

2.      Seorang meninggal meninggalkan ibu, istri, dua saudara lelaki seibu, dan dua saudara lelaki sekandung, sedangkan harta warisannya 192 juta.
Ahli waris
bagian
Asal masalah
Saham/harta
Ibu
1/6
12
2
Istri
1/4
12
3
2 saudara lelaki seibu
1/3
12
4
2 saudara lelaki kandung
Sisa
12
3

-          Ibu                             => 2/12 x 192 juta = 32 juta
-          Istri                            => 3/12 x 192 juta = 48 juta
-          2 saudara lelaki seibu => 4/12 x 192 juta = 64 juta dibagi dua, masing-masing 32 juta
-          2 saudara lelaki kandung => 3/12 x 192 juta = 48 juta dibagi dua, masing-masing 24 juta










Daftar Pusaka


Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar, Mesir. 2004. Hukum Waris.  
Diterjemahkan oleh H. Addys Aldizar, LC dan H. Fathurrahman, LC. Jakarta: Senayan Abadi Publishing.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Teungku  Muhammad. 2010. Fiqh Mawaris: Hukum
            Warisan Menurut Syari’at Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Salman, HJ. Otje & Haffas, Mustofa. 2002. Hukum Waris Islam. Bandung: PT Refika
Aditama.
Syarifuddin, Amir. 2004. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Prenada Media Group.
Pondok Pesantren Sidogiri. 2000. ’Iddatul Faro’id fil Mirats. Sidogiri: Media
Sidogiri.
Ali, H. Zainuddin. 2008. Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika



[1] [1] Radd jumlah bagian para ahli-waris boleh jadi lebih kecil dari satu atau nilai jumlah saham lebih kecil dari nilai asal masalah.”Hukum Waris Islam”, Prof.Dr.H.R.Otje Salman S., S.H. dan Mustofa Haffas, S.H.  Hlm.72.
[2] ’Aul jumlah bagian para ahli waris boleh jadi lebih besar dari satu atau jumlah saham lebihbesar dari asal masalah.


[3] penyebut (asal masalah).”’Iddatul Al-Faro’id  fil Mirats” Pondok pesantren sidogiri.

[4] fardh bagian yang telah ditentukan secara syar’i.”Hukum Waris”,Komite Fakultas Syariah,’Universitas Al-Azhar, Mesir. Hlm.106
[5] Ashabah laki-laki dari kerabat si mayit, di mana dalam nisbatnya ke si mayit, tidak ada perempuan. Komite Fakultas Syariah,’Universitas Al-Azhar, Mesir. Hlm. 252

[6] Lihat QS.An-Nissa’: 11
[7] Lihat QS.An-Nissa’: 11

[8] Lihat QS.An-Nisaa’: 7, 11, 12, 176
[9] Lihat “Ayat dan Hadist Al-Mawarits Pilihan”, Majelis Al-Mawarits-BPQ El-Azhar. Hlm. 5-6.
[10] Ketentuan pokok masing-masing waris ahli waris dalam ijma’ adalah 1/3 x sisa.
[11] Dzawul Arham member pusaka/warisan dengan jalan rahim.”Fiqh Mawarits Hukum Pembagian Warisan Menurut Syariat Islam”. Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy. Hlm. 54
[12] Mu’tiq orang yang memerdekakan budak pada zaman rosul, tetapi sekarang tidak ada lagi.
Share:

Teori Hak


THEORY HAK
By: Adam Ariga


DAFTAR ISI



Daftar                                                                                                                             Halaman
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………..           i
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………..          1
            1.1 Latar Belakang ………………………………………………………….            1
            1.2 Tujuan Penulisan ………………………………………………………..            1
            1.3 Rumusan Masalah ……………………………………………………….           1
            1.4 Metode Penulisan ……………………………………………………….           2
BAB II PEMBAHASAN ……………………………………………………………         3
            2.1 Teori Hak ……….. ………………………………………………………          3
            2.2 Jenis-Jenis Hak ………………………………………………………….            4
            2.3 Antara Hak dan Iltizam …………………………………………………           6
            2.4 Sumber-sumber Hak…………………………………………………….            6
BAB III PENUTUP ………………………………………………………………...           8
            3.1 Kesimpulan ……………………………………………………………..            8
            3.2 Saran ……………………………………………………………………            8
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………           ii



BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang        
            Setiap manusia hidup bermasyarakat, saling tolong menolong dalam menghadapi berbagai macam persoalan untuk menutupi kebutuhan antara yang satu dengan yang lainya. Ketergantungan seseorang kepada orang lain dirasakan ada ketika manusia lahir.
            Kemampuan seseorang hanya terbatas pada bidang tertentu saja. Misalnya petani hanya mapu menanam ketela pohon dan padi,tetapi tidak dapat membuat cangkul. Jadi petani mempunyai ketergantungan dengan seseorang ahli yang pandai membuat cangkul, begitu juga orang yang pandai membuat cangkul juga memiliki ketergantungan kepada petani.
            Kebutuhan sering menimbulkan pertentangan-pertentangan kehendak. Untuk itu perlu adanya aturan-aturan yang mengatur kebutuhan manusia agar manusia itu tidak dapat melanggar dan mengambilhak-hak orang lain, maka timbulah hak dan kewajiban di antara sesama manusia.
            Syari’at islam dalam menghadapi berbagai kemusykilan senantiasa bersandar kepada maslahat (kepentingan umum) sebagai salah satu sumber dari sumber-sumber pembentukan hukum. Corak ekonomi islam berdasarkan al-qur’an dan as-sunnah, yaitu suatu corak yang mengakui adanya hak pribadi dan hak umum.
1.2       Tujuan Penulisan    
            Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a.       Untuk mengetahui definisi.
b.      Untuk mengetahui pengakuan al-qur’an terhadap hak milik individu.
c.       Untuk mengetahui apa saja tipe-tipe hak dalam islam.
d.      Untuk mengetahui bagaimana ruang lingkup hak dalam islam.
1.3       Rumusan Masalah   
            Dalam makalah ini akan dibahas berbagai masalah diantaranya :
a.       Apa definisi hak dalam islam?
b.      Apa saja sejis-jenis hak dalam islam?
c.       Apa saja perbedaan antara hak dan iltizam?
d.      Bagaimana ruang lingkup mengenai sumber-ssumber hak?
1.4       Metode Penulisan
Adapun metode penulisan makalah ini adalah metode kualitatif. Penulis menggunakan sumber-sumber yang terdapat di perpustakaan, internet, blog dan koleksi pribadi yang kemudian penulis bandingkan dengan teori-teori yang penulis dapatkan.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1       Teori Hak
            Hak dan kewajiban adalah sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Ketika mereka berhubungan dengan orang lain, maka akan timbul hak dan kewajiban yang akan mengikat keduanya. Dalam jual beli misalnya, ketika kesepakatan telah tercapai, maka akan muncul hak dan kewajiban.. Yakni, hak pembeli untul menerima barang, dan kewajiban pejual untuk menyerahkan barang. Atau, kewajiban pembali untuk menyerahkan harga barang (uang), dan hak penjual untuk menerima uang.
            Kata hak berasal dari kata bahasa arab ‘haqq’ yang memiliki beberapa makna. Di antaranya, hak bermakna ketetapan atau kewajiban hal ini bisa dipahami dari firmanAllah dalam surat yasin ayat 7. Begitu juga dalam firman Allah QS.Al-Anfal ayat 8 atau juga dalam QS. Yunus ayat 35.
            Secara istilah, hak adalah segala sesuatu yang diberikan syariat atau syara’ kepada seseorang berupa kekuasaan terhadap suatu harta tertentu. Dalam definisi ini, hak masuk dalam ranah religi, yakni hak Allah atas hamba-Nya untuk beribadah, seperti Shalat, puasa, zakat dan lainnya. Atau juga masuk dalam hak kehidupan madani, seperti hak kepemilikan, atau hak yang bersifat etik, seperti hak untuk ditaati bagi orang tua, hak untuk dipatuhi seorang istri bagi seorang suami. Atau juga masuk dalam ranah public, seperti hak pemerintah untuk dipatuhi rakyatnya, atau hak-hak financial, seperti hak memberi nafkah, dan lainnya.
            Dalam ajaran Islam, hak adalah pemberian Ilahi yang disandarkan kepada sumber-sumber yang dijadikan sebagai sandaran dalam menentukan hokum-hukum syara’. Dengan demikian, sumber hak adalah kehendak atau ketentuan hukum syara’. Tidak akan ditemukan sebuah hak syar’I tanpa adanya dalil syar’I yang mendukungnya.
            Dengan demikan, sumber hak adalah Allah SWT, karena tiada hakim selain Dia, tiada dzat yang berhak untuk mensyariatkan sesuatu, selain Allah.Tiada syariat yang dijalankan manusia, kecuali syariat-Nya. Untuk itu, manusia memiliki kewajiban untuk menghormati hak orang lain, tiada kewenagan untuk merusak atau menginjak-injak hak orang lain. Disamping itu, pemilik hak harus menggunakan haknya secara proporsional, sehingga tidak menimbulkan kemudlaratan bagi orang lain.

2.2       Jenis-Jenis Hak
            Adapun jenis-jenis hak dibagi atas 3 kelompok, yaitu:
a.       Jenis-jenis hak menurut kepemilikannya
 Hak Ilahiyah
            Segala sesuatu yang bermaksud pendekatan diri kepada Allah dan beribadah kepadan-Nya. Seperti segala bentuk ritual ibadah yang beragam, dari shalat, puasa, haji, zakat, amar ma’ruf nahi munkar, dan ibadah lain yang sejenis. Atau bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dan kemamfaatan bagi masyarakat public yang tidak dikhususkan pada individu tertentu, seperti menegakkan hukum potong tangan bagi para pencuri, penegakan hukuman atau hadbagi para pezina, pemabuk, atau pelaku tindak criminal lainnnya.
            Hak Allah tidak bisa dilanggar ataupun digugurkan, tidak bisa ditolerir ataupun dirubah. Hadpotong tangan bagi pencuri, tidak bisa digugurkan hanya jika orang yang kecurian memaafkan kesalahan pencuri. Selain itu, hak Allah ini tidak bisa diwariskan. Ahli waris tidak diwajibkan untuk menanggung ibadah yang ditinggalkan pewaris, kecuali terdapat wasiat, ahli waris juga tidak akan ditanya tentang kejahatan dan dosa pewaris.
Hak Insaniyah
            Adalah segala sesuatu yang dimaksudkan untuk menjaga kemaslahatan seseorang. Bisa bersifat umum, seperti menjaga kesehatan, merawat anak, harta benda, mewujudkan rasa aman, mencegah tindak kriminal, menghilangkan permusuhan dan lainnya. Atau bersifat khusus, seperti menjaga kepemilkan, hak penjual atas harga dan hak pembeli atas obyek transaksi, hak ganti rugi seseoarang atas hartanya yang dirusak, hak seoarang istri atas nafkah suami, dan lainnya. Hak anak Adam bisa bisa dilepaskan atau digugurkan dengan alasan tertentu, bisa juga diwariskan.
Hak Musytarak
            Persekutuan hak antara hak Allah dan hak anak Adam. Namun, ada kalanya hak Allah yang dimenangkan, dan sebaliknya. Misalnya, masa iddah seorang istri yang dicerai, dalam hal ini terdapat dua hak. Hak Allah berupa menjaga percampuran nasab, dan hak manusia berupa menjaga nasab anaknya. Dalam konteks ini, hak Allah yang dimenangkan, karena menjaga percampuran nasab lebih umum kemfaatannya bagi masyarakat publik.
     Contoh kedua, hak qishas bagi wali orang yang terbunuh. Dalam hak ini terdapat hak Allah, yakni membebaskan masyarakat dari tindak kriminal pembunuhan. Selain itu, terdapat hak wali orang yang terbunuh, yakni menghilangkan amarah dan kejengkelan, serta menenangkan hatinya dengan matinya orang yang membynuh keluarganya. Dalam konteks ini, hak anak Adam yang dimenangkan, karena tendensi diadakannya qishas adalah adanya persamaan.        Dalam contoh kedua, hak anak Adam yang dimenagkan. Implikasinya adalah hak tersebut bisa dinegosasikan, wali orang yang terbunuh, dibolehkan untuk memaafkan dosa pembunuh, bisa diupayakan jalan damai dengan kompensasi yang disepakati, atau jalan lain yang disetujui bersama.
b.      Jenis Hak menurut  Obyek haknya
Hak atas Harta
            Adalah suatu hak yang berhubungan dengan harta atau hak yang terkait dengan harta dan kemamfaatannya, hak yang obyeknya berupa harta atau mamfaat. Seperti, hak atas barang yang dibeli, hak seorang penjual atas harga barang (uang), hak pembeli atas obyek transaksi (rumah, mobil), hak shuf’ah, hak khiyar, hak penyewa untuk menempati rumah, dan lainnya.
Hak Syaksiyah
            Adalah hak yang ditetapkan oleh Syara’ untuk kepentingan seseorang atas orang lain, seperti hak seorang penjual atas diserahkannya harga barang (uang) atau hak seorang pembeli atas diserahkannya obyek transaksi (rumah), hak seseorang atas hutang, konfensasi financial atas barang yang dighosop atau dirusak, hak seorang istri dan kerabat atas nafkah, atau hak seorang penitip atas barang yang dititpkan, untuk tidak digunakan oleh orang yang dititipi.
Hak ‘Aini
Text Box: 5              Adalah kewenagan yang ditetapkan oleh syara’ untuk seseorang tau suatu benda, seperti hak milik. Seorang pemilik benda memiliki kewenangan langsung atas harta benda yang dimilikinya. Ia memiliki kewenangan untuk memamfaatkan barangnya sesuai dengan kehendaknya, dan memiliki keistimewaan untuk menghalangi orang lain memamfaatkannya tanpa seizing pemiliknya.
            Dengan adanya pembagian hak hak syaksiyah dan hak aini, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan:
·         Hak ‘aini bersifat permanen dan selalu mengikuti pemiliknya, sekali pun benda tersebut berada di tangan orang lain, maka pemilik sah harta tersebut bisa menuntut agar barang dikembalikan kepadanya.
·         Materi hak ‘aini dapat berpindah tangan, sedangkan hak syakhsi tidak dapat berpindah tangan, melainkan melekat pada pribadi sebagai sebuah tanggung jawab atau kewajiban.
·         Hak ‘aini gugur apabila materi (obyek) hak hancur atau musnah, sedang hak syakhsi tidak akan gugur dengan hancur atau musnahnya materi. Karena, hak syakhsi melekat pada diri seseoarang kecuali pemilik hak meninggal. Misalnya, hak syakhsi dalan hutang piutang barang, sekalipun barang yang dihutang hancur, pemiliknya tetap berhak menagih pelunasan hutang tersebut.
c.        Jenis-Jenis Hak menurut Terikat atau tidaknya oleh Hukum
Hak Diyani
            Merupakan hak-hak yang pelaksanaannya tidak dapat dicampuri atau diinterversi oleh kekuasaan Negara atau kehakiman. Misalnya, dalam hal hutang atau transaksi lainnya yang tidak dapat dibuktikan di depan pengadilan. Sekalipun demikian, di hadapan Allah tanggung jawab orang berhutang tetap ada, dan dituntut untuk melunasinya, sekalipun pengadilan memutuskan ia bebas dari tuntutan hutang.
Hak Qhadlai
            Merupakan seluruh hak yang tunduk di bawah aturan kekuasaan kehakiman sepanjang pemilik hak tersebut mampu menuntut dan membuktikan haknya di depan pengadilan.
            Selain unsure lahiriyah yakni perbuatan, unsur batiniyah seperti niat dan esensi (hakikat) merupakan unsur penting dalam hak diyani. Sedangkan dalam hak qhadlai semata dibangun berdasarkan kenyataan lahiriyah dengan mengabaikan unsure niat dan hakikat suatu perbuatan.
            Seorang suami yang menjatuhkan talaq terhadap istrinya secara cerobah dan tidak dimaksudkan secara sungguh-sungguh untuk menceraikannya, seorang hakim wajib memvonis hukum talaq berdasarkan ungkapan lahiriyah. Yang demikian hukum qhadlai. Sedangkan hukum diyani bisa jadi tidak jatuh talaqnya, karena tidak adanya niat mentalaq. Oleh karena itu, seseorang tidak diperkenankan bermain-main dengan kedua hak ini.
2.3       Antara Hak dan Iltizam
            Substansi hak sebagai taklif atau keharusan yang terbebankan pada pihak lain dari sisi penerima dinamakan hak, sedangkan dari sisi pelaku disebut iltizam. Secara bahasa, iltizam bermakna keharusan atau kewajiban. Sedangkan secara istilah akibat (ikatan) hukum yang mengharuskan pihak lain berbuat memberikan sesuatu, atau melakukan sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu.
            Pihak yang terbebani oleh hak orang lain dinamakan multazim, sedang pemilik hak dinamakan multazam lahu atau shahibul haqq. Antara hak dan iltizam terdapat keterkaitan dalam suatu hubungan timbale balik, sebagaimana hubungan timbale balik antara perbuatan menerima dan memberi. Dari sisi penerima dinamakan hak, dan dari sisi pemberi dinamakan iltizam.
            Dalam akad mu’awadlah (saling menerima dan melepaskan) hak dan iltizam berlaku pada masing-masing pihak. Misalnya, dalam akad jual beli, penjual bersetatus sebagai multazim sekaligus sebagai shahibul haqq. Demikian juga dengan pembeli. Hal yang sama juga berlaku dalam akad ijarah.Dengan demikian, pihak-pihak yang terlibat dlam akad mu’awadlah, masing-masing mempunyai hak dalam penyeimbang atas kewajiban yang dibebankan kepadanya, atau masing-masing mempunyai kewajiban sebagai penyeimbang atas hak yang diterimanya.
2.4       Sumber-Sumber Hak
            Sebelumnya telah dijelaskan bahwa syariat dan aturan hukum merupakan sumber adanya suatu hak. Keduanya sekaligus merupakan sumber utama iltizam, sedangkan sumber yang lain adalah sebagai berikut:
Aqad, yaitu kehendak kedua belah pihak untuk melakukan suatu kesepakatan (perikatan), seperti akad jual beli, sewa menyewa dan lainnya.
 Iradah Al-Munfaridlah (kehendak sepihak, one side), seperti ketika seseoarang mengucapkan sebuah janji atas nadzar.
 Al-Fi’lun Nafi’ (perbuatan yang bermamfaat), misalnya ketika sesorang melihat kepada orang lain dalam kondisi yang sangat membutuhkan bantuan atau pertolongan, maka ia wajib berbuat sesuatu sebatas kemampuannya.
 Al-Fi’lu Adl-Dlar (perbuatan yang merugikan), seperti ketika sseorang merusak, melanggar hak atau kepentingan orang lain, maka ia terbebani iltizamatau kewajiban tertentu.
            Iltizam adakalanya berlaku atas harta benda (al-mall), terhadap hutang (ad-dain) dan terhadap perbuatan (al-fi’il). Iltizam terhadap harta benda harus dipenuhi dengan menyerahkan harta benda kepada shahibul haqq. Seperti keharusan penjual menyerahkan barang kepada pembeli dan keharusan pembeli menyerahkan uang kepada penjual.
            Iltizam terhadap hutang, pada prinsipnya, harus dipenuhi oleh orang yang berhutang secara langsung. Namun dalam kondisi tertentu, hukum Islam memberikan alternatif lain, yakni menggunakan akad hawallah atau kafalah. Iltizam atas suatu perbuatan harus dipenuhi melalui perbuatan yang menjadi mahallul iltizam. Seperti kewajiban seorang pekerja dalam akad ijarah, harus dipenuhi dengan melakukan pekerjaan tertentu, dan lainnya.


 BAB III
PENUTUP


3.1       Kesimpulan
            Berdasarkan sifat manusia yang termasuk kedalam mahluk sosial, tidak terlepas dari timbal-balik orang lain dalam memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, Untuk itu perlu adanya aturan-aturan yang mengatur kebutuhan manusia, agar manusia itu tidak dapat melanggar dan mengambilhak-hak orang lain, maka timbulah hak dan kewajiban di antara sesama manusia dan islam sendiri sudah mengatur segala urusan manusia dari segala aspek kehidupan termasuk mengenai hak dan jenis-jenisnya.
3.2       Saran
            Pada dasarnya setiap manusia mempunya hak dan kewajiban. Namun, Kami menyarankan agar kita tidak mempergunakan hak kita dengan semau kita, tetapi kita juga  harus memperhatikan hak orang lain terlebih lagi jangan sampai mengambil hak orang lain dan juga jangan sampai melupakan kewajiban kita karena semuanya sudah ada aturannya.   



DAFTAR PUSTAKA


Djuwaini, D., Basri, K.A., & Arifin, Z. (2007). “ Pengantar Fiqh Muamalah”, Bogor: LPPM-TAZKIA
 Suhendi, (2002) FiqihMuamalah, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
 http://74.125.153.132.dimel2002.multiply.com/journal/item/IIkedudukan hak milik dalam islam.

Text Box: ii
Share:
PEMBACA YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN PESAN ;)

Tes iklan

Category

Contact Form

Name

Email *

Message *

Followers

SUBSCRIBE Yaa

Blue Generation (IKRH 619)

Blue Generation (IKRH 619)

Batman Begins - Diagonal Resize 2

About Me