Terima kasih

Terima kasih sudah berkunjung di blog saya ;)

Sunday, June 10, 2012

Kepemimpinan dalam Islam


 Kepemimpinan dalam Islam



Pemimpin adalah Seorang yang mempunyai kemampuan untuk memepengaruhi perilaku orang lain di dalam kerjanya denganmenggunakan kekuasaan. Kepemimpinanunsur yang tidak bisa dihindari dalam hidup ini. Sudah merupakan fitrah manusia untuk selalu membentuk sebuah komunitas. Dan dalam sebuah komunitas selalu dibutuhkan seorang pemimpin. Pemimpin adalah orang yang dijadikan rujukan ketika komunitas tersebut. Pemimpin adalah orang yang memberikan visi dan tujuan.Dalam suatu kelompok katakanlah organisasi, bila tidak mempunyai tujuan sama saja dengan membubarkan organsasi tersebut. Hal terebut bahkan berlangsungsampai kedalam tataran Negara. Dan hanya pemimpinlah yang mampu mengatur dan mengarahkan semua itu. Dan sejarah teori kepemimpinan menjelaskan bahwa kepemimpinan yang dicontohkan islam adalah model terbaik. Model kepemimpina yang disebut sebagai Prophetic leadership yang contoh nyatanya adalah orang teragung sepanjang sejarah kemanusiaan Rasullullah SAW.
Bila kita cermati kehidupan Rasulullah kita akan menemukan banyak sekali keistimewaan dan pelajaran yang seakan-akan tidak perna habis. Dalam hal kepemimpinan lihatlah bagaimana Rasullah membangun kepercayaan dan kehormatan dari kaumnya. Sebelum menjadi nabi, Rasullullah sudah mempunyai gelar al-amin yang artinya bis dipercaya. Sebuah gelar yang tidak bisa dikatakan biasa karena menununjukkan kredibilitas beliau di mata kaumnya. Kemudian lihatlah bagaimana daya kepemimpinan beliau ketika menyelesaikan kasus pengembalian Hajar Aswad ke dalam ka’bah setelah direnovasi karena banjir. Semua orang bergembira karena beliaulah yang terpilih menjadi hakim pada perkara tersebut. Dan cara penyelesaiannya pun sungguh cerdas dan menyenangkan semua pihak.
Setelah menjadi pemimpin tertinggi Negara islam madinah pun Rasullullah tetap menunjukkan daya kepemimpinan yang luar biasa. Berkali-kali beliau memimpin sendiri pasukan perang untuk menghadapi orang-orang kafir, menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di tubuh umat yang semakin kompleks, menjadi pemimpin bagi beragam suku arab dan agama yang ada di madinah kala itu. Namun, di tengah-tengah kesibukannya dalam mengurus Negara, beliau masih sempat mencandai istri, bahkan menjahit sendiri terompahnya yang putus dan gamisnya yang robek. Dan semua kualitas tersebut menjadikan Rasullullah sebagai pemimpin terhebat sepanjang sejarah.
Tipe-tipe Kepemimpinan
1.      Tipe kepemimpinan pribadi
Dalam system kepemimpinan ini, segala sesuatu tindakan itu dilakukan denganmengadakan kontak pribadi. Petunjuk itu dilakukan secara lisan ataulangsung dilakukan secara pribadi oleh pemimpin yang bersangkutan
2.      Tipe kepemimpinan non-pribadi.
Segala sesuatu kebijaksanaan yang dilaksanakan melalui bawahan-bawahan atau medianon pribadi baik rencana atau perintah juga pengawasan.
3.      Tipe kepemimpinan otoriter
Pemimpin otoriter biasanya bekerja keras, sungguh-sungguh, teliti dan tertib. Ia bekerjamenurut peraturan-peraturan yang berlaku secara ketat dan instruksi-instruksinya harus ditaati.
4.      Tipe kepemimpinan demokratis
Pemimpin yang demokratis menganggap dirinya sebagai bagian dari kelompoknya danbersama-sama dengan kelompoknya berusaha bertanggung jawab tentang terlaksananya tujuan bersama. Agar setiap anggota turut bertanggungjawab, maka seluruh anggota ikut serta dalam segala kegiatan, perencanaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan penilaian. Setiap anggota dianggap sebagai potensi yang berharga dalam usahan pencapaian tujuan.
5.      Tipe kepemimpinan paternalistis
Kepemimpinan ini dicirikan oleh suatu pengaruh yang bersifat kebapakan dalam hubungan pemimpin dan kelompok. Tujuannya adalah untuk melindungi dan untuk memberikan arah seperti halnya seorang bapak kepada anaknya.
6.      Tipe kepemimpinan menurut bakat
Biasanya timbul dari kelompok orang-orang yang informal di mana mungkin mereka berlatih dengan adanya system kompetisi, sehingga bisa menimbulkan klik-klik dari kelompok yang bersangkutan dan biasanya akan muncul pemimpin yang mempunyai kelemahan di antara yang ada dalam kelempok tersebut menurut bidang keahliannya di mana ia ikut berkecimpung.


Islam Memandang Kepemimpinan
Dalam ajaran Islam, setiap manusia adalah pemimpin dan pasti akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Si Pemberi Amanah, yaitu Allah SWT. Perbedaannya hanya terletak pada komunitas, kwantitas, kwalitas, wilayah cakupan, dan tentu saja symbol-simbol kepemimpinan. 
Ada tiga istilah sebagai landasan kepemimpinan dalam paradigma Islam:
Pertama, dalam Al-Qur’an istilah pemimpin disebut Al-Imâm (Jamaknya : A-immah). Kata ini bersal dari amma – ya’umm – amman- wa Imâman. Artinya, pemimpin sebagai pemegang amanat, baik dari Allah maupun dari manusia, yang harus dipertanggungjawabkan. [Lihat QS. Al-Anfâl : 27]. 
Kedua, pemimpin sebagai Khalîfah (Jamaknya : Khulafâ , Khalâif). Khalifah berarti penguasa, pengganti, wakil, atau mandataris. Juga berarti Khalfun (dari kata khalafa – yakhlifu) yang berarti belakang, sehingga pemimpin harus bersikap “tutwuri handayani”, mengikuti dan mendorong aspirasi umat, selain sebagai Imâm yang harus berada di depan memberi teladan.
Ketiga, pemimpin sebagai Râ-in (penggembala). Kata ini berasal dari ra’â – yar’â –ra’yan – ri’âyatan – wa mar’an. Ini antara lain memiliki arti “perhatian” (ri’âyatan) dan juga berarti “tempat gembalaan” (mar’an), sehingga seorang pemimpin harus mempunyai perhatian sampai kepada tempat dan kondisi yang dipimpinnya.
Adapun kriteria pemimpin ideal menurut Al-Qur’an [lihat antara lain QS. As-Sajdah : 24 dan Al-Anbiyâ : 73] adalah :
1- Pemimpin yang memberi petunjuk berdasarkan perintah Allah, artinya pemimpin yang menegakkan amar ma’rûf nahî munkar.
2- Pemimpin yang bersikap sabar
3- Pemimpin yang meyakini kebenaran ayat-ayat Allah (ayat-ayat mikro dan makro, ayat-ayat qur’aniyah maupun kawniyyah).
4- Memiliki semangat reformasi (Ishlaâh) dan selalu berupaya untuk berbuat baik (fi’la al-khayrât), punya visi dan misi dalam membungan rakyat.
5- Memiliki kesadaran vertikal-transendental dengan selalu bertaqarrub kepada Allah, sebagaimana yang dilakukan oleh para Khulafa al-râsyidîn.

Model Kepemimpinan Rasulullah SAW
Model kepimimpinan Rasulullah SAW merupakan contoh sempurna bagi setiap generasi umat yang punya keinginan untuk menjadi seorang pemimpin. Tentunya perilaku Rasulullah SAW dengan sifatnya yang empat, yaitu shiddiq (jujur), amanah (dipercaya/akunta ble), tabligh (menyampaikan/trasnparan), dan Fathonah (cerdas).Pencitraan terhadap sifat Rasul SAW merupakan model ala kepemimpin Rasulullah SAW. Tentunya semua kita dan masyarakat akan menginginkan pemimpin yang amanah dan shiddiq, bisakah masyarakat wujudkan pemimpin yang amanah itu?
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mementingkan kepentingan rakyat dan umat di atas kepentingan pribadi dan golongan, idealnya begitu!!!. Kita mungkin pernah mendengar sejarah kepimpinan khalifah Umar bin Khattab, Umar bin Abdul Aziz, Sultan Shalahuddin al-Ayyubi, yang merakyat, yang peduli kepada umat bagi mereka “masyarakat tidak butuh janji tapi tindakan yang reel” sampai-sampai Khalifah Umar bin Khattab mikul sendiri gadum yang diberikan kepada rakyatnya, karena melihat rakyat lagi kelaparan.
Model Kepemimpinan Rasulullah SAW dan realitas kepemimpinan saat ini kepemimpinan merupakan sebuah modal yang harus dimiliki oleh para pemimpin yang hendak menjadi pemimpin. Biasanya, masing-masing pemimpin memiliki model mereka sendiri dalam memimpin sebuah organisasi baik formal maupun non-formal atau organisasi yang sangat besar. Namun secara garis besar model kepemimpinan dibagi menjadi 5 gaya kepemimpinan, yaitu : 1. Otokratis, 2. Militeristis, 3. Paternalistis, 4. Kharismatik, dan 5. Demokratis. Dari kelima model kepemimpinan di atas masing-masing ada penganutnya. Namun yang paling berhasil dan paling fenomenal seorang pemimpin yang pernah ada di dunia ini adalah Rasulullah SAW. Beliau berhasil karena mampu mengkombinasikan kelima model kepemimpinan di atas sehingga model kepemimpinan yang dianut oleh beliau menjadi sempurna.
Hampir tidak ada sejarah yang menceritakan kecacatan yang Rasulullah lakukan selama beliau menjadi pemimpin. Hal ini dilakukan karena dari model-model terdapat kelemahan dan juga kelebihan dari masing-masing model kepemimpinan tersebut. Selain itu, yang tidak boleh dilupakan adalah pribadi dari seorang pemimpin itu. Semua model itu tidak akan berarti apa-apa apabila diaplikasikan oleh seorang yang memiliki kepribadian yang buruk. Ia senang korupsi, menindas rakyat kecil atau mengambil hak orang lain. Hal ini secara tidak langsung akan membuat masa kepemimpinannya tidak akan bertahan lama. Oleh karena itu, Rasulullah SAW adalah contoh pemimpin sempurna yang pernah ada selama ini. Karena beliau mengkombinasikan antara akhlakul karimah dengan model kepemimpinan yang ada. Kekuatan akhlak yang Rasulullah miliki mampu menciptakan kekuatan baru yang sangat luar biasa.
Dengan kekuatan itu, Rasulullah menjadi mampu menegakan dan menyebarkan ajarannya keseluruh penjuru dunia. Walaupun begitu, karena kemuliaannya tadi, tidak ada rasa sombong, ujub atau membanggakan diri sedikitpun yang timbul pada diri Rasulullah SAW. Inilah yang membedakan Rasulullah dengan pemimpin-pemimpin yang ada saat ini. Mereka sangat haus dengan kedudukan, harta, bahkan hal-hal yang menurut mereka dapat membuatnya kaya di dunia ini, sehingga mereka dapat menjalankan segala keinginan mereka sesuai nafsu yang mereka inginkan. Oleh karena itu, ketika ada pertanyaan model kepemimpinan apa yang harus kita jalankan, maka jawaban yang harus timbul adalah poin yang keenam yaitu model kepemimpinan Rasulullah SAW. Hal ini dikarenakan Rasulullah SAW-lah seorang pemimpin yang sudah diakui oleh dunia dalam berbagai hal, baik dari segi akhlak dan kemampuan-kemampuan yang lainnya. Oleh karena itu, pemimpin yang relevan dengan keadaan saat ini adalah seorang pemimpin yang paling mengenal siapa itu Nabi Muhammad SAW dan mengamalkan segala bentuk ajaran/risalah yang beliau bawa. Selain itu pemimpin saat ini haruslah benar-benar memusatkan perhatiannya terhadap amanah yang ia emban. Dan yang tidak perlu dilupakan adalah keadilan yang harus ditegakan dalam kinerjanya kelak.
Seorang pemimpin semetinya tidak membeda-bedakan suku, agama, ras dan agama. Apalagi di Indonesia yang multi agama dan menyebarnya faham-faham pluralisme, tentunya tak pantas kalau seorang pemimpin harus membeda-bedakan agama, ras dan suku dalam ranah-ranah publik. Dan sepatutnya pula pemimpin umat yang pro rakyat, yang meneladani sifat Rasulullah SAW, kalau dalam bahasa yang mudah dipahami adalah pemimpin yang “muhammadanisme”, bukan karena dari kalangan organisasi keagamaan (NU, Muhammadiyah, PERSIS, dan sebagainya).
 Kepemimpinan Model Sholat Berjamaah
Ketika seseorang telah terpilih menjadi pemimipin dengan kriteria model kemimpinan Rasulullah SAW sebagaimana yang saya tulis diatas, maka tahap selanjutnya adalah dalam kepemimpinannya harus pandai membuat strategi-strategi dan job description yang jelas dan pro-umat. Para ulama banyak mengomentasi tentang filsafat sholat berjamaah sebagai obyek dalam mengaktulisasikan kinerja seorang pemimpin dengan berbagai macam interpretasi dan penafsiran yang tentunya mengarah kepada seorang imam sholat berjamaah dengan poin-poin sebagai berikut:

a)      Seorang Imam Sholat harus fathonah, Imam sholat berjamaah harus cerdas. Artinya harus faseh bacaan al-Qur’an dan faham maksudnya ayat yang dibacakan tadi. Hal ini merupakan syarat mutlak seorang imam, karena jika ada imam sholat yang bacaannya tidak sesuai dengan tajwid, maka para ulama menghukumi sholatnya itu tidak sah. Jika aturan imam sholat pertama ini kita tarik pada ranah kepimpinan dalam lembaga, organisasi, kepala negara, maka sejatinya seorang pemimpin itu harus cerdas, pintar dan tentunya punya wibawa dan kharismatik di mata masyarakat. Cerdas dalam melihat situasi dan kondisi, cerdas dalam mengambil keputusan, cerdas dalam memecahkan problem masyarakat, cerdas dalam menafsirkan bergabagai gejala sosial yang timbul ditengah-tengah masyarakat, dan yang terpenting adalah seorang pemimpin harus cerdas dalam berbagai bidang. Karena misalnya pemimpin Negara, tentunya dia tidak bisa hanya mampu dalam bidang-bidang tertentu sementara bidang yang lain diabaikan, hal semacam ini akan membuat roda pemerintahannya akan terlihat pincang tidak stabil. Seperti imam sholat jika tidak menguasai kaidah makhraj huruf dalam bacaannya, maka tentunya akan menjadi tidak sempurnanya sholat, dan itu semua akan berdampak kepada jamaah sholat.
b)      Seorang Iman Sholat harus sehat, Imam sholat wajib dan harus sehat jasmani dan tentunya pula harus sehat rohani. Syarat ini merupakan mutlak bagi imam sholat, karena jika imam sholat sakit (tidak sehat secara jasmani, apalagi rohani) maka akan mempengaruhi terhadap kondisi dan tidak sempurnanya sholat. Penafsiran semacam ini lebih pada interpretasi tidak sehat secara jasmani. Sementara sakit secara rohani merupakan sifat yang abstrak (tidak nampak) dan sakit semacam ini bisa mempengaruhi terhadap ketidak khususan imam dalam memimpin sholat berjamaah. Misalnya, jika imam sholat ada masalah atau sifat dendam, dengki, hasut, dan ruya’, maka sifat ini tentunya punya pengaruh besar terhadap ketidakeksistensi dalam membaca ayat-ayat al-Qur’an dan bahkan bisa tidak konsen dalam menghitung jumlah rakaat sholat.
Jika kemudian problem imam sholat yang semacam ini, ditarik dalam ranah kepemimpinan, maka seorang memimpin itu harus sehat secara jasmani dan rohani. Misalnya, beberapa hari setelah dideklarisasinya enam kandidat capres dan cawapres Indonesia, terlebih dahulu dia harus mengadakan pemeriksaan kesehatan pada tim dokter yang sudah dipersiapkan oleh Komisi Pemilihan Umum sebagai penyenggara. Ini mengindikasikan bahwa seorang pemimpin secara fisik harus sehat. Sehat secara jasmani tidak cukup untuk mempersiapkan seorang pemimpin, tetapi dia juga harus sehat rohani. Masalah rohani, ini adalah wilayah-wilayah abstarak, ranah-ranah yang sulit ditebak, dan sulit diintretasikan dalam ranah public. Sakit secara rohani ini banyak orang menafsirkan adalah sakit jiwa yang secara terperinci adalah dia mempunyai sifat sombong, riya’, dendam, iri hati, dan sebagainya. Sifat-sifat semacam ini harus di buang jauh-jauh dari hati seorang pemimpin karena akan mempengaruhi terhadap kinerja pemerintahan dan cendrung memilih dan memilah, karena seorang pemimpin yang sejati tidak bisa memilih dan memilah suku, agama, dan golongan dalam memberikan keputusan yang menyangkut orang banyak.
c)       Seorang Iman Sholat siap dikritik. Manusia adalah cendrung keliru dan salah, karena itu merupakan sifat manusia, karena itu Islam mengajarkan harus saling menasehati dalam kebenaran dan ketaqwaan. Dalam sholat umpanya sering kita jumpai seorang imam lupa atau keliru dalam melafazdkan bacaan, maka para jamaah harus menegur secara ma’ruf sesuai dengan aturan dalam kaifiat sholat yaitu jika imam sholat keliru maka ucapan yang pantas diucapkan sebagai ungkapan kritikan adalah ”subahanallah”. Jika imam sholat mendengar ucapan itu, maka dia harus mengerti dan faham bahwa dia keliru, salah dalam melafadzkan bacaan al-Qur’an. Dan seorang imam juga tentunya menyadari dan segera memperbaiki bacaanya yang keliru itu, dan tidak boleh egois dan angkuh dengan meneruskan bacaan yang salah itu sampai selesainya sholat, hal ini akan mengurangi nilai-nilai kehilahiyah dalam sholat itu sendiri. Kalau masalah diatas ini kita tarik pada ranah-ranah kepimpinan, maka seorang pemimpin itu tidak boleh egois apabila  dalam pemimpinannya, memang itulah salah satu tugas seorang pemimpin siap dikritik selama kritikan yang konstruktif (membangun) yang membawa perubahan pada perbaikan dalam kepimpinannya. Jika pemimpin itu tidak siap dikritik, maka jangan jadi seorang pemimpin, karena tatkala pemimpin hanya mengandalkan dan memperhatankan keegoisannya, maka akan mempengaruhi terhadap kinerja kemipimpinannya.
Masyarakat yang dipimpin harus mengatahui aturan dan mekanisme cara mengkritik yang sopan dan mekanisme mengkritik yang benar, jangan asal mengkritik tapi tidak konstruktif karena itu akan menimbulkan masalah baru.
d)      Seorang Imam Sholat harus tahu aturan. Imam sholat harus mengatahui kaifiah menjadi imam sholat. Misalnya jika memang dia tidak mampu untuk menjadi imam lebih baik  memberikan kesempatan pada yang lain untuk menjadi imam, baik dari segi bacaan yang kurang tajwid, dan sebagainya. Jika dipaksakan untuk menjadi imam, dikhawatirkan akan membatalkan sholat. Begitu juga seorang pemimpin jika memang dia tidak mumpuni untuk menjadi seorang pemimpin sebaiknya dia harus memberikan kesempatan pada yang lain yang lebih mumpuni dalam memimpin, karena “jika suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya”.


Kepemimpinan dalam Landasan Al-Qur’an dan As-Sunnah
            Dalam suasana kepemimpinan yang tak jelas arahnya, tak jelas aturan dan kreterianya, maka perlulah kita menyimak kembali petunjuk-petunjuk dari Al-Qur’an. Paling tidak, mengambil aspirasi dari Al-Qur’an dan tuntunan Rasulullah SAW dan Ahlul baitnya.
ا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَ أَطِيعُوا الرَّسُولَ وَ أُولِي الأَْمْرِ مِنْكُمْ
            Artinya:“Wahai orang-orang yang beriman taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul  dan Ulil amr dari kalian”. (Surat Nisa’, ayat 59).
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنِ اسْتُعْمِلَ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ*
Artinya: Dari Anas bin Malik dari Nabi SAW bersabda:” Dengar dan taatlah kalian walaupun dipimpin oleh seorang budak Habsyi dan kepalanya seperti buah anggur kering” (HR Bukhari)

“Dari Abu Hunaidah Wa’il bin Hajar ra berkata: Salamah bin Yazid Aj-Ja’fi bertanya pada Rasulullah saw dan berkata:” Wahai nabi Allah bagaimana pendapatmu jika pemimpin kami meminta kepada kami hak mereka dan tidak melaksanakan haknya (kewajibannya)?”. Rasulullah saw berpaling darinya, tetapi ia bertanya lagi, maka Rasulullah saw menjawab:” dengar dan taatilah (pemimpin tersebut) karena sesungguhnya mereka akan menanggung beban tanggung-jawab yang harus dilaksanakannya dan kamu juga akan bertanggung-jawab terhadap yang kamu perbuat“ (HR Muslim)

Artinya:  Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”(QR. Al Baqoroh:30)
Artinya : Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa yang kafir, Maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka.(QR. Al Fatiir : 36) Dan dari penjelasan dapat disimpulkan bahwa kata khalifah menurut Al Pada ayat-ayat diatas jelas  Al-Qur`an sudah menjelaskan masalah.



Landasan Hukum Taan kepada Pemimpin
Sesuai dengan nash yang telah dikemukakan diatas baik dari Al-Qur’an maupun sunnah, menyimpulkan bahwa Islam mewajibkan taat umat Islam untuk taat kepada pemimpin dan haram bagi umat Islam menyimpang dari ketaatan kepada pemimpin Islam. Nash lain yang mendukung perintah taat dan larangan menyimpang adalah:
Rasulullah saw bersabda:
عن أبي هنيدة وائل بن حجر رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال: سأل سلمة بن يزيد الجعفي رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم فقال: يا نبي اللَّه أرأيت إن قامت علينا أمراء يسألونا حقهم ويمنعونا حقنا فما بأمرنا؟ فأعرض عنه. ثم سأله فقال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم:<اسمعوا وأطيعوا فإنما عليهم ما حملوا وعليكم ما حملتم> رَوَاهُ مُسلِمٌ
Dari Abu Hunaidah Wa’il bin Hajar ra berkata: Salamah bin Yazid Aj-Ja’fi bertanya pada Rasulullah saw dan berkata:” Wahai nabi Allah bagaimana pendapatmu jika pemimpin kami meminta kepada kami hak mereka dan tidak melaksanakan haknya (kewajibannya)?”. Rasulullah saw berpaling darinya, tetapi ia bertanya lagi, maka Rasulullah saw menjawab:” dengar dan taatilah (pemimpin tersebut) karena sesungguhnya mereka akan menanggung beban tanggung-jawab yang harus dilaksanakannya dan kamu juga akan bertanggung-jawab terhadap yang kamu perbuat“ (HR Muslim)

Batasan Ketaatan
Ketika Islam mewajibkan umat Islam untuk mentaati para pemimpin, Islam juga memberi batasan tentang ketaatan tersebut dan tidak membiarkanya berlaku mutlak tanpa ada batasan. Karena ketaatan mutlak akan melahirkan tirani dan kediktatoran sehingga akan menghapus nilai-nilai Islan dalam hidup bermasyarakat. Oleh karenanya ketaatan terhadap pemimpin dibatasai oleh ruang lingkup tertentu dan syarat-syarat tertentu yang harus ditunaikan. Dan diantaran batasan dan syurut tersebut adalah:
Pemimpin tersebut harus merealisasikan Syariat Islam, jika tidak melaksanakan Syariat Islam maka tidak ada kewajiban taat kepada pemimpin tersebut sesuai yang disebutkan Al-Qur’an surat An-Nisaa’ ayat 59.
Pemimpin tersebut tidak menyuruh manusia berbuat maksiat. Maka jika pemimpin menyuruh rakyatnya berbuat maksiat seperti minur khomr, riba, buka aurat dll, maka tidak ada kewajiban taat. Rasulullah saw bersabda:
لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق
“Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Khalik (Allah)”(HR Ahmad dan Al-Hakim)
"إنما الطاعة في المعروف".
“Sesungguhnya ketaatan hanya pada sesuatu yang baik” (HR Bukhari).
3. Menegakkan hukum dengan adil, jika pemimpin melaksanakan keadilan maka wajib taat kepada mereka tetapi jika tidak adil maka tidak ada hak untuk ditaati, sebagaimana disebutkan dalam surat An-Nisaa’ 59.
4. Sesuatu yang diperintahkan mampu dilaksanakan oleh yang akan menanggung perintah tersebut.
:الله بن عمر رضي الله عنهما قال عن عبد
كنَّا إذا بايعنا رسول الله صلى الله عليه وسلم على السمع والطاعة يقول لنا: فيما استطعتم
Dari Abdullah bin Umar ra berkata:” kami jika membai’ah Rasulullah saw untuk mendengar dan taat. Beliau berkata pada kami:”pada yang kamu mampu” (Muttafaqun ‘alaihi)
Ketaatan dalam Dakwah Islam
Ketaatan adalah unsur yang sangat prinsip yang sangat dibutuhkan dalam gerakan da’wah. Setiap gerakan da’wah tidak mungkin sampai pada tujuan kecuali jika unsur ketaatan sudah sampai pada derajat yang sempurna. Dan ketaatan dalam Islam berlandaskan pada prinsip Akidah dan Syari’ah.
Jika kita melihat gerakan da’wah Islam, pada setiap gerakan pasti memiliki pemimpin dan gerakan tersebut bertujuan menegakkan hukum Islam maka wajib bagi pengikut dan anggota gerakan Islam tersebut mentaati pemimpinnya agar tujuan penegakkan Syari’at Islam dapat terealisasi dengan cepat. Oleh karena itu imam Hasan Al-Banna salah seorang pemimpin gerakan Islam modern menjadikan taat sebagai salah satu rukun atau pilar dari rukun ba’iah yang terdiri dari sepuluh poin. Beliau berkata:” Sistem da’wah dalam marhalahTakwin (fase pembentukan) adalah sufi murni pada sisi ruhiyah dan militer murni pada sisi amaliyah. Dan syi’ar dari dua sisi tersebut adalah ‘perintah dan taat’ tanpa bimbang, mundur, ragu dan berat. Dan da’wah dalam marhalah ini bersifat khusus yang tidak dapat berhubungan kecuali orang-orang yang sudah menyiapkan dengan persiapan yang benar untuk menanggung beban jihad yang panjang jaraknya dan banyak rintangan. Dan langkah awal dari bersiapan ini adalah sikap kamalut tha’ah (kesempurnaan ketaatan).
Abul A’la Maududi menerangkan pemahaman ini, beliau berkata:” Di lihat dari arah agama yang murni, maka ketaatan anggota jamaah kepada pemimpinnya merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Seseorang ketika melaksanakan perintah da’wah karena keyakinannya bahwa da’wah itu perintah Allah dan Rasul-Nya. Ia tidak ridha pada seorang untuk menjadi pemimpin dirinya kecuali untuk mengharapkan ridha Allah dan mendekatkan kepada-Nya. Sehingga ketika ia taat kepada pemimpin dalam perintah-perintahnya yang masyru’ pada hakekatnya ia mentaati Allah dan Rasul-Nya. Sehingga ia dengan cepat melaksanakan perintah tersebut sesuai tingkat kekuatan hubungannya dengan Allah dan Rasul-Nya. Maka ketaatan seorang akh kepada pemimpin, dengan niat untuk Allah maka ia akan mendapat pahala yang besar dari Allah”.
Keutamaan Taat
1. Mendapatkan puncak kenikmatan bersama para nabi
Firman Allah:
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا(69)
Artinya:” Dan barangsiapa yang menta`ati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya” (QS An-Nisaa’ 69)
2. Tidak terbuangnya kekayaan dunia dan mendapat keberkahan hidup Firman Allah:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى ءَامَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ(96)
Artinya:” Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”(QS Al-A’raaf 96).
3. Mendapat tambahan hidayah. Firman Allah SWT.:
وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَءَاتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ(17)
Artinya:” Dan orang-orang yang berupaya mendapat petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaannya” (QS Muhammad 17).
4. Mendapat keteguhan dalam taat. Firman Allah SWT.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ(7)
Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” (QS Muhammad 7).
5. Mendapat pahala yang besar berupa keridhan Allah dan surga-Nya Firman Allah SWT.
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ(13)
Artinya: (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar” (QS An-Nisaa’ 13).
Bahaya tidak Taat
1. Rapuhnya barisan dan timbulnya perselisihan.
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ(46)
Artinya:”Dan ta`atlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (Al-Anfaal 46).
2. Kehinaan dari Allah SWT.
وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ(14)
Artinya:”Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan” (QS An-Nisaa’ 14).
إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللَّهِ الَّذِينَ كَفَرُوا فَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ(55)
Artinya:”Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang yang kafir, karena mereka itu tidak beriman” (QS Al-Anfaal 55).
3. Bedosa dan bermaksiat kepada Allah
Firman Allah SWT.:
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ(49)
Artinya:”Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik” (QS Al-Maa-idah 49).
4. Mati dalam kondisi sesat dan jahiliyah. Firman Allah SWT:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا(36)
Artinya:”Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (QS: Al-Ahzaab 36).
Rasulullah saw. bersabda:
عن ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللَّه عَنْهممَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً *(متفق عليه)
Artinya:Dari Ibnu Abbas ra dari Nabi SAW bersabda:” Barangsiapa melihat sesuatu yang ia tidak sukai pada pemimpinnya, maka bersabarlah karena barangsiapa yang meninggalkan jamaah sejengkal kemudian mati, kecuali mati dalam keadaan jahiliyah” (Muttafaqun ‘alaihi)

Malaikat Dan Khalifah
Dengan dua ayat berturut-turut, yaitu ayat 28 dan 29 perhatian kita Insan ini disadarkan oleh Tuhan. Pertama, bagaimana kamu akan kufur kepada Allah, padahal dari mati kamu Dia hidupkan.Kemudian Dia matikan, setelah itu akan dihidupkanNya kembali untuk memperhitungkan amal.
Bagaimana kamu akan kufur kepada Allah, padahal seluruh isi bumi telah disediakan untuk kamu. Lebih dahulu persediaan untuk menerima kedatanganmu di bumi telah disiapkan, bahkan dari amar periatah kepada ketujuh langit sendiri. Kalau demikian adanya, pikirkanlah siapa engkau ini. Buat apa kamu diciptakan. Kemudian datanglah ayat khalifah.
وَ إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّيْ جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيْفَةً

"Dan (ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata kepada Malaikat : Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah. " (pangkal ayat 30).

Sebelum kita teruskan menafsirkan ayat ini, terlebih dahulu haruslah dengan segala kerendahan hati dan iman kita pegang apa yang telah dipimpinkan Tuhan pada ayat yang tiga di permulaan sekali, yaitu tentang percaya kepada yang ghaib.
Tuhan telah menyampaikan dengan Wahyu kepada UtusanNya bahwa Tuhan pernah bersabda kepada Malaikat bahwa Tuhan hendak mengangkat seorang khalifah di bumi. Maka terjadilah semacam soal jawab di antara Tuhan dengan Malaikat. bagaimana duduknya dan di mana tempatnya bila waktunya soal jawab itu ? Tidaklah layak hendak kita kaji sampai ke sana.

Ada dua macam cara Ulama-ulama ikutan kita menghadapi wahyu mi. Pertama ialah Mazhab Salaf. Mereka menerima berita wahyu itu dengan tidak bertanya-tanya dan berpanjang soal.

Tuhan Allah telah berkenan menceritakan dengan wahyu tentang suatu kejadian di dalam alam ghaib, dengan kata yang dapat kita pahamkan, tetapi akal kita tidak mempunyai daya upaya buat masuk lebih dalam ke dalam arena ghaib itu. Sebab itu kita terima dia dengan sepenuh iman.
Cara yang kedua ialah penafsiran secara Khalaf, yaitu secara Ulama-Ulama yang datang kemudian. Yaitu dipakai penafsiran­penafsiran yang masuk akal, tetapi tidak melampaui garis yang layak bagi kita sebagai makhluk.
Berdasar kepada ini, maka Mazhab Khalaf berpendapat bahwasanya apa yang dihikayatkan Tuhan ini niscaya tidak sebagai yang kita pikirkan. Niscaya pertemuan Allah dengan MalaikatNya itu tidak terjadi di satu tempat; karena kalau terjadi di satu tempat, tentu bertempatlah Allah Ta'ala. Dan bukanlah Malaikat itu berhadap­ hadapan duduk bermuka.-muka dengan Allah. Karena kalau demikian tentulah sama kedudukan mereka, rnalaikat sebagai makhluk, Allah sebagai Khaliq.
Menurut penyelidikan perkembangan iman dan agama dan perbandingannya dengan Filsafat, betapapun modernnya filsafat itu, maka mazhab khalajia.h yang lebih menenteramkan iman, dan kesanalah tujuan kepercayaan . Umumnya Filosof yang mukmin penganut mazhab Khalaf, seumparna filosof muslim yang besar Ibnu Rusyd. Demikian majunya dalam alarn filsafat, namun berkenaan dengan soal-soal ghaib, dia menjadi orang Khalaf yang tenteram dengan pendiriannya.

Imam Ghazali, dia berselisih tentang hukum akal. Bagi dia api wajib menghangusi , air membasahi. Tidak mungkin tidak begitu. Tetapi jika ditanyakan tentang Nabi Ibrahim a. s. tidak hangus dibakar api, dia menjawab bahwa hal begitu tidaklah tugas filsafat. Itu adalah tempat iman. “Sebagai Muslim saya percaya.” Katanya.
Pelopor Filsafat Modern, yaitu Emmanuel Kant, dalam hal kepercayaan dia seakan-akan penganut dari mazhab Khalaf. Dia pernah berkata : "Betapapun kemajuan saya dalam berpikir, namun saya mengosongkan sesudut dari jiwa saya buat percaya.
Sekarang kita teruskan: Maka nampaklah di pangkal ayat, Tuhan telah bersabda kepada Malaikat menyatakan rnaksud hendak mengangkat seorang khalifah di bumi ini.


الُوْا أَتَجْعَلُ فِيْهَا مَن يُفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَ نَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَ نُقَدِّسُ لَكَقَ

"Mereka berkata: Apakah Engkau hendak menjadikan padanya orang yang merusak di dalamnya dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau?
Artinya setelah Allah menyatakan maksudNya itu, maka Malaikatpun mohon penjelasan, khalifah manakah lagi yang diketahui oleh Tuhan hendak menjadikan?
Di dalam ayat terbayanglah oleh kita bahwa Malaikat, sebagai makhluk Ilahi, yang tentu saja pengetahuannya tidak seluas pengetahuan Tuhan, meminta penjelasan, bagaimana agaknya corak khalifah itu ? Apakah tidak mungkin terjadi dengan adanya khalifah, kerusakan yang akan timbul dan penumpahan darahlah yang akan terjadi ? Padahal alam dengan kudrat iradat Allah Ta'ala telah tenteram, sebab mereka, malaikat, telah diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang patuh, tunduk,taat,dan setia. Bertasbih, bersembahyang mensucikan nama Allah.
Rupanya ada sedikit pengetahuan dari malaikat-malaikat itu bahwasanya yang akan diangkat menjadi khalifah itu ialah satu jenis makhluk. Dalam jalan pendapat malaikat, bilamana jenis makhluk itu telah ramai, mereka akan berebut-rebut kepentingan di antara satu sama lain.

Kepentingan satu orang atau satu golongan bertumbuk dengan satu orang atau satu golongan yang lain, maka beradulah yang keras timbullah pertentangan dan dengan demikian timbullah kerusakan bahkan akan timbul juga pertumpahan darah. Dengan demikian ketenteraman yang telah ada dengan adanya makhluk, malaikat yapg patuh, taat dan setia, menjadi hilang.





Share:

MUTLAQ DAN MUQAYYAT


MUTLAQ DAN MUQAYYAT



Daftar Isi



Makalah ini di buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih. Tidak hanya itu, namun juga di harapkan bias menambah pengetahuan bagi penyusun khususnya dan bagi pebaca umumnya. Walau pun nanti isi atau pun kajannya hanya sedikit.
Dan penyusun ingin menjelaskan tentang masalah Mutlaq dan Muqayyad, baik dilihat dari segi pengertianya, ketentuan – ketentuan Mutlaq dan Muqayyad dan juga hubungan antara Mutlaq dan Muqayyad
1.      Apa pengertiannya Mutlaq dan Muqayyad ?
2.      Bagai mana ketentuan Mutlaq dan Muqayad ?
3.      Apa hubungannya antara Mutlaq dan Muqayyad ?
4.      Pengunaan lafadz Mutlaq dan Muqayad?



Dalam memberikan definisi kepada Mutlaq terdapat rumusan yang berbeda, namun saling berdekatan.:
1.      Muhamad al- Khodhuri Beik memberikan definisi :
المطلق مادل على فرد او افراد شائعة بدون قيد مستقل لفظا
Artinya : Mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap satu atau beberapa satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terpisah secara lafdzi.
2.      Al- Amidi memberi definisi :
هو اللفظ الدال على مدلول شائع فى جنسه
Artinya : Lafadz yang memberi petunjuk kepada madlul (yang diberi petunjuk ) yang mencakup dalam jenisnya.
3.      Ibn Subki merumuskan definisi:
المطلق الدال على الماهية بلا قيد
Artinya: Mutlaq adalah lafadz yang memberi petunjuk kepada hakekat Sesutu tanpa ada ikatan apa – apa
4.      Abu Zahrah mengajukan definisi :
اللفظ المطلق هو الذى يدل على موضوعه من غير نظر الى الواحدة او الجمع او الوصف بل يدل على الماهية من حيث هي


Artinya : Lafadz mutlaq adalah lapadz yang memberi petunjuk terhadap maudhu’nya (sasaran penggunaan lafadz) tanpa memandang kepada satu, banyak atau nsipatnya, tetepi memberi petunjuk kepada hakekat sesuatu menurut apa adanya.
5.      Khairul Uman memberikan definisi:
Mutlaq adalah lafadz yang menunjukan arti satu atau arti sebenarnya tanpa dibatasi oleh suatu hal yang lain
Dengan membandingakan definisi – definisi tersebut jelaslah bahwa mutlaq adalah lafadz yang mencakup pada jenisnya tetapi tidak mencakup seluruh afrad di dalamnya. Disinilah di antara letak perbedaan lafadz mutlaq dengan lafadz ‘am, meskipun terdapat istilah “meliputi afrodnya “.
Dari segi cakupannya, juga dapat dikatakan bahwa mutlaq itu sama dengan nakiroh yang disertai oleh tanda – tanda keumuman suatu lafadz, termasuk jama’ nakiroh yang belum diberi qayid (ikatan).
Seperi contoh : “Aiidikum” dalam ayat :
((# ö öNä3ƒÏ÷ƒr&urNä3Ïdqã_âqÎ/qßs|¡øB$$sù$Y7ÍhŠsÛ# [#YÏè|¹ ö (#qßJ£JutFsù ä!$tB rßÅgrB Nn=sù 
Artinya : Apabila kamu tidak menemui air, maka bertayamumlah dengan debu yang suci, maka usaplah mukamu dan tanganmu dengan debu itu. (QS. Anisa . 43)
Mengusap tangan dengan debu, dalam ayat ini tidaklah di batasi dengan sifat syarat dan sebagainya yang jelas dalam tayamum itu harus mengusap tangan dengan debu.
Karena perkatan “aiidiikum (tanganmu) ini tidak dibatasi sampai di mana yang harus diusap, maka bagian yang diusap adalah bagian mana saja asalkan bagian tangan, karena itu disebut mutlaq.
Muqayyad adalah lafadz yang menunjukan arti sebenarnya, dengan dibatasi oleh suatu hal dari batasan – batasan tertentu. Batasan – batasan yang tertentu itu disebut dengan al- qaid.
Seperti contoh:
وايديكم الى المرافق
Artinya : basuhlah tanganmu sampai siku – siku.
Contoh ini menjelaskan tentang wudhu, yaitu harus membasuh tangan sampai siku – siku. Di sini dijelaskan lafadz “aiidiikum” ini disebut muqayyad (dibatasi), sedang lapadz “ila al- marofiq” disebut al- qaid.
Apabila lafadz itu mutlaq, maka mengandung ketentuan secara mutlaq (tidak dibatasi), dan apabila lafadz ityu muqayyad, maka mengandung arti ketentuan secara muqayyad (dibatasi)
Maksudnya lafadz yang mutlaq harus diartikan secara mutlaq dan lafadz yang muqayyad harus diartikan secara muqayyad pula dan tidak boleh dicampur adukan satu dengan yang lainnya. Maka sendirinya hukumnyapun harus berbeda.
Apabila ada satu lafadz disatu tempat berbentuk mutlaq, sedangkan pada tempat yang lain berbentuk muqayyad, maka ada beberapa kemungkinan dari ketentuannya.
1.      Persaman sebab dan hukumnya
Apabila kedua lafadz itu bersamaan dalam sebab dan hukumnya, maka salah satunya harus diikutkan pada yang lain, yakni yang muqyyad. Artinya lafadz mutlaq tadi jiwanya sudah tidak mutlaq lagi, karena ia harus tunduk kepada muqayyad, dan harus diartikan secara muqayyad. Jadi, kedua lafadz tadi sekalipun berbeda dalam bentuknya namun sama saja cara mengartikannya. Oleh karena itu yang muqayyad merupakan penjelasan yang mutlaq.
Contoh lafadz:
فصيام ثلاثة أيام
Artinya: Berpuasa tiga hari, merupakan bentuk contoh mutlaq, menurut bacaan mutawatir. Tetapi menurut bacaan syadzah lafadz tersebut bentuknya muqayyad (bacaan Ubbaid bin Ka’ab dan Ibnu Mas’ud) ayat itu berbunyi :
فصيام ثلاثة أيام متتابعات
Artinya : berpusalah tiga hari berturut – turut .
Jadi lafadz di atas dibatasi dengan kata – kata berturut – turut (mutatabiat).
Karena kedua bacaan tadi bersamaan sebab dan hukumnya, maka qirat mutawatir di atas diikutkan (disesuaikan) dengan qiraat syadzah. Jadi cara mengartikannya disamakan dengan qiraat syadzah. Hendaklah berpuasa tiga hari bertrut –turut. Jadi, karena keduanya sama hukumnya, yaitu wajib puasa dan sama sebabnya karena kafarat sumpah. Lebih jelasnya, walaupun di dalam mushaf tidak disebutkan lafadz “mutatabiatin” tetapi cara mengartikannya haruslah berpuasa tiga hari berturut –turut dengan memakai qaid mutatabiat.
2.      Sebabnya berbeda tetapi hukumnya sama
Apabila dua lafadz itu berbeda dalam sebab, tetapi sama dalam hokum, maka bagian ini diperselisikan antara ulama ushul. Menurut sebagian ulama, yang mutlaq harus diikutkan kepada yang muqayyad, sadang Ulama yang lain mengatakan bahwa yang mutlaq tetap pada kemutlaqannya.
Contohnya pada perkataan “Roqobatin” yang artinya Budak. Lafadz ini bentuknya mutlaq dalam ayat yang artinya : “dan orang – orang yang bersumpah zhihar kemudian menarik kembali apa yang dikatakannya, maka wajib memerdekakan budak, sebelum keduanya berkumpul” (QS Al- Mujahadah 39)
Pada ayat lain berupa “rokobatin mukminatin” (budak yang mukmin). Lafadz ini berbentuk muqayyad dalam ayat yang artinya “Barang siapa yang membunuh orang mukmin dengan bersakah maka wajib memerdekakan budak yang mukmin. “ (QS An- Nisa 92).
Pada ayat pertama seorang harus memerdekakan budak, karena bersumpah zhihar, sedang pada ayat kedua karena membunuh tidak sengaja. Jadi, berbeda dalam sebabnya. Meskipun berlainan sebabnya, tetapi hukumnya sama yaitu sama – sama memerdekakan budak. Namun, jika tidak diikutkan, berarti yang mutlaq tetap paa kemutlaqnnya, maka dalam supah zhihar, budak yang dimerdekakan tidak harus mukmin. Sedangkan dalam soal membunuh dengan tidak sengaja maka budak yang dimerdekakan harus mukmin.
3.      Perbedaan hukum dan sebab
Apabila terjadi perbedaan hukum dan sebab, maka yang mutlaq tidak boleh diikutkan kepada yang muqayyad. Misalnya dalam hal saksi diharuskan adil, sedangkan dalam hal membunuh dengan tidak sengaja diharuskan memerdekakan budak. Keduanya berlainan hokum dan sebabnya, yang satu harus adil (muqayyad) dan yang lainnya, diharuskan memerdekakan budak (mutlaq). Yang satu soal saksi dan yang satu soal pembunuhan, maka sudah jelas persoalannya. Oleh karena itu, tidak boleh diikutkan satu kepada yang lain, artinya dalam hal budak tidak harus budak yang adil sebagai mana dalam hal saksi.
4.      Perbedaan dalam hukummya saja
Apabila terjadi perbedaan dalam hukumnya saja maka tidak ada perselisihan antara ulama ushuk bahwa yang mutlaq tidak boleh diikutkan kepada yang muqayyad.
Contohnya lafadz :
اشتر رقبة واعتق رقبة مؤمنة
            Artinya : belilah budak dan merdekakanlah budak mukmin.
Karena keduanya ini berbeda dalam hukumnya, yang yang satu harus membeli budakdan yang lainnya harus memerdekakan budak.Oleh karena itu, yang satu tidak boleh diikutkan pasa yang lain.
5.      Adakalanya salah satu di antara keduanya ( mutlaq dan muqayyad), dalam bentuk itsbat (membenarkan) dan naïf (membantah). Contohnya, seorang berkata, “Merdekakanlah hamba sahaya. Lalu berkata lagi, “jangan memerdekakan hanba sahaya yang kafir.” Atau ia berkata ,“Memedai memerdekakan hamba sahaya muslim.” Dan berkata lagi, “Tidak memadai memerdekakan hamba sahaya”. Lafadz mutlaq dalam contoh tersebut diberi qayid dengan kebalikan atau lawan dari qayid pada lafadz yang miqayyad. Dalam contoh pertama kata “hamba sahaya” diberi qayid dengan “muslim” dan contoh kedua “hamba sahaya” diberi qayid dengan kata “muslim”
6.      Bila dalam keduanya (mutlaq dan muqayyad) dalm bentuk nafyi atau dalam bentuk melarang , atau yang satu dalam bentuk nafyi dan yang satu lagi dalam bentuk melarang, maka lafadz mutlaq diberi qaid dengan sifat yang terdapat dalam lafadz muqayyad.
Contoh bentuk pertama : “Tidak cukup menyembeleh hewan” dan “tidak cukup menyembelih hewan sakit
Contoh bentuk kedua : “Jangan menyembelih hewan “ Jangan menyembelh hewan sakit” “jangan menyembeleh hewan”.
Bentuk dan contoh yang disebutka sebelumnya adalah lafadz muqayyad berada dalam satu tempat, sehingga lafadz mutlaq hanya mungkin ditanggungkan kepada yang muqayyad itu saja.
7.      Bentuk lain adalah lafadz muqayyad berada dalam dua tempat yang berbeda.
Mengenai hal ini ada dua pendapat yang berbeda:
1.      Menurut ulama Syafi’iyah lafadz mutlaq harus ditanggungkan kepada salah satu di antara ksdua muqayyad di tempat yang berbeda itu.
Contoh :
فصيام ثلاثة أيام
Artinya : Maka harus berpuasa tiga hari ( QS Al- Maidah 89)
Kata “tiga hari” dalam ayat ini mutlaq tanpa keterangan, artinya tiga hari tersebut     boleh berturut – turut dan boleh pula berpisah.
Contoh dalam kasus kafarah zhihar :
فصيام شهرين متتبعين
        Artinya : Maka harus puasa selama dua bulan berturut – turut.(QS Al-Mujadalah 4)
Dalam ayat ini kewajiban berpuasa dinyatakan dalam bentuk muqayyad yaitu “berturut – turut”.
Contoh dalam bentuk dam haji (berpuasa secara berpisah)
فصيام ثلاثة أيام في الحج وسبعة اذارجعت
Artinya : Maka hendaklah puasa tiga hari waktu melakukan haji dan tujuh hari setelah kembali sari ibadah haji. (QS Al- baqarah 196)

Meskipun lafadz muqayyadnya ada dalam dua tempat yang berbeda namun bila di bandingkan, ternyata salah satu diantara keduanya lebih tepat dijadikan qayid bagi lafadz mutlaq karena adanya titik kesamaan. Dalam hal ini kewajiban puasa lebih tepat diberi qayid dengan kasus kafarah zhihar, yaitu berturut – turut, karena mutlaq dan muqayyad sama – sama dalam kasus kafarah.
b. Ulama Hanafiyah berbeda pendapat bahwa lafadz mutlaq tidak dapat ditanggungkan kepada lafadz muqayyad dalam keadaan tersebut karena lafadz muqayyadnya berbeda hukumnya. Oleh karea itu lafadz mutlaq berlaku secara kemutlaqannya sedang lafadz miqayyad berlaku menurut qayidnya. Masing – masing berdiri sendiri.
Bila muqayyad berbeda dalam dua tempat yang berbeda dan tidak ada yang lebih dekat diantara keduanya untuk memberi qayid kepada lafadz mutlaq, maka lafadz mutlaq tidak dapat ditangguhkan kepada muqayyad, karena meskipun ada lafadz muqayyadnya, tetapi berada dalam bentuk yang berbeda. Dengan demikian lafadz muqayyad b3erlaku dengan qayidnya dan lafadz mutlaq berlaku secara kemutlaqannya.
1.      Jika terdapat dua lafadz yang sesuai sebab dan hukumny, maka gabungkanlah mutlaq kepada muqayyad. Jikalu terdapat sutu tuntutan yang mutlaq dalam suatu lafadz dan muqayyad pada lafadz yang lain .
Seperti hadis tentang kafarah puasa.
صم شهرين متتبعين متفق عليه
Artinya : Puasalah kamu dua bulan berturut – turut.
Digabungkan dengan hadist yang artinya : berpuasalah dua bulan .
Keterangan : bahwa hadis pertama dintentukan waktunya (muqayyad) sedangkan hadis kedua tidak ada ketentuannya (mutlaq), maka kedua hadist tersebut di kompromikan, karena bersesuaian menurut sebab dan hukumnya.
Karena ada keterangan :
المطلق يحمل على المقيد اذا ااتفقا فى السبب والحكم
Artinya : mutlaq digabungkan kepada muqayyad bila bersesuaian menurut sebab dan hukumnya .
2. Jika tidak bersesuaian menurut sebab, maka mutlaq tidak digabungkan pada muqayyad
المطلق لايحمل على المقيد اذالم يتفق في السبب
Artinya : mutlaq tidak digabungkan dengan muqayyad apabila tidak bersesuaian pada sebab.
Seperti contoh antara lafadz zhihar dengan kafarat membunuh. Firman Allah yang artinya : “mereka yang menzhihar istrinya, kemudian mereka hendak menarik (kembali) apa yang mereka ucapkan, maka wajib atasnya memerdekakan seorang hamba sahaya sebelum kedua suami istri itu bercampur.
Dengan firman Allah yang artinya: “barang siapa yang membunuh orang mukmin bersalah, maka hendaklah memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin.
Kalau ayat ini berisikan hukum yang sama (sama – sama membebaskan budak), sedangkan sebabnya berlainan, yang pertsama karena zhihar dan yang kedua karena membunuh dengan tak sengaja, maka mutlaq tidak dapat digabungkan kepada muqayyad.








Lafadz mutlaq adalah lafadz yang mencakup pada jenisnya tetapi tidak mencakup seluruh aprod di dalamnya. Di sinilah diantara letak perbedaan lafadz mutlaq dengan lafadz ‘aam, meskipun terdapat istilah “meliputi afrodnya”
Lafadz muqayyad adalahlafadz yang menunjukan arti sebenarnya dengan dibatasi oleh suatu sifat dari batasan – batasan tertentu.
Sedangkan hubungan antara mtlaq dan muqayyad diantaranya :
§  Persamaan sebab dan hukum
§  Sebabnya berbeda tetapi hukumnya sama
§  Perbedaan hukum dan sebab
§  Perbedaan hukumnya saja
Dan dalam masalah ini masih banyak para ulama ushul fiqih berbeda pendapat .








Abu Zahrah, Muhammad.2008. Ushul Fiqh. Jakarta: pustaka Firdaus
Usman, khaerul dan Ahmad achyar Aminudin, Ushul fiqih II Bandung : Pustaka Setia. 1989
Ble, Mahmud Al- Khudhori, Terjemahan ushul Fiqih, Pekalongan: Raja Murah. 1982
Syarifudin, Amir ,Haji Ushul Fiqih II cet 1, Jakarta : Logos Wacana Ilmu. 1999


Share:
PEMBACA YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN PESAN ;)

Tes iklan

Category

Contact Form

Name

Email *

Message *

Followers

SUBSCRIBE Yaa

Blue Generation (IKRH 619)

Blue Generation (IKRH 619)

Batman Begins - Diagonal Resize 2

About Me