Terima kasih

Terima kasih sudah berkunjung di blog saya ;)

Sunday, June 10, 2012

AHKAMUSY SYARI"AH (HUKUM-HUKUM SYARI"AT)



AHKAMUSY SYARI"AH (HUKUM-HUKUM SYARI"AT)


W A J I B
            Wajib adalah suatu perintah yang harus dikerjakan, di mana orang yang meninggalkannya berdosa. Sebagian ulama ahli Ushul Fiqh memberikan definisi bahwa “ wajib adalah suatu perintah, di mana orang yang meninggalkan adalah tercela”. Menurut mazhab imam Hanafi bahwa definisi fardu tidak sama dengan wajib menurut syara’. Menurut mazhab Hanafi bahwa fardu adalah perintah yang berdasarkan dalil qath’I (pasti) yang tidak ada kebimbangan lagi, sedangkan wajib adalah perintah yang berdasarkan dalil zhanni yang masih mengandung keraguan. Perbedaan tersebut tentu mempunyai kosenkuensi terhadap perbedaan nilai masing-masing, yaitu kepastian perintah wajib nilanya di bawah kepastian perintah yang fardu. Sehingga ada ulama yang berpendapat bahwa orang meninggalkan ibadah fardu maka batallah amal ibadahnya. Misalnya orang yang menunaikan ibadah haji, tetapi tidak wuquf di Arafah maka batallah ibadah hajinya. Akan tetapi orang yang meninggalkan wajib ibadahnya masih sah. Misalnya orang yang menunaikan ibadah haji tetapi tidak melakukan sa’i antara bukit Shafa dan Marwah, berarti ibadah hajinya batal karena  kewajiban Sa’i bukan berdasarkan dalil qaht’i (pasti), tetapi hanya berdasarkan dalil zhanni yang mengandung keraguan.
            Sebagian ulama mazhab Hanafi ada yang menyebut perbuatan wajib yang pasti itu sebagai fardhu ‘amali. Dengan demikian seakan-akan mereka membagi fardhu menjadi dua macam, yaitu :
1.      Fardhu dalam kenyakinan dan amal (perbuatan), yaitu fardhu yang berdasarkan dalil qaht’i.
2.      Fardhu dalam perbuatan saja, yaitu fardhu yang berdasarkan dalil zhanni.

Pembagian Wajib dari Segi Masa Pelaksanaannya
Dari segi masa pelaksanaanya, wajib terbagi menjadi 2 macam
1.      Wajib muthlaq (bebas) yang pelaksanaanya tidak dibatasi oleh waktu tertentu, sehingga seandainya dilaksanakan sampai batas akhir masa kemampuan untuk melaksanakan tidak berdosa. Seperti mengqhada’ puasa Ramadhan bagi orang yang ‘udzur. Menurut pendapat imam Hanafi qhada’ puasa Ramadhan boleh dilaksanakan kapan saja, tanpa dibatasi oleh waktu. Sedangkan menurut pendapat imam Syafi’i bahwa orang yang mengqhada’ puasa Ramadhan di batasi oleh tahun di mana orang tersebut meninggalkan puasa Ramadhan.
2.      Wajib yang harus dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu. Waktu tertentu tersebut merupakan tanda atas wajibnya suatu perintah. Seperti waktu shalat, apabila sudah masuk maka menjadi tanda atas wajibnya melaksanakan shalat tersebut. Wajib yang harus dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu (pelaksanaannya dibatasi oleh waktu) terbagi menjadi dua macam, yaitu :
1.      Wajib muwassa’ (wajib yang mempunyai waktu luas) adalah ibadah yang waktunya luas (panjang) yang cukup unntuk sambil melaksanakan ibadah yang lain. Seperti ibadah shalat yang mempunyai waktu yang panjang misalnya shalat zhuhur, disela-sela kita shalat zhuhur kita bisa melaksanakan shalat-shalat sunat yang lain.
2.      Wajib mudhayyaq ialah suatu ibadah wajib, dimana waktu yang disediakan untuk melaksanakannya sangat terbatas sehingga tidak cukup untuk melaksanakan ibadah yang lain. Seperti ibadah puasa pada bulan Ramadhan di mana kita hanya melakukan puasa saja tidak dapat diisi dengan puasa-puasa sunat lainnya.

Pembagian Wajib dari Segi Tertentunya  Tuntutan
Dari segi tertentunya sebuah tuntutan, maka wajib dibagi menjadi dua macam, yaitu :
1.      Wajib mu’ayyan ialah suatu kewajiban yang  hanya memounyai satu tuntutan, seperti membayar hutang, memenuhi akad, membayar zakat dan sebagainya.
2.      Wajib mukhayyar ialah suatu kewajiban yang tidak hanya mempunyai satu mamcam tuntutan tetapi mempunyai dua atau tiga alternative yang dapat dipilih. Contoh kewajiban yang mempunyai dua alternatif ialah bahwa bagi imam (penguasa) diperbolehkan memilih antara membebaskan tawanan perang atau menerima tebusan mereka. Contoh kewajiban yang diperbolehkan untuk memilih tiga alternatif ialah kaffarat sumpah.bagi orang yang melanggar sumpahnya, ia diharuskan membayar kaffarat dengan memerdekakan hamba, memberi makan 10 orang miskin, atau memberi pakaian kepada mereka, sedangkan orang yang tidak mampu diwajibkan mengerjakan puasa tiga hari.

Pembagian Wajib dari Segi Kadar/Ukuran Perintah
Ditinjau dari segi kadar/ukurannya, wajib terbagi menjadi dua macam, yaitu :
1.      Wajib yang mempunyai ukuran-ukuran tertentu, seperti dalam pembagian harta pusaka.
2.      Wajib yang tidak mempunyai ukuran-ukuran yang konkrit, seperti kadar mengusap kepala (ketika berwudhu’), ukuran waktu ruku’ dan sujud dalam shalat, ukuran dalam memberikan dafkah/ biaya hidup sebelum ada hukum yang konkrit yang menjelaskan ukurna tersebut yang ukurannya relative tergantung dari kemampuan setiap individu.



Pebagian Wajib dari Segi Pelaksananya
Dari segi pelaksananya, wajib terbagi menjadi dua macam, yaitu :
1.      Wajib ‘aini ialah kewajiban yang harus dikerjakan oleh setiap orang mukallaf, sehingga jika ia meninggal, berdosalah ia dan berhak disiksa. Contohnya shalat, puasa, zakat, menepati akad (memenuhi janji), memberikan hak orang lain yang berhak, dan kewajiban yang lainnya yang apabila ditinggalkan akan mendapat dosa.
2.      Wajib kafa’i (fardhu kifayah) ialah suatu kewajiban yang hanya menuntut terwujudnya suatu pekerjaan dari sekelompok masyarakat. Sehingga jika kewajiban itu sudah dikerjakan oleh sebagian orang maka terbebaslah masyarat tersebut tetapi jika tidak ada yang melakukan kewajiban tersebut maka berdosalah seluruh anggota masyarakat tersebut. Seperti jihad untuk menegakkan agama Allah; amar ma’ruf nahi ‘anil munkar (memerintah kebaikan dan mencegah kemungkaran); menshalati mayat; membentuk kepemimpinan yang kuat dikalangan ummat Islam dan kewajiban-kewajiban yang lain yang tidak hanya dibebankan kepada setiap orang, tapi harus dikerjakan oleh masyarakat secara keseluruhan.

M A N D U B/S U N N A H
Mandub ialah perbuatan yang dianjurkan oleh Syara’ (Allah) untuk dikerjakan. Sebagai fuquha’ dari aliran Syi’ah memberikan definisi mandub ialah suatu perintah yang rajah – sangat baik untuk dikerjakan, tapi juga boleh untuk ditinggalkan. Definisi ini lebih luas dibandingkan dengan definisi yang lain, meskipun menterjihkan perbuatan mandub tersebut tidak bersifat pasti sebagaimana yang kita pahami dari teks tersebut.
            Mandub juga dinamakan nafilah, sunnah, tathawwu’, mustahab dan ihsan, yang semua sebutna ini mengacu pada pengertian mandub di atas.
            Setiap orang yang menganalisa hukum syara’ pasti akan tahu bahwa mandub  itu mempunyai beberapa tingkatan, di antaranya ialah :
1.      Sunnah mu’akkadah, yaitu suatu sunnah yang dijalankan oleh Rasulullah SAW secara kontinyu, tetapi beliau menjelaskan bahwa hal tersebut bukan fardhu yang harus dikerjakan. Seperti shalat witir (menurut ulama yang berpendapat sunnah), shalat dua rakaat setelah Maghrib dan dua rakaat setelah Zhuhur, dua rakaat setelah shalat Isya’. Menurut sebagian ulama bahwa bagi orang yang meninggalkan termasuk tercela meskipun tidak disiksa karena berarti menentang (mengingkari) sunnah yang dikerjakan Rasulullah SAW secara kontinyu. Sunnah mu’akkadah menurut Jamhurul Fuqaha’ ialah nikah bagi orang yang mampu dan dalam keadaan normal, membaca surat atau beberapa ayat al-Qur’an (dalam shalat) sesudah membaca Fatihah.
2.      Sunnah ghairul mu’akkadah, yaitu sunnah yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah SAW secara kontinyu. Seperti shalat empat rakaat sebelum Zhuhur, empat rakaat sebelum Ashar, empat rakaat sebelum Isya’, bershadaqah yang tidak fardhu, kecuali kepada irang yang sangat membutuhkan.
3.      Sunnah yang tingkatannya dibawah dua tingkatan di atas. Sunnah ini ialah mengikuti adat kebiasaan Rasulullah yang tidak ada hubungannya dengan tugas tabligh (penyampaian ajaran) dari Allah, atau penjelasan terhadap hukum syara’ . Seperti cara berpakaian, makan dan minumnya Rasulullah, memelihara jenggot, merapikan kumis yang semuanya ini merupakan adat kebiasaan yang baik.

H A R A M
Haram ialah larangan Allah yang pasti terhadap suatu perbuatan, baik ditetapkan dengan dalil yang qath’i maupun dalil zhanni. Menurut pendapat mazhab Hanafi, hukum haram harus berdasarkan pada dalil qhat’i yang tidak mengandung keraguan sedikitpun. Oleh karena itu, hukum-hukum haram yang berdasarkan pada dalil zhanni mereka sebut makruh tahrim. Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad malah menyebutkan makruh saja, agar tidak dikatakan haram.
Contoh-contoh perbuatan yang diharamkan diantaranya yaitu makan bangkai, minum khamr (minuman keras), berzina, membunuh seseorang yang diharamkan Allah tanpa ada hak, makan harta benda orang lain secara batil, menyakiti orang lain dengan segala corak dan ragamnya serta dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun kecuali untuk menolak bahaya yang lebih besar atau parah.

Pembagian Haram
Dasar yang dijadikan landasan hukum haram adalah adanya bahaya yang nyata yang tidak diragukan lagi. Setiap perbuatan yang diharamkan oleh syara’ pasti mengandung bahaya sedangkan perbuatan yang diperbolehkan oleh syara’ pasti mengandung kemanfaatan yang banyak. Atas dasar ini, hukum haram terbagi menjadi dua macam yaitu :
1.      Haram li-dzatih : yaitu perbuatan yang diharamkan oleh Allah karena bahaya tersebut terdapat dalam perbuatan itu sendiri. Seperti makan bangkai, minum khamr, berzina, mencuri yang bahayanya berhubungan langsung dengan lima hal yang harus dijaga (ad-Dharuriyat al-Khams), yakni badan, keturunan, harta benda, akal dan agama.
2.      Haram li-ghairih/’aridhi : yaitu perbuatan yang dilarang oleh syara’, di mana adanya larangan tersebut bukan terletak pada perbuatan itu sendiri, tetapi perbuatan tersebut dapat menimbulkan haram li-dzhatih. Seperti melihat aurat perempuan, dapat menimbulkan perbuatan zina, sedang zina diharamkan karena dzatiyahnya sendiri. Jual-beli barang-barang secara riba yang diharamkan, karena dapat menimbulkan riba yang diharamkan dzatiyahnya.
Perbedaan haram lidzatih dengan haram li-ghairih/’aridhi adalah sebagai berikut :
1.      Haram li-dzatih apabila menyangkut akad, maka dapat membatalkan akad tersebut. Karena haram lidzatih dapat menimbulkan cacatnya akad. Sedangkan haram li-ghairih/’aridh, di mana akad tersebut tidak batal, seperti jual beli pada waktu adzan Jum’at; akad jual belli pada barang yang telah ditawar orang lain; akad nikah dengan perempuan yang telah dipinang orang lain.
2.      Haram li-dzatih tidak diperbolehkann sama sekali, kecuali dalam keadaan dharurat (terpaksa). Alasannya karena haram li-dzatih adalah langsung berhubungan dengan hal-hal yang sangat vital sehingga keharaman tersebut tidak dapat dihilangkan kecuali oleh sebab yang vital juga. Sedangkan haram li-ghairih boleh dikerjakan bila ada hajat, meskipun tidak sampai tingkat dharurat (terpaksa). Alasannya haram li-ghairih tersebut tidak berhubungan langsung dengan masalah yang vital.

M A K R U H
Menurut pendapat Jumhur Fuqaha’, makruh adalah suatu larangan syara’ terhadap suatu perbuatan, tetapi larangan tersebut tidak bersifat pasti, larangan tidak ada yang menunjukkan atas haramnya perbuatan tersebut. Mazhab Hanafi membagi makruh menjadi 2 macam yaitu:
1.      Makruh tahrim : yaitu larangan yang pasti yang didasarkan pada dalil zhanni yang masih mengandung keraguan. Seperti memakai sutera, cincin dari emas dan perak bagi kaum lelaki. Makruh tahrim ini merupakan lawan (kebalikan) dari hukum wajib.
2.      Makruh tanzih : suatu larangan syara’ terhadap suatu perbuatan, tetapi larangan tersebut tidak bersifat pasti, larangan tidak ada yang menunjukkan atas haramnya perbuatan tersebut. Makruh tanzih ini merupakan lawan (kebalikan) dari hukum mandub.
Menurut pendapat Jumhur, bahwa orang yang yang mengerjakannya tidaklah tercela sedangkan orang yang meninggalkannya adalah terpuji. Sedang menurut mazhab Hanafi bahwa orang yang makruh tahrim tergolong tercela sedang orang yang melakukan makruh tanzih tidak, dan orang yang meninggalkan keduanya tergolong terpuji.
M U B A H
            Mubah adalah suatu hukum, dimana Allah SWT memberikan kebebasan kepada orang mukallaf untuk memilih antara mengerjakan suatu perbuatan atau meninggalkannya. Seperti makan, minum, bergurau dan sebagainya. Imam Asy-Syaukani memberikan definisi mubah sebagai berikut : “Mubah ialah suatu perbuatab yang apabila ditinggalkan sama-sama tidak memperoleh pujian. Dalam arti seseorang itu tidak terkena bahaya (dosa) kalau melaksanakan perbuatan tersebut atau meninggalkannya”. Disini dapat diketahui bahwa yang dikategorikan dalam mubah yaitu suatu perbuatan yang pada mulanya diharamkan, tetapi kareran ada suatu factor yang menyebabkan perbuatan tersebut diperbolehkan. Seperti membunuh orang murtad, ditinjau dari segi kemanusiaan, orang itu haram dibunuh, tetapi karena dia murtad, maka hilanglah keharaman tersebut.
            Hukum mubah ditetapkan karena ada salah satu dari tiga hal, yaitu:
1.      Tiada berdosa bagi orang yang mengerjakan perbuatan yang semula diharamkan, dengan ada qarinah (tanda-tanda) atas diperbolehkannya perbuatan tersebut.
2.      Tiada nash (dalil) yang menunjukkan haramnya perbuatan tersebut contohnya mendengarkan dan mempergunakan radio.
3.      Ada nash (dalil) yang menunjukkan atas halalnya perbuatan tersebut, seperti makan makanan yang halal.

Imam Asy- Syatibi membagi mubah ditinnnjau dari segi penggunaannya menjadi empat bagian, yaitu :
1.      Mubah yang dipergunakan untuk melayani suatu perintah yang diwajibkan, yang disebut dengan mubah juz’i (temporer) secara kully (keseluruhan) diperintahkan seperti makan dan nikah, seseorang tidak diperbolehkan untuk meninggalkan selama-lamanya.
2.      Mubah yang dipergunakan untuk melayani suatu perbuatan yang dilarang. Secara temporer perbuatan tersebut diperbolehkan, tetapi tidak boleh dikerjakan terus menerus. Seperti bergurau mendengarkan radio diperbolehkan secara temporer, tetapi seseorang yang berakal sehat tidak boleh menghabisakan waktunya hanya untuk mendengarkan radio dan bercanda gurau.
3.      Mubah yang dipergunakan untuk melayani perbuatan yang mubah.
4.      Mubah yang tidak dipergunakan untuk melayani apa-apa.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa hukum mubah itu hanya bersifat temporer, tidak ada perbuatan mubah yang bersifat abadi (berlaku sepanjang masa). Bahkan secara umum perbuatan mubah itu ada yang diperintahkan (diwajibkan) dan ada pula yang dilarang (diharamkan).

SEBAB (AS-SABAB)
            Sebab (as-Sabab) menurut Jumhur Ulama adalah : sesuatu yang lahir dan jelas batasan-batasannya, yang oleh Allah (al-Syari’, (Pembuat hukum)) dijadikan sebagai tanda bagi wujudnya hukum. Berdasarkan definisi ini, ada dua esensi yang terkandung di dalamnya:
Pertama ; bahwa suatu  tidak sah dijadikan sebagai sebab kecuali Allah (Syari’) sendiri yang menjadikan sebagai sebab. Karena hukum-hukum taklifi merupakan pembebanan dari Allah SWT, maka yang membebani adalah Allah SWT. Dan jika yang membebani adalah merupakan pembuat hukum (Syari’), maka Dialah yang menjadikan sebab-sebab sebagai dasar hhukum-hukumnya.
Kedua : bahwa sebab-sebsab itu bukanlah yang mempengaruhi terhadap wujudnya hukum-hukum taklifi, akan tetapi merupakan tanda bagi lahirnya hukum-hukum itu. Asy- Syathiby mengatakan bahwa “sebab” bukanlah pelaku aktif dengan sendirinya ia hanyalah menyertai terjadinya akibat (musabbab atau hukum), bukan yang menyebabkannya.

Pembagian Sebab
Sebab terbagi menjadi dua yaitu : pertama, sebab yang bukan berasal dari perbuatan mukallaf, dan kedua, sebab yang berasal dari perbuatan mukallaf.
            Sebab yang bukan berasal dari perbuatan mukallaf (manusia) adalah sebab-sebab yang dijadikan oleh Allah sebagai tanda atas wujud hukum.sepeti adanya waktu merupakan sebab bagi wajibnya shalat; keadaan terpaksa merupakan sebab diperolehnya makan bangkai; dan adanya kekhawatiran terjerumus dalam perzinaan bagi orang yang telah mampu berkelluarga merupakan sebab bagi wajibnya nikah, dan demikian seterusnya.
            Adapun sebab-sebab yang ada dalam jangkauan kemampuan manusia (mukallaf) adalah perbuatan-perbuatan manusia mukallaf yang oleh Allah dijadikan sebagai akibat timbulnya hukum. Seperti bepergian jauh bagi orang yang sedang berpuasa, merupakan sebab diperbolehkannya berbuka (ifthar), akad nikah yang sah merupakan sebab dihalalkannya berkumpul, akad jual beli merupakan sebab bagi timbulnya akibat-akibat hukum dan demikian seterusnya.
            Sebab yang ada dalam jangkauan manusia ini terbagi terbagi menjadi beberapa macam, antara lain berupa: perbuatan yang diperintahkan (dituntut untuk dikerjakan), perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan dan perbuatan yang diperbolehkan. Pada dasarnya, selama hal itu ada dalsam batass kemampuan manusia, maka masih berkaitan dengan hukum-hukum taklifi yang berupa tuntutan untuk dikerjakan, ditinggalkan dan diperbolehkan. Oleh karena ada dua tinjauan berkenaan dengan sebab-sebab pada bagian ini , yaitu : dari satu segi ia termasuk dalam khitab taklifi, dan dari segi lain ia termasuk dalam khitab wadh’ i. jika dilihat dari segi kemampuan manusia, tuntutan untuk mendatangkan manfaat dan menolak kemadharatan, maka sebab-sebab termasuk dalam lingkup hukum taklifi. Dari sisi di mana dengan sebab-sebab itu Allah (Syari’) menetapkan hukum-hukum lainnya maka termasuk dalam lingkup hukum wadh’i; seperti akad nikah yang merupakna sebab untuk dapat saling mewarisi harta warisan antara pasangan suami istri, dan dapat menghalalkan berkumpul serta mengharamkan kawin dengan mertua.

SYARAT (ASY-SYARTH)
            Asy-Syarth (syarat) adalah suatu yang menjadi tempat bergantung wujudnya hukum. Tidak adanya syarat berarti pasti tidak adanya hukum, tetapi wujudnya syarath tidak pasti wujudnya hukum. Adapun perbedaan antara sebab dengan syarat adalah : bahwa ditemukan (adanya) syarat itu tidak memastikan adanya hukum. Oleh karenanya, adanya wudhu’ yang merupakan syarat shalat tidak menentukan/tidak mengakibatkan wajibnya shalat. Akan tetapi shalat menjadi tidak sah tanpa adanya wudhu’.
            Adapun sebab, ditemukan (adanya) sebab itu memastikan adanya hukum terkecuali bila ada mani’ (penghalang). Karenanya, datangnya waktu shalat, menjadikan shalat wajib dilakukan. Jika memabukkan maka diharamkan, dan jika ada pencuri maka wajib atasnya hukuman had dan demikian seterusnya.
            Secara umum syarat syarat merupakan penyempurna sebab atau penyempurna musabbab (efek). Atas dasar ini, Ulama Ushul mengatakan, bahwa syarat ada dua macam, yaitu : pertama syarat yang menyempurnakan sebab, dan kedua : syarat yang menyempurnakan musabbab (efek), maksudnya hakikat musabbab dan rukunnya. Syarat yang menyempurnakan sebab adalah syarat yang hikmahnya menguatkan ma’na sababy, seperti syarat berputarnya masa setahun menyangkut nishab yang mewajibkan zakat.
            Adapun syarat yang menyempurnakan musabbab (efek) adalah syarat yang menguatkan hakikat musabbab  (efek), yakni menguatkan rukun musabbab. Misalnya : adanya syarat persamaan dalam hukum qishas antara orang yang melakukan kejahatan dengan orang yang menjadi korban kejahatan, dari segi keutuhan dan kecacatan beberapa anggota tubuh dan semisalnya. Sesungguhnya asas hukum qishas adalah persamaan antara hukuman dengan kejahatan yang diperbuat. Dan hal tersebut tidak akan terpenuhi kecuali dengan adanya persamaan dalam hal kemerdekaan dan keutuhan/keselamatan beberapa anggota tubuh dan semisalnya, antara pelaku kejahatan dengan orang yang menjadi korban kejahatan.
            Para ahli Fiqh membedakan musabbab (efek) dengan rukun musabbab. Rukun musabbab adalah sesuatu yang diadakan untuk hakikat musabbab, bukan yang keluar dari musabbab. Seperti persaksian dalam akad nikah, apabila terjadi akad nikah dengan tanpa saksi maka hal itu berarti telah terealisasi. Jika syarat-syaratnya telah terpenuhi berarti telah menimbulkan pengaruh syara’ dan jika syarat-syaratnya belum terpenuhi maka ‘akad itu tidak menimbulkan dampak hukumnya secara syara’.
            Dari segi sasaran syarath (sesuatu yang disyarati), maka syarat terbagi lagi menjadi dua macam, yaitu : pertama, syarat-syarat bagi hukum taklifi, dan kedua, syarat-syarat bagi hukum wadh’y. sebagai contoh thaharah (bersuci) merupakan syarat untuk memenuhi suatu perbuatan taklifi yang diperintahkan Syari’ (pembuat hukum). Yang kedua, yaitu syarat-syarat untuk memenuhi hukum wadh’i, seperti adanya kemampuan (qudrah) untuk menyerahkan barang dalam akad jual beli merupakan syarat bagi akad yang dianggap sebagai sebab untuk mendapatkan hak pemilikan.
            Para ahli ushul membagi syarat-syarat yang berhubungan dengan hukum wadh’i menjadi dua macam, yaitu :
1.      Syarat syar’iyyah, yaitu syarat yang oleh Syari’ (pembuat hukum) dijadikan sebagai syarat untuk memenuhi sebab, atau untuk memenuhi musabbab.
2.      Syarat ja’liyyah, yaitu syarat-syarat di mana Syari’ (pembuat hukum) memperbolehkan pihak-pihak yang melakukan akad untuk membuat syarat dalam akad demi tegaknya hukum.
Syarat-syarat ja’liyyah yang merupakan hasil kesepakatan orang yang melalukan akad ini, terbagi menjadi dua, yaitu:
pertama: Syarat yang berhubungan dengan ujud akad, yaitu syarat yang menyempurnakan sebab, seperti menggantungkan akad pada syarat, seperti seseorang yang menyuruh orang lain untuk mengerjakan suatu perbuatan ketika dia sendiri tidak mampu menunaikannya. Ketidak mampuan itu merupakan syarat bagi terlaksananya pertanggunagan (al-kafalah), yaitu syarat yang menyempurnakan sebab, yakni akad pertanggungan (aqdul kafalah)
kedua: Syarat yang menyempurnakan musabbab, yaitu syarat yang menyertai akad lalu menguatkan ketetapan-ketetapannya. Seperti jual beli dengan syarat pembeli memberikan jaminan dengan harga barang, atau penjual memberikan jaminan sebagai ganti dari harga, jika dia masih berhak atas barang itu, agar menjadi jelas bahwa barang itu bukan lagi menjadi milik si penjual. Artinya, kedua syarat ini ada pada musabbab, sebagai hasil akad.
Syarat ja’liyyah(syarat dari hasil kesepakatan) yang diperbolehkan secara syari’, namun syari’ juga tidak memperbolehkan secara mutlak, dan juga tidak melarang secara mutlak. Para ahli fiqih berselisih pendapat ada yang mempersempit da nada yang memperluas batas kebolehan itu.

PENGHALANG (AL-MANI’)
Al-Mani’ (penghalang) ialah perkara syara’ yang keberadaannya menafikan tujuan yang dikehendaki oleh sebab atau hukum. Asy-Syathiby mendifinisikan mani’ sebagai: sebab yang menetapkakan hukum lain karena adanya ‘illat yang menafikan hikmahnya hukum. Contohnya; sebab wajibnya dikeluarkannya zakat adalah nishab, dan termasuk penghalang-penghalangnya (mawani’, jamak dari mani’) adalah bahwa orang yang bernishab itu ternyata mempunyai hutang yang sebanding dengan nishab atau sebagiannya.
Al-Mani’ (penghalang) ini terbagi menjadi dua bagian : Pertama : mani’ yang berpengaruh terhadap sebab, dan kedua, mani’ yang mempengaruuhi hukum sekaligus menghilangkannya. Contoh mani’ yang pertama: perbedaan agama dan pembunuh itu menyebabkan terhalangnya memperoleh harta waris. Contoh bagian kedua (mani’/penghalang yang menghilangkan hukum dan tidak menghilangkan sebab) adalah ; adanya hubungan kebapakan merupakan penghalang (mani’) dikenakan hukum qishas.          
Mani’ yang menghalangi hukum, bukan sebab terbagi menjadi tiga:
1.      Mani’ yang tidaj mungkin berkumpul dengan humum taklifi, yaitu beruoa hilangnya akal dengan segala sebabnya, yakni tertidur, gila atau sakit ayan.
2.      Mani’ yang dapat berkumpul dengan dasar pembebanan (taklifi).
3.      Mani’ yang tidak menghilangkan dasar tuntutan taklifi tetapi menghapuskan ketetapannya dan merubah tuntutan yang bersifat pasti (wajib) menjadi tuntutan yang bersifat pilihan (takhyiry).
Imam Asy-Syathiby menjadikan rukhshah (kemurahan) sebagai bagian dari penghalang (mani’) yang berdiri sendiri, dan menamakannya sebagai mani’ yang menghapuskan dosa.


SAH, RUSAK, DAN BATAL (ASH-SHIHHAH, AL-FASAD, AL-BUTHLAN)
            Sah, rusak dan batal merupakan sifat-sifat yang ada dalam hukum syara’, baik itu hukum taklifi maupun hukkum wadh’i. shalat yang termasuk dalam lingkup hukum taklifi misalnya, dituntut keabsahannya, di mana melaksanakannya merupakan suatu kewajiban ketika telah ditemukan (ada) sebabnya serta syarat-syaratnya telah terpenuhi.
            Demikian juga hukum-hukum wadh’i disebut dengan sah, rusak, dan batal. Sebab ssah akan mengakibatkan timbulnya efek hukum (musabbab), begitu juga syarat yang sah akan menjadikan sempurnanya sebab atau hukum. Sebagi contoh akad jual beli (‘aqdul-bai) yang sah akan mengakibatkan timbulnya pengaruh-pengaruh akad. Dan wudhu’ yang sah dapat dipergunakan untuk menunaikan shalat.
            Perbuatan ibadah terbagi menjadi dua : ibadah yang sah dan ibadah yang tidak sah. Para ahli fiqh sepakat, bahwa tidak ada perbedaan antara ibadah yang tidak sah dengan ibadah yang batal dan yang rusak. Artinya, jika ibadah-ibadah itu telah memenuhi semua rukun dan syarat sahnya berarti sudah cukup dan bebas dari tanggungan (taklif). Sedang jika ibadah itu kurang sebagian dari syarat atau rukunnya, berarti belum cukup dan dengan melaksanakannya semacam ini berarti belum bebas dari tanggungan. Dalam hal ini tiada perbedaan kekurangan dari rukun atau syaratnya.
            Para ahli fiqh telah sepakat bahwa, akad yang sah adalah akad yang rukun dan semua sifat-sifatnya sempurna, yakni rukun dan syarat sahnya terpenuhi sebagaimana ditetapkan syari’ (Allah). Akad yang sah menurut Jumhur ‘Ulama adalah: akad yang menjadi sebab timbulnya pengaruh hukum, dan terpenuhi semua syarat yang menyempurnakannya, serta tidak ada mani’ yang menghalangi keabsahan sebab-sebabnya.
            Akad yang tidak sah (ghairush-shahih) adalah: akad yang syarat dan rukun-rukunnya tidak terpenuhi. Ulama berpendapat bahwa akad yang tidak sah hanya ada satu macam, tiada perbedaan antara yang batal (al-bathil) dan yang rusak (al-fasid), begitu juga antara cacat dalam rukun sebab atau cacat dalam syarat dan sifat-sifatnya. Sedang ulama Hanafiyah mengatakan; bila cacat terdapat dalam rukun akad maka akad itu menjadi batal, ia tidak mengakibatkan timbulnya hukum karena tidak adanya sebab. Dasar yang menimbulkan pengaruh hukum pada mulanya adalah sebab, sedang syarat-syarat adalah yang menyempurnakannya. Rukun akad jual beli (‘aqdul-bai’) misalnya, jika ‘aqid (orang yang mengadakan akad) dan mabi’ (barang yang dijual) sempurna maka akad itu menjadi sebab yang sah.
            Adapun yang menjadi pangkal perbedaan pendapat itu ada dua hal yaitu :
1.      Bahwa larangan menurut pendapat Jumhur, adalah mencegah terbentuknya setiap pengaruh dari beberapa pengaruh akad.
2.      Bahwa hilangnya syarat-syarat yang diperintahkan Syari’ untuk menetapkan hukum adalah mencegah terhadap penetapan itu. Alasan mereka adalah suatu akad disertai dengan ujudnya larangan merupakan merupakan kedurhakaan terhadap perintah Syari’, sehingga akad itu tidak dianggap oleh Syari’ sebagi suatu ketetapan.
Menetapkan pengaruh-pengaruh pada suatu sebab yang dilarang oleh Syari’ berarti melakukan perbuatan yang tidak diperintahkan Nabi SAW. dan Syari’, karena dalam perbuatan itu sendiri terdapat larangan-Nya. Ulama salaf telah sepakat (ijma’), bahwa dengan adanya dalil larangan berarti mennunjukkan batalnya akad. Ulama Hanafiyah menganggap bahwa ijab, qabul dan mahallul-‘aqdi adalah rukun-rukun akad, dan dalam hal ini mereka katakana sebagai suatu sebab yang menimbulkan akad. Setiap cacat yang terdapat dalam rukun-rukun tersebut menjadikan batalnya akad, karena fungsi sebabnya (sababiyyah) tidak sah, sedang rukun akad adalah berupa sebab yang oleh Syari’ dijadikan tanda atas wujudnya hukum.
Akad yang batal adalah yang tidak terpenuhi rukun-rukunnya, atau tidak terpenuhi syarat-syarat yang menyempurnakan rukun. Misalnya, bila tempat akad (mahallul ‘aqdi) itu tidak diperbolehkan, atau barangnya tidak ada (ma’dum), atau barang itu tidak bisa diserahkan. Karena akad dalam contoh ini rukun atau dasarnya cacat maka, akad itu menjadi batal. Akad yang batal sebagai “akad yang sendinya cacat”. Maksudnya sendi yang menimbulkan adanya sebab dalam akad itu (ashlus-sababiyyah). Sedang akad yang rusak (fasid) adalah “akad yang tercacat pada sifatnya”. Maksudnya akad itu kurang sebagian syarat-syarat yang menyempurnakan hukumnya dan menimbulkan pengaruh-pengaruhnya.
Ulama Hanafiyah membagi akad menjadi tiga macam yaitu: akad yang sah (‘aqdun-shahih), akad yang batal adalah tidak mempunyai wujud dan Syari’ tidak memberi akibat hukum padanya. Karena di dlam akad tidak dijumpai unsur penyebab (sababiyyah). Akad yang rusak, sesungguhnya syarat-syaratnya dijumpai, karena rukun-rukun akad itu terdapat dengan lengkap serta terpenuhi pula syarat yang menyempurnakannya. Wujud akad itu telah ada, sedangkan kekurangannya terdapat pada syarat yang menyempurnakan hukum.
Akad jual beli yang rusak (fasid) tetap mempunyai wujud, tetapi Syari’ tidak memberi akibat hukum sedikit pun pada akad itu, bahkan mewajibkan untuk membatalkannya. Jika pembeli telah menerima barang, maka dengan penerimaan ini berarti ia memilikinya dan wajib membayar nilai barang (bukan harga), dan hak pemilikan atas barang itu menjadi hilang malahan wajin dibatalkan (difasakh). Maka tidak ada kewajiban apapun, sementara hak pemilikan itu berlaku tidak tetap sampai barangnya rusak, atau pembeli mempergunakan untuk menjadi hak milik orang lain.
Ulama Hanafiyah menetapkan bahwa akad yang rusak mempunyai wujud, namun berupa wujud yang kurang sempurna (naqish), yang tidak menumbulkan akibat hukum kecuali pada saat menerima barang atau pada saat melakukan akad. Karena melaksanakan akad-ketika itu berarti melaksanakan hukum dengan syarat yang kurang.  
Share:

HISAB AL MIROS



HISAB AL MIROS
By: Adam Ariga


Daftar Isi







i

Mukaddimah




اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ قَدَّرَ لِكُلِّ وَرَثَةٍ نَصِيْبًا مَعْلُوْمًا بِعِلْمِهِ الْوَاسِع، وَجَعَلَ أَحْكَامَ التَّرِكَةِ مِنْ أَهَمِّ الشَّرَائِع، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ

Syukur Alhamdulillah dipanjatkan kehadirat Allah ‘Azza wa Jalla yang telah memberikan kita nikmat iman dan Islam. Salawat teriring salam juga tidak lupa disampaikan kepada nabi junjungan kita, Rasulullah SAW yang membawa risalah kepada kita untuk kebahagian di dunia dan di akhirat.

عن أبى هريرة رضى الله عنه قال: ‏قَالَ رَسُوْلُ الله t:
) تَعَلَّمُوا الفَرَائِضَ وَ عَلِّمُوهَا فَإِنَّهَا نِصْفُ العِلْمِ وَ هًوَ يُنْسَى وَهُوَ أَوَّلَُ شَىْءٍ يًُنْزَعَ مِنْ أًمَّتِى(
(رواه ابن ماجه و الدارقطنى)

Dari Abi Hurairah r.a berkata: Rasulullah SAW telah bersabda:
Pelajarilah Ilmu Al-Farâidh (Al-Mawârîts) kemudian ajarkanlah ilmu tersebut, sesungguhnya ia adalah setengah dari ilmu, dan ia akan dilupakan serta ilmu ini adalah yang pertama sekali akan dicabut dari ummat-ku
 (HR. Ibnu Majah dan Ad-Darul Quthniy)

Ilmu Al-Faraid (Al-Mawarits) merupakan ilmu yang sangat diperlukan oleh umat Muslim ketika seseorang ditinggalkan oleh salah satu keluarganya. Setelah terjadi adanya pihak yang meninggal maka berlakulah hukum mawarits tersebut yaitu memberikan harta warisan kepada ahli waris si mayit yang dapat dilakukan dapat dilakukan dengan dua cara, yakni fardh ‘bagian tetap’ dan ta’shib ‘bagian lunak atau sisa’. Mewariskan secara fardh didahulukan daripada mewariskan secara ta’shib, berdasarkan sabda Nabi saw, ”Berikanlah harta waris kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu, sisanya untuk orang laki-laki yang utama”.

Dengan adanya ilmu mawarits maka setiap ahli waris akan mengetahui hitungan dan bagian mereka masing-masing. Semua hitungan dan bagian mereka telah ditentukan oleh syar’I untuk ahli waris tertentu dengan takaran yang adil bagi setiap ahli warisnya. Bagian tersebut tidak lebih, kecuali dengan jalan radd dan tidak kurang, kecuali dengan jalan ‘aul. Maksud dari “bagian yang telah ditentukan” adalah meniadakan bagian dengan jalan ta’shib, karena ketidakjelasan bagiannya. Kalimat “secara syar’i” berarti menurut tinjauan syariat islam.
Allah swt. juga telah menetapkan ahli waris yang berhak menerima bagian tetap setengah, sepertiga, seperempat, seperenam, seperdelapan, dan dua per tiga. Dalam kondisi tertentu, seseorang atau beberapa orang ahli waris biasa terhalang untuk mendapatkan warisan, atau haknya atas harta waris berkurang.



ii

HISAB AL-MIRATS


 I.     Kaidah Hitung Pewarisan dalam Islam

I.1  Al-Furudh Al-Muqaddarah

            Hisab adalah cara untuk dapat menetapkan bilangan yang tidak pecah yang paling kecil yang keluar saham-saham yang telah ditetapkan dan men-ta’shib-kan masalah.
            Dalam penghitungan hak waris setiap ahli waris, maka kita juga harus mengetahui bagian-bagian yang telah ditentukan bagi setiap ahli waris atau disebut juga Furudhul Muqaddarah, bagian-bagian tersebut telah ditentukan secara syar’i bagi ahli waris tertentu. Bagian tersebut tidak lebih, kecuali dengan jalan radd[1] dan tidak kurang, kecuali dengan jalan ’aul[2].
            Di dalam al-Qur’an, kata furudh muqaddarah (yaitu pembagian ahli waris secara fardh yang telah ditentukan jumlahnya) merujuk pada 6 jenis pembagian, yaitu separuh (1/2), sepertiga (1/3), seperempat (1/4), seperenam (1/6), seperdelapan (1/8), dua pertiga (2/3).
Dalil setengah (1/2) adalah firman Allah swt., ”Jika anak adam itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta.” (an-Nisaa’ :11); ”bagimu (suami-suami) satu perdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu.” (an-Nisaa’: 12); dan ayat, ”jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya.” (an-Nisaa’: 176)
            Dalil sepertiga (1/3), adalah firman Allah swt., ”jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh bapak ibunya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga.” (an-Nisaa’: 11) dan ayat, ”Tetapi, jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (an-Nisaa’: 12)
            Dalil seperempat (1/4), adalah firman Allah swt.,”jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya.” (an-Nisaa’: 12) dan ayat,”para istri memperoleh seperempat harta dari yang kamu tinggalkan...” (an-Nisaa’: 12)
            Dalil seperenam (1/6), adalah firman Allah swt.,”untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak.” (an-Nisaa’: 11); ”jika yang mennggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.” (an-Nisaa’: 11); dan ayat,”jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seoarang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.” (an-Nisaa’: 12)
            Dalil seperdelapan (1/8), adalah firman Allah swt.,”jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan.” (an-Nisaa’: 12)
            Dalil dua pertiga (2/3), adalah firman Allah swt.,”jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan.” (an-Nisaa’: 11); dan ayat,”tapi, jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduannya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal.” (an-Nisaa’: 176)
            Dalam mengurutkan atau menghitung furudh muqaddarah, para ulama mempunyai dua metode, yaitu tadalliy’ ’menurun’ dan taraqqiy ’menaik’. Adapun yang dimaksud dengan tadalliy’ adalah menyebutkan fardh paling atas terlebih dahulu, lalu turun ke fardh yang lebih rendah. Misalnya, kita menyebutkan furudhul muqaddarah di dalam al-Quran, yaitu dua pertiga, seperdua,  seperdua dari dua pertiga dan separuh, kemudian dari setengahnya dua pertiga dan separuh, dan seterusnya, atau kita menyebutnya dua pertiga, setengah dari dua per tiga, dan seperempat dari dua per tiga, kemudian seperdua, setengahnya seperdua, dan seperempatnya.
            Sedangkan yang dimaksud dengan metode taraqqiy adalah menyebutkan fardh yang lebih rendah terlebih dahulu, lalu terus ke atas. Misalnya, kita menyebutkan furudhul muqaddarah, yaitu seperdelapan, seperenam, dua kali lipat seperdelapan dan seperenam, dan dua kali lipatnya dari dua kali lipat seperdelapan, dan seperenam, atau kita bisa katakan seperdelapan, dua kali lipat seperdelapan, seperenam, dua kali lipat seperenam, dan dua kali lipatnya dari dua kali lipat seperenam.
            Dari kedua metode di atas (tadalliy’ dan taraqqy) terdapat metode ketiga yang lebih ringkas dari kedua metode di atas, yaitu metode tawassuth ’menengah’, yaitu dengan menyebutkan bagian fardh yang tengah lebih dahulu, lalu menaik dan menurun. Misalnya, kita menyebutkan furudhul muqaddarah, yaitu seperempat, sepertiga, dua kali lipat dari seperempat dan sepertiga serta seperdua dari seperempat dan sepertiga atau kita bisa katakan seperempat, dua kali lipat dari seperempat dan setengah dari seperempat, serta sepertiga, dua kali lipat dari sepertiga dan setengah dari sepertiga.

I.2 Asal Masalah

Asal masalah merupakan suatu cara untuk menemukan porsi bagian masing-masing ahli waris dengan cara menyamakan nilai ”penyebut[3]” dari semua bagian para ahli waris. Acuan yang dapat digunakan untuk menentukan asal masalah tidak jauh dari angka-angka berikut ”2, 3, 4, 6, 8, 12, 24” seperti sebagai berikut:
  1. Jika nilai penyebut bagian para ahli waris adalah sama, maka nilai penyebut bagian para ahli waris tersebut dijadikan sebagai nilai asal masalah. Misalnya 1/2 dengan 1/2, maka asal masalahnya adalah 2.
  2. Jika nilai penyebut bagian salah satu ahli waris dapat dibagi oleh nilai penyebut bagian para ahli waris lainnya, maka nilai penyebut bagian ahli waris pertama tersebut dijadikan sebagai nilai asal masalah. Misalnya 1/2 dengan 1/6, maka asal masalahnya adalah 6.
  3. Jika nilai penyebut bagian para ahli waris tidak sama dan nilai bagian salah satu ahli waris tidak dapat dibagi oleh nilai penyebut bagian para ahli waris lainnya, maka nilai kelipatan persekutuan terkecil dari nilai penyebut para ahli waris tersebut dijadikan sebagai nilai asal masalah. Misalnya 1/4 dengan 2/3, maka asal masalahnya adalah 12.


I.3 ’Aul

Jumlah bagian para ahli waris boleh jadi lebih besar dari satu atau jumlah saham lebih besar dari asal masalah. Dalam kondisi seperti itu, bagian waris setiap ahli waris tidak mungkin didasarkan kepada nilai harta peninggalan secara mutlak karna itu tidak akan mencukupi. Oleh sebab itu, maka bagian waris para ahli waris harus dimodifikasi dengan cara membagi waris masing-masing oleh jumlah warisan (bukan oleh asal masalah). Penetapan bagian waris dengan cara menetapkan nilai jumlah waris, yang lebih besar dari nilai asal masalah, sebagai asal masalah dinamakan ’Aul.
Masalah: seorang laki-laki meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris yang terdiri dari janda, ibu, bapak, dan dua anak perempuan.
Ahli waris
Bagian
Asal masalah
Saham
Bapak
1/6
24
4
Ibu
1/6
24
4              >     27
2 anak perempuan
2/3
24
16
Janda Perempuan
1/8
24
3

I.4 Radd

            Jumlah bagian para ahli waris boleh jadi lebih kecil dari satu atau nilai jumlah saham lebih besar dari nilai asal masalah. Dengan kata lain adalah terdapat ’ashobah (sisa).
Masalah: seorang laki-laki meninggal dengan meninggalkan ahli waris yang terdiri dari istri, ibu, bapak, dan satu anak perempuan.
Ahli waris
Bagian
Asal masalah
Saham
Bapak
1/6
24
8
Ibu
1/6
24
8
Anak perempuan
1/2
24
12
Istri
1/8
24
3


Jumlah <
23
           

I.5 Cara Mewariskan dan Pengelompokan Ahli waris

a)      Cara Mewariskan

Untuk membagikan atau memberikan warisan kepada ahli waris si mayit, ada dua cara yang dapat dilakukan, yaitu fardh[4] dan ta’shib atau ‘ashabah[5]. Mewariskan secara fardh, yaitu memberikan harta waris kepada ahli waris sesuai dengan bagian yang telah ditentukan, seperti setengah, seperempat, seperdelapan, dua per tiga, sepertiga, dan seperenam. Adapun yang dimaksud dengan mewariskan secara ta’shib, yaitu memberikan harta waris kepada ahli waris, yang besar bagiannya tidak ditentukan, atau biasa disebut dengan bagian lunak. Dalam satu kasus, ahli waris ‘ashabah bisa mewarisi seluruh harta si mayit, jika ia sendirian. Dalam kasus lain, ia bisa mewarisi sisa, setelah bagian ashabul furudh diberikan.
b)     Pengelompokan Ahli Waris
  • Al-fardh saja
Ahli waris yang hanya mewarisi secara fardh (yang menerima bagian tetap), berjumlah tujuh orang, yaitu ibu, saudara laki-laki seibu, saudara perempuan seibu, nenek dari ibu, nenek dari ayah, suami, dan istri.   
Sementara itu, bagian tetap (fardh) dari setiap ahli waris di atas adalah sebagai      berikut:
a)      Ibu: seperenam (1/6) atau sepertiga (1/3) utuh, atau sepertiga (1/3) sisa.
b)      Nenek dari pihak ayah: seperenam (1/6), baik sendiri maupun bersama-sama dengan ahli waris lainnya.
c)      Nenek dari pihak ibu: seperenam (1/6), baik sendiri Maupun bersama-sama dengan ahli waris lainnya.
d)     Saudara laki-laki seibu: seperenam (1/6), bila hanya seorang diri, dan sepertiga (1/3) bila bersama-sama dengan yang lainnya.
e)      Saudara perempuan seibu: seperenam (1/6), bila hanya sendiri, dan sepertiga (1/3) bila bersama-sama dengan yang lainnya.
f)       Suami: setengah (1/2), jika tidak ada keturunan si mayit dan seperempat (1/4), jika adanya keturunan si mayit.
g)      Istri: seperempat (1/4), jika tidak ada keturunan mutlaq si mayit, dan seperdelapan (1/8), jika adanya keturunan mutlaq si mayit.
Contoh:
Seseorang meninggal dunia, meninggalkan 2 anak perempuan, ibu, ayah, maka anak perempuan mendapatkan bagian setengah, ibu mendapatkan bagian seperenam[6], dan ayah mendapatkan bagian seperenam[7] secara fardh serta sisanya secara ta’shib.
Asal masalah: 6
Ayah
1/6
1
Ibu
1/6
1
2 anak perempuan
2/3
4

  • At-ta’shib saja
Ahli waris yang hanya mewarisi secara ta’shib ‘harta sisa dari golongan fardh atau ‘ashabah, berjumlah dua belas, yaitu anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, paman seayah, anak laki-laki dari paman kandung, anak laki-laki dari paman seayah, laki-laki yang memerdekakan budak, dan perempuan yang memerdekakan budak.
            Seluruh ahli waris yang dua belas ini mewarisi harta peninggalan hanya dengan jalan ta’shib, dan tidak dapat mewarisi dengan jalan fardh selama-lamanya. Karenanya, ketika salah satu dari mereka sendirian dalam mewarisi harta peninggalan, maka dia akan mewarisi seluruh harta tersebut secara ta’shib, atau dia mewarisi sisa harta waris setelah dibagikan kepada ash-habul furudh ‘golongan yang menerima secara fardh terlebih dahulu.
  • Fardh dan Ta’shib bergabung
Ahli waris yang sewaktu-waktu dapat mewarisi dengan jalan fardh, ta’shib, atau kedua-duanya (fardh dan ta’shib). Ahli waris ini adalah ayah dan kakek. Keduanya dapat mewarisi harta dengan jalan fardh, yakni mendapatkan bagian seperenam, ketika tidak bersama dengan keturunan laki-laki si mayit. Namun, keduanya juga dapat mewarisi dengan cara ta’shib, yakni ketika mereka tidak bersama-sama dengan keturunan si mayit secara mutlak.
            Contoh:
 (mewarisi dengan jalan fardh dan ta’shib secara bersamaan). Seseorang meninggal dunia, meninggalkan anak perempuan, ibu, ayah, maka anak perempuan mendapatkan bagian setengah, ibu mendapatkan bagian seperenam, dan ayah mendapatkan bagian seperenam secara fardh serta sisanya secara ta’shib.

Asal masalah: 6
Ayah
1/6 + sisa
1 secara fardh + 1 secara ta’shib=2
Ibu
1/6
1
Anak perempuan
1/2
3

  • Fardh dan Ta’shib terpisah
Ahli waris yang mewarisi dengan jalan fardh pada suatu ketika, dan di saat lain mewarisi dengan jalan ta’shib. Ahli waris semacam ini ada empat orang, yaitu anak perempuan seorang atau lebih, cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki seorang atau lebih, saudara perempuan seorang kandung atau lebih; saudara perempuan seayah seorang atau lebih.
Contoh:
1.      (mewarisi secara fardh) seorang meninggal dunia, meninggalkan seorang anak perempuan dan paman, maka anak perempuan mendapat bagian setengah (1/2) secara fardh, sedangkan paman mendapatkan sisa secara lunak (ta’shib). Contoh lain, seorang meninggal, meninggalkan 2 orang anak perempuan dan saudara laki-laki sekandung, maka 2 orang anak perempuan mendapatkan bagian 2/3, sedangkan saudara laki-laki sekandung mendapatkan sisa menurut ta’shib.
Contoh pertama:        Asal masalah 2
Anak perempuan
1/2
1
Paman
Sisa
1

Contoh kedua:        Asal masalah 3
Anak perempuan
2/3
2 secara fardh
Saudara laki-laki kandung
Sisa
1 dari sisa

2.      (mewarisi secara ta’shib) seorang meninggal dunia, meninggalkan istri, satu orang anak perempuan, dan satu orang anak laki-laki, maka istri mendapatkan bagian seperdelapan (1/8). Sedangkan anak perempuan dan anak laki-laki mendapatkan sisa pembagian menurut bagian lunak. Ta’shib di sini disebut dengan ta’shib bil ghoir ‘setiap perempuan yang membutuhkan orang lain untuk menjadikan ‘ashabah’.

    II.            Urutan Para Ahli Waris dalam Menerima Warisan

A.    Ashabul Furudh

Yang dikatakan shahibul fardh atau shahibatul fardh adalah “orang yang mempunyai bagian harta peninggalan yang sudah ditentukan dengan nash Al-Qur’an[8], As-Sunnah[9] atau Al-Ijma[10]”. Selain mereka tidak ada yang berhak atas harta peninggalan.
Jumlah mereka ada dua belas. Empat orang lelaki, yaitu suami, ayah, kakek, dan saudara laki-laki seibu. Delapan orang dari para wanita, yaitu: istri, ibu, anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki walaupun betapa rendah derajat dan nenek walaupun betapa tingginya. Dan merekalah yang harus didahulukan dalam pembagian harta warisan.
  1. Ashabah Nasabiyah (ta’shib)
Yang dikatakan ashib nasabi adalah “kerabat lelaki yang mempunyai hubungan darah dengan seseorang, bukan dengan perantaan wanita saja, baik mempunyai hubungan langsung tanpa perantaraan, seperti anak lelaki dan ayah, atau perantaraan lelaki saja atau perantaraan seayah dan cucu lelaki dari anak lelaki, atau dengan perantaraan dan perempuan bersama-sama, seperti saudara laki-laki sekandung.
Sisa harta warisan sesudah diberikan kepada ashabul furudh menurut ketentuan masing-masing, diambil oleh ashib nasabi. Apabila furudh menghabiskan semua harta warisan, maka ashib nasabi tidak menerima apa-apa. Apabila tidak ada ashib fardh atau ada, tetapi terhalang dengan adanya ashib, maka ashib nasabi mengambil semua harta warisan jika ia seorang diri dan dibagi sama rata diantara mereka jika ashib itu berbilang dan sama derajat kekerabatannya.

C.    Dzawur Raddi

Yang dikatakan dzawur raddi atau ashabur raddi adalah orang yang dikembalikan lagi harta warisan kepadanya, yaitu ashabul furudh nasabiyah yang selain dari ayah dan kakek. Karena itu apabila ada sisa dari harta warisan sesudah diberikan bagian-bagian ashabul furudh dan tidak ada ashib nasabi yang berhak menerima sisa, maka sisa harta itu dikembalikan kepada ashabul furudh nasabiyah selain dari ayah dan kakek berdasarkan bagian mereka masing-masing karena mereka berdua mengambil sisa harta dengan jalan ta’shib. Karena suami istri tidak dikembalikan sisa warisan, suami-istri tidak mendapat hak bersama-sama ashabul furudh nasabiyah yang lain, karena mengembalikan harta pusaka kepada suami istri dilakukan di waktu tidak ada ahli waris yang dekat.
            Contoh:
Apabila seoarng meninggal dengan meninggalkan ibu dan saudara lelaki seibu, maka ibu mendapat sepertiga dengan jalan fardh dan saudara lelaki seibu mendapat seperenam dengan jalan fardh. Karenanya tinggallah sisa setengah harta. Sisa itu dikembalikan kepada mereka berdua menurut saham mereka masing-masing.

D.    Dzawul Arham

Yaitu orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat dengan orang yang meninggal, tetapi mereka tidak masuk ke dalam golongan ashabul furudh dan tidak juga ke dalam golongan ashabah, seperti cucu perempuan dari anak perempuan, cucu lelaki dari anak perempuan, anak perempuan dari saudara lelaki kandung, anak lelaki dari saudara perempuan kandung, dan seperti saudara ayah yang perempuan, saudara ibu yang lelaki dan yang perempuan.
Apabila orang yang meninggal tidak meninggalkan kerabat yang ashib dan tidak juga shahib fardh, maka dzawul arham[11] mengambil semua harta warisan tersebut. Adapun apabila diperoleh salah seorang dari suami istri, maka mereka mengambil fardhu-nya dan sisa harta diambil oleh dzawul arham, yaitu setengah harta di waktu bersama suami dan tiga perempat di waktu ada istri.
Mengembalikan sisa harta kepada salah seorang dari suami-istri yaitu ketika tidak ada kerabat yang menjadi waris, tidak ada dari ashabul furudh, tidak ada dari ashabah, dan tidak ada dzawul arham. Maka apabila yang menerima pusaka hanya suami atau istri, maka segala harta waris jatuh kepada mereka dengan jalan fardh dan jalan radd.

E.     Ashib Sababi

Yaitu mu’tiq[12] (orang yang memerdekakan budak), baik laki-laki ataupun perempuan.
Kesimpulannya: penerimaan pusaka ada empat cara:
  1. Dengan jalan fardh
  2. Ta’shib
  3. Radd
  4. Rahim
Tidak dapat berkumpul pada suatu harta peninggalan, pusaka dengan jalan radd dan pusaka dengan jalan ta’shib nasabi atau sababi karena ta’shib nasabi, mewarisi sisa harta setelah ashabul furudh. Karenanya tidak ada radd. Dan apabila ada shahib fardh, nasabi atau sahabi, maka ashib sababi tidak menerima pusaka, karena kedudukannya dikemudiannya daripada mengembalikan harta kepada ashabul furudh.

 III.            Permasalan dalam Penyelesaian Kasus Waris

Dalam kita menyelesaikan masalah waris/pusaka, maka kita perlu menempuh jalan-jalan di bawah ini sebagai mana di pembahasan di atas juga telah dibahas dengan terperinci:
  1. Mengetahui fardhu-fardhu yang diperoleh masing-masing waris.
  2. Menentukan asal masalah
  3. Menentukan bilangan saham masing-masing ahli waris
  4. Jumlah atau kadar satu-satu saham/warisan
  5. Bagian masing-masing ahli waris.
Di dalam kita menyelesaikan setiap masalah pembagian warisan/pusaka, haruslah kita tempuh jalan-jalan ini supaya pembagian itu benar menurut semestinya.

Kasus:
1.      Seorang meninggal dengan meninggalkan suami, dua anak perempuan, seorang ibu, dan seorang ayah dengan meninggalkan harta sejumlah 75 juta.
Ahli waris
bagian
Asal masalah
Saham/harta
Ayah
1/6
12
2
Ibu
1/6
12
2      15 (di’aul-kan dari 12)
2 anak perempuan
2/3
12
8
Suami
1/4
12
3

-          Ayah                          => 2/15 x 75 juta = 10 juta
-          Ibu                             => 2/15 x 75 juta = 10 juta
-          2 anak perempuan      => 8/15 x 75 juta = 40 juta
-          Suami                         => 3/15 x 75 juta = 15 juta

2.      Seorang meninggal meninggalkan ibu, istri, dua saudara lelaki seibu, dan dua saudara lelaki sekandung, sedangkan harta warisannya 192 juta.
Ahli waris
bagian
Asal masalah
Saham/harta
Ibu
1/6
12
2
Istri
1/4
12
3
2 saudara lelaki seibu
1/3
12
4
2 saudara lelaki kandung
Sisa
12
3

-          Ibu                             => 2/12 x 192 juta = 32 juta
-          Istri                            => 3/12 x 192 juta = 48 juta
-          2 saudara lelaki seibu => 4/12 x 192 juta = 64 juta dibagi dua, masing-masing 32 juta
-          2 saudara lelaki kandung => 3/12 x 192 juta = 48 juta dibagi dua, masing-masing 24 juta










Daftar Pusaka


Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar, Mesir. 2004. Hukum Waris.  
Diterjemahkan oleh H. Addys Aldizar, LC dan H. Fathurrahman, LC. Jakarta: Senayan Abadi Publishing.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Teungku  Muhammad. 2010. Fiqh Mawaris: Hukum
            Warisan Menurut Syari’at Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Salman, HJ. Otje & Haffas, Mustofa. 2002. Hukum Waris Islam. Bandung: PT Refika
Aditama.
Syarifuddin, Amir. 2004. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Prenada Media Group.
Pondok Pesantren Sidogiri. 2000. ’Iddatul Faro’id fil Mirats. Sidogiri: Media
Sidogiri.
Ali, H. Zainuddin. 2008. Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika



[1] [1] Radd jumlah bagian para ahli-waris boleh jadi lebih kecil dari satu atau nilai jumlah saham lebih kecil dari nilai asal masalah.”Hukum Waris Islam”, Prof.Dr.H.R.Otje Salman S., S.H. dan Mustofa Haffas, S.H.  Hlm.72.
[2] ’Aul jumlah bagian para ahli waris boleh jadi lebih besar dari satu atau jumlah saham lebihbesar dari asal masalah.


[3] penyebut (asal masalah).”’Iddatul Al-Faro’id  fil Mirats” Pondok pesantren sidogiri.

[4] fardh bagian yang telah ditentukan secara syar’i.”Hukum Waris”,Komite Fakultas Syariah,’Universitas Al-Azhar, Mesir. Hlm.106
[5] Ashabah laki-laki dari kerabat si mayit, di mana dalam nisbatnya ke si mayit, tidak ada perempuan. Komite Fakultas Syariah,’Universitas Al-Azhar, Mesir. Hlm. 252

[6] Lihat QS.An-Nissa’: 11
[7] Lihat QS.An-Nissa’: 11

[8] Lihat QS.An-Nisaa’: 7, 11, 12, 176
[9] Lihat “Ayat dan Hadist Al-Mawarits Pilihan”, Majelis Al-Mawarits-BPQ El-Azhar. Hlm. 5-6.
[10] Ketentuan pokok masing-masing waris ahli waris dalam ijma’ adalah 1/3 x sisa.
[11] Dzawul Arham member pusaka/warisan dengan jalan rahim.”Fiqh Mawarits Hukum Pembagian Warisan Menurut Syariat Islam”. Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy. Hlm. 54
[12] Mu’tiq orang yang memerdekakan budak pada zaman rosul, tetapi sekarang tidak ada lagi.
Share:
PEMBACA YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN PESAN ;)

Tes iklan

Category

Contact Form

Name

Email *

Message *

Followers

SUBSCRIBE Yaa

Blue Generation (IKRH 619)

Blue Generation (IKRH 619)

Batman Begins - Diagonal Resize 2

About Me