ISTIHSAN
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah,
segala puji bagi Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Karena berkat
Rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah Ushul Fiqh dengan bab “Istihsan
dan Maslahah mursalah” ini.
Salawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada suritauladan umat, nabi Muhammad SAW,
dan juga kepada keluarganya, para sahabatnya, para tabiit-tabiin, dan para
pengikut akhir zaman.
Penulis
mengucapkan terima kasih kepada seluruh rekan seperjuangan yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini dan memberikan dukungan moral baik secara langsung dan tidak
langsung. Serta kepada dosen pengajar Ushul Fiqh, yang telah membimbing dan memberikan pengarahan. serta kepada
ibunda dan ayahanda yang selalu mendoakan.
Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas Ushul Fiqh dalam bab Istihsan dan maslahah
mursalah. Kami berharap dengan adanya makalah ini dapat menambah pemahaman
pembaca mengenai judul yang kami angkat dalam makalah ini.
Penulis menyadari
bahwa makalah ini belum sempurna, baik dari segi teknik penyajian maupun dari segi materi. Oleh karena itu,
demi penyempurnaan makalah ini , kami mengharapkan kritik dan saran dari
berbagai pihak agar penyusunan makalah ini dapat lebih disempurnakan. Penulis
berharap, makalah ini dapat memberikan manfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Sentul
City, 5 Desember 2011
Pembahasan
1. Istihsan
Secara bahasa
Ihtisan berasal dari kata “hasan” yang berarti adalah baik dan lawan
dari “qobaha” yang berarti buruk. Kemudian di tambah tiga huruf yaitu
alif- sin dan ta’ , bewazan istif’al ,sehingga menjadi istahsana- yastahsinu-
istihsaanan. Kata benda (mashdar) yang berarti menganggap dan meyakini sesuatu
itu baik (baik secara fisik atau nilai) lawan dari Istiqbah, menganggap sesuatu
itu buruk. Sedangkan secara istilah, ulama beragam dalam mendefinisikannya
sekalipun esensinya hampir memiliki kesamaan.
1.
1 Berikut ini beberapa definisi Istihsan:
Ø Ungkapan tentang
dalil yang dikritik oleh mujtahid itu sendiri (karena) ketidaksanggupannya
untuk memunculkannya disebabkan tidak adanya kata/ ibarah yang dapat membantu
mengungkapankannya. (Abu Zahroh)
Ø Meninggalkan /
mengalihkan hasil qiyas menuju/ mengambil qiyas yang lebih kuat darinya. (Jasim
Muhalhil)
Ø Mengambil
kemaslahatan yang bersifat parsial dan meninggalkan dalil yang bersifat umum/
menyeluruh. (Al Fairuz Abadi)
Ø Beralihnya
seseorang dari menghukumkan suatu masalah dengan yang serupa karen adanya
kesamaan-kesamaan kepada hal yang berbeda karena pertimbangan yang lebih kuat
yang mengharuskan beralih dari yang pertama. (Al Jayzani)
Ø Meninggalkan
salah satu ijtihad yang tidak mencakup seluruh lafaznya karena pertimbangan
yang lebih kuat darinya. (Al Qorofi)
Ø Memprioritaskan
untuk meninggalkan tuntutan sebuah dalil dengan cara pengkecualian, rukhsoh dan
mu’arodloh karena sebagian tuntutannya bertentangan. (Ibnul Arobi)
Ø Pendapat yang
tidak bersandarkan kepada keterangan dari salah satu syarak, yaitu al-Quran,
sunnah, ijma’, dan qiyas. (Imam Syafii).
Sebelum Abu Hanifah menggunakan istilah istihsan,
ulama-ulama sebelumnya telah menggunakan istilah ini. Iyas ibn Mu’awiyah
seorang hakim dalam pemerintahan Umaiyah pernah berkata:
“tidaklah saya menemukan qadhi, melainkan apa yang
dipandang baik manusia”.
Sesudah Abu Hanifah menjadi seorang mujtahid dan ahli
falsafah dalam bidang hukum, istilah istihsan sering digunakan sehingga
menyaingi qias. Umpamanya Abu Hanifah berkata:
“qias memutuskan bgini, sedang istihsan memutuskan
begitu. Kami mengambil istihsan. Qias memutuskan begini, akan tetapi kami
beristisan, andaikata tidak ada riwayat tentulah saya menggunakan qias. Kami
menetapkan demikian dengan jalan istihsan, tidak bersesuaian dengan qias”.
Imam Abu Hanifah terkenal sebagai seorang ahli hukum
yang amat pandai menggunakan sumber istihsan dan banyak merujuk masalah-masalah
berdasarkan sumber istihsan. Imam Abu Hanifah hampir-hampir digelar ‘imam
Istihsan’ sebagaimana beliau digelar imam ahlul ra’yi.
Muhammad Ibnul Hasan, salah seorang murid Imam Ab
Hanifah telah berkata:
“adalah Abu Hnifah telah berdiskusi dengan
sahabat-sahabatnya tentang qias. Mereka dapat membantahnya. Tetapi apabila Abu
Hanifah mengatakan: saya beristihsan, tidak ada lagi orang yang menandinginya
kerana banyak dalil-dalil yang dikemukakan tentang istihsan dalam pelbagai
masalah”.
Kemudian murid-muridnya yang mencapai darjat ijtihad
mengikut jejak Abu Hanifah. Maka telah timbul banyak masalah berdasarkan
istihsan sehingga mereka memberi pengertian bahawa istihsan itu merupakan satu dalil
hukum dan para mujtahid harus mengetahuinya. Muhammad Ibnul Hasan berpendapat
bahawa mengetahui masalah-masalah istihsan adalah syarat untuk berijtihad.
Muhammad Ibnul Hasan berkata:
“mengetahui masalah-masalah istihsan menurut para
fuqaha adalah salah satu syarat ijtihad, sama dengan mengetahui dalil-dalil
yang lain”.
Imam Abu Hanifah sendiri berkata:
“barang siapa mengetahui Al-kitab dan As-sunnah,
pendapat para sahabat Rasulullah dan apa yang diistihsankan oleh para para
fuqaha, dapatlah dia berijtihad terhadap hal-hal yang dihadapinya dan dia
menjalankan yang demikian itu terhadap solatnya, puasanya, hajinya dan segala
yang disuruh dan yang dilarang. Maka apabila dia berijtihad dan berqias kepada
yang menyerupainya dapatlah dia beramal dengan yang demikian walaupun dia salah
dalam ijtihadnya”.
Dari beberapa definisi istihsan di atas, terlihat
setiap ulama berbeda dalam mendefinikannya sekalipun ada beberapa sisi yang
memiliki kemiripan. Seperti hubungan istihsan dengan qiyas. Jadi dapat
disimpulkan bahwa menurut ulama ushul fiqh, Istihsan adalah
meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian
yang ditetapkan berdasarkan dalil syara’, menuju (menetapkan) hokum lain dari
peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara’ yang
mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaran
istihsan.
1.2 Kedudukan Istihsan Dalam
Sumber Hukum Islam
Ada tiga sikap dan pandangan ulama dalam menggunakan
istihsan sebagai sumber hukum Islam. Ada yang menolak istihsan sebagai sumber
hukum Islam sama sekali. Mereka adalah kelompok ulama yang menafikan qiyas
seperti Daud Azh Zhohiry, Mu’tazilah dan sebagian Syi’ah. Ada yang menjadikan
istihsan sebagai sumber hukum Islam. Mereka adalah kelompok ulama Hanafiah,
khususnya tokoh sentralnya Abu Hanifah. Dan yang lain adalah kelompok yang
kadang menggunakan istihsan dan kadang menolaknya seperti Imam Syafi’i.
Secara umum ada dua pendapat
ulama dalam hal ini:
1.
Ada yang menganggapnya sebagai sumber hukum.
Diantara
ulama yang beranggapan sebagai sumber hukum adalah Imam Hanafi dan Imam Malik
sekalipun ia tidak terlalu membedakan antara istihsan dengan Maslahah Mursalah,
sehingga beliau menyatakan bahwa istihsan telah merambah sampai 9/10 ilmu fiqh.
Adapun
alasan-alasan yang dikemukannya antara lain:
Ø Firman Allah swt
dalam surat Azzumar ayat 18:
Artinya: ”Yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka
Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah
orang-orang yang mempunyai akal”. (Q.S Azzumar:18)
Ø Sabda Rasul SAW:
“Apa yang dilihat kaum muslimin baik maka baik pula disisi Allah.”
Ø Ijma’ umat dalam
kontek istihsan tentang boleh masuk kepemandian umum, tanpa pembatasan waktu
dan penggunaan air serta ongkosnya.
2.
Menganggap bukan sebagai sumber hukum.
Diantara
ulama yang menolaknya sebagai sumber hukum adalah Imam Syafi’i. Dalam bukunya
”Ar Risalah” beliau menyatakan bahwa haram bagi seseorang untuk mengatakan
sesutau atas dasar Istihsan. Karena Istihsan hanyalah talazzuz. Beliau juga
berkata ”Barang siapa yang beristihsan sungguh ia telah membuat syariat”.
Menurut beliau tidak boleh seorang hakim atau mufti menghukumi atau berfatwa
kecuali dengan dalil yang kuat (khobar lazim) yang bersumber dari kitabullah,
sunnah, ucapan ulama yang tidak diperdebatkan (ijma’) atau qiyas. Tidak boleh
menetapkan hukum/ fatwa dengan Istihsan. Bahkan ada dikalangan Asy Syafi’iyah
secara ekstrim mengkafirkan dan membid’ahkan. Adapun alasan mereka yang
menolak istihsan sebagai sumber hukum, antara lain:
Ø Karena kewajiban
seorang muslim adalah mengikuti hukum Allah dan RasulNya atau qiyas yang
berlandaskannya. Oleh karena itu hukum yang berasal dari Istihsan adalah produk
manusia (wadh’i) yang hanya berdasarkan pertimbangan citra rasa dan kesenangan
belaka (Tazawwuq dan Talazzuz)
Ø Allah swt
memerintahkan kita untuk kembali kepada nash atau qiyas apabila kita berselisih
paham, bukan kepada hawa nafsu. Seperti Firmannya dalam Annisa ayat 59:
Artinya : ”Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Q.S Annisa ayat:59)
Ø Nabi Muhammad saw
tidak pernah memberikan fatwa dengan menggunakan Istihsan. Misalnya ketika
beliau ditanya tentang seorang laki-laki yang berkata kepada istrinya ”Kamu
bagiku mirip punggung ibuku”. Beliau tidak memberikan fatwa bersdasarkan
Istihsan. Akan tetapi menunggu hingga turun ayat tentang Zihar beserta
kafaratnya dan contoh lainnya. Atas dasar inilah, kita wajib menghindar
penggunaan Istihsan tanpa adanya topangan nash.
Ø Nabi saw juga
tidak memperkanankan sahabat memeberi fatwa atau bersikap berdasarkan istihsan.
Seperti pada kasus Usamah yang membunuh musuhnya yang telah mengucapkan kalimat
Laa Ila IllaLLah, karena kalimat itu di ucapkan di saat terdesak dan ancaman
pedang yang terhunus.
Ø Istihsan tidak
memiliki batasan yang jelas dan kreteri-kreteian yang bias dijadikan standar
untuk membedakan antara haq dan batil, seperti halnya qiyas. Sehingga bisa
menimbulkan bias.
1.3 Macam-Macam
Istihsan
Ada beberapa macam ihtisan, di antaranya:
A. Istihsan dilihat dari aspek pengalihan
Ada tiga contoh dalam kasus ini, yaitu:
Ø Mengalihkan qiyas
zhohir mengambil qiyas khofi.
Contohnya pada
kasus tanah wakaf pertanian (sawah). Dilihat dari kacamata qiyas kewajiban
mengairi tanah (sawah) tersebut tidak otomatis termasuk wakaf tanah pertanian
tersebut, apalagi memang tidak disebutkan saat mewakafkannya. Alasannya karena
qiyas zhohir, yaitu mengqiyaskan wakaf kepada jual beli dimanan apabila terjadi
transaksi atas suatu barang maka terjadi pemindahan kepemilikan sesuai akad
yang disepakatinya/ dikemukannya. Namun apabila dilihat dari kacamata
istihsan maka kewajiban mengairi tanah wakaf (sawah) masuk dalam akad wakaf.
Alasannya mengalihkan/mengabaikan hasil qiyas zhohir mengambil hasil qiyas
khofi. Karena tujuan dari wakaf tersebut adalah memanfaatkan hasil dari
pertaniantersebut. Dan sawah itu tidak akan menghasilkan/mendatang-kan manfaat
apabila tidak diairi.
Ø Mengalihkan nash
yang bersifat umum, mengambil hukum khusus.
Contohnya pada
kasus Umar ra yang membatalkan hukum potong tangan seorang pencuri karena
kejadiannya saat terjadi musim paceklik/kelaparan. Padahal ayat potong tangan
itu cukup jelas (5/38). Juga pada jual beli salam. Berdasarkan dalil umum tidak
boleh. Karena Nabi saw bersabda: ”Janganlah kamu menjual yang tidak kamu miliki”
[HR. Ahmad ]. Namun karena ada dalil khusu maka jual beli salam dibolehkan.
Sabda Nabi saw ”Siapa yang melakukan jual beli salam, maka harus jelas ukuran,
timbangan dan watunya” [HR. Bukhori]
Ø Mengalihkan/mengabaikan
hukum kulli mengambil hukum istitsna’I (pengkecualiaan).
Contohnya
pada orang yang makan saat puasa karena lupa. Kaidah umum, puasanya batal
karena salah satu rukunnya, yaitu alimsak telah rusak. Namun karena ada dalil
khusus yang mengkecualikannya, maka puasanya tidak batal. Yaitu sabda Nabi saw:
“Siapa yang lupa padahal ia tengah puasa lalu ia makan atau minum, hendaknya ia
menyempurnakan puasanya. Sesungguhnya itu adalah makan dan minum yang diberikan
Allah”.
B. Istihsan dilihat dari sanad atau sandaran yang
digunakan dalam pengalihan/ atau pengabaian.
Ada beberapa contoh dalam kasus
ini, yaitu:
Ø
Istihsan yang sanad/sandarannya berupa
quwwatul atsar/riwayat yang kuat.
Contohnya
pada kasus sisa air minum unggas carnivora sepeti burung elang, rajawali atau
burung pemakan bangkai. Dilihat dari kacamata qiyas maka air itu menjadi najis.
Yaitu apabila diqiyaskan kepada hewan buas. Karena ada kesamaan illatnya yaitu
sama-sama hewan yang dagingnya haram dimakan. Namun apabila dilihat dari
kacamata istihsan, hukum air itu suci namun makruh. Karena hewan burung minum
dengan paruhnya. Dan paruhnya adalah suci karena ia sejenis tulang yang kering.
Ini berbeda dengan hewan buas yang minum dengan lidahnya yang mengandung air
liur yang bersumber dari dagingnya yang najis/ haram.
Ø Istihsan yang
sandarannya berupa maslahat
Contohnya pada
kasus ‘al ajir al musytarok’ (pekerja yang terikat pada banyak orang) seperti
tukang jahit, yang menghilangkan/ kehilangan bahan. Dilihat dari kacamata
qiyas, ia tidak wajib mengganti apabila bukan karena kelalaiannya. Namun apabila
dilihat dari kacamata istihsan ia wajib menggantinya untuk menjaga agar hak
milik orang tidak disia-siakan.
Ø Istihsan yang
sandarannya berupa ijma
Contohnya pada
kasus akad Istishna’ (pesanan). Menurut qiyas semestinya akad itu batal. Sebab
objek akad tidak ada ketika akad itu berlangsung. Akan tetapi transaksi model
ini telah dikenal dan sah sepanjang zaman, maka ia dipandang sebagai ijma’ atau
’urf ’aam yang dapat mengalahkan dalil qiyas. Yang demikian ini berarti
merupakan perpindahan dari suatu dalil ke dalil yang lainyang lebih kuat.
Ø Istihsan yang
sandarannya berupa qiyas
Contohnya pada
kasus wanita yang perlu pengobatan khusus. Pada hakikatnya seluruh tubuh wanita
adalah aurat. Akan tetapi dibolehkan untuk melihat sebagaian tubuhnya karena
hajat. Seperti untuk kepentingan pengobatan oleh seorang dokter. Di sini
terdapat semacam pertentangan kaidah, bahwa seorang wanita adalah aurat,
memandangnya akan mendatangkan fitnah. Sementara disisi lain akan terjadi
masyaqqoh apabila tidak diobati. Dalam hal ini dipakai illat, at taysir
(memudahkan).
Ø Istihsan yang
sandarannya darurat.
Contohnya
pada sumur yang kejatuhan najis. Apabila sumur itu dikuras sangat tidak
mungkin. Karena alat yang digunakan pasti terkontaminasi kembali dengan najis
tersebut. Namun dengan pertimbangan darurat hal itu dapat dilakukan.
Ø Istihsan yang
sandarannya berupa ’urf (budaya/ kebiasaan)
Contoh orang yang
bersumpah tidak makan daging (lahman). Namun kemudian ia makan ikan.
Berdasarkan qiyas ia telah melanggar sumpahnya karena Al Qur’an menyebut ikan
dengan kata ”lahman toriyyan” . Namun berdasarkan ’urf, ikan itu berbeda dengan
daging.
2. Maslahah Mursalah
2.1
Pengertian Maslahah Mursalah
Maslahah
mursalah menurut lughat terdiri atas dua kata, yaitu maslahah dan
mursalah.Perpaduan dua kata menjadi “marsalah mursalah“yang berarti prinsip
kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu hukum islam. Juga
dapat berarti, suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (bermanfaat).
Menurut
istilah ulama ushul ada bermacam-macam ta`rif yang diberikan di antaranya :
Ø
Imam Ar-Razi mena`rifkan sebagai
berikut: Maslahah ialah, perbuatan yang bermanfaat yang telah diperintahkan
oleh Musyarri` (Allah) kepada hamba-Nya tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya,
akalnya, keturunannya dan harta bendanya).
Ø
Imam Al-Ghazali mena`rifkan sebagai
berikut: Maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak madarat“
Ø
Menurut Muhammad Hasbi As-Siddiqi,
maslahah ialah :Memelihara tujuan syara dengan jalan menolak segala sesuatu
yang merusakkan makhluk.
2.2
Syarat-Syarat Maslahah Mursalah
Golongan yang mengakui kehujjahan maslahah mursalah dalam
pembentukkan hukum (Islam) telah mensyaratkan sejumlah syarat tertentu yang
dipenuhi, sehingga maslahah tidak bercampur dengan hawa nafsu, tujuan, dan
keinginan yang merusakkan manusia dan agama. Sehingga seseorang tidak
menjadikan keinginannya sebagai ilhamnya dan menjadikan syahwatnya sebagai
syari`atnya.
Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:
1.
Maslahah itu harus hakikat, bukan
dugaan, Ahlul hilli wal aqdi dan mereka yang mempunyai disiplin ilmu tertentu
memandang bahwa pembentukan hukum itu harus didasarkan pada maslahah haqiqiyah
yang dapat menarik manfaat untuk manusia dan dapat menolak bahaya dari mereka.
2.
Maslahah harus bersifat umum dan
menyeluruh, tidak khusus untuk orang tertentu dan tidak khusus untuk beberapa
orang dalam jumlah sedikit.
3.
Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan
hukum-hukum yang dituju oleh syari`.Maslahah tersebut harus dari jenis maslahah
yang telah didatangkan oleh Syari`.Seandainya tidak ada dalil tertentu yang
mengakuinya, maka maslahah tersebut tidak sejalan dengan apa yang telah dituju
oleh Islam. Bahkan tidak dapat disebut maslahah.
4.
Maslahah itu bukan maslahah yang tidak
benar, di mana nash yang sudah ada tidak membenarkannya, dan tidak menganggap
salah.
2.3 Macam-Macam Maslahah
Ulama ushul membagi maslahah kepada tiga bagian, yaitu:
1.
Maslahah
dharuriyah
Maslahah dharuriyah adalah perkara-perkara yang menjadi
tempat tegaknya kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan, maka rusaklah
kehidupan manusia, merajalelalah kerusakan,timbullah fitnah, dan kehancuran yang hebat.
Perkara-perkara ini dapat dikembalikan kepada lima perkara, yang merupakan
perkara pokok yang harus dipelihara, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta.
Di antara syri`at yang diwajibkan untuk memelihara agama
adalah kewajiban jihad (berperang membela agama) untuk mempertahankan akidah
Islmiyah dan karena kita adalah mahasiswa maka kewajiban kita adalah berjihad
dengan belajar oleh sebab itu belajarlah dengan sungguh-sungguh. .
Di antara syari`at yang diwajibkan untuk memelihara jiwa adalah kewajiban untuk
berusaha memperoleh makanan, minuman, dan pakaian untuk mempertahankanhidupnya.
Di antara syari`at yang diwajibkan untuk memelihara akal
adalah kewajiban untuk meninggalkan minum khamar dan segala sesuatu yang
memabukkan. Begitu juga menyiksa orang yang meminumnya.
Di antara syari`at yang diwajibkan untuk memelihara keturunan adalah kewajiban
untuk menghidarkan diri dari berbuat zina. Begitu juga hukuman yang dikenakan
kepada pelaku zina, laki-laki atau perempuan.
2.
Maslahah
Hajjiah
Maslahah hajjiyah ialah, semua bentuk perbuatan dan
tindakan yang tidak terkait dengan dasar yang lain (yang ada pada maslahah
dharuriyah) yang dibutuhkan oleh masyarakat.Hajjiyah ini tidak rusak dan
terancam, tetapi hanya menimbulkan kepicikan dan kesempitan, dan hajjiyah ini
berlaku dalam lapangan ibadah, adat, muamalat, dan dan bidang jinayat.Dalam hal
ibadah misalnya, qashar shalat, berbuka puasa bagi yang musafir. Dalam adat
dibolehkan berburu, memakan, dan memakai yang baik-baik dan yang indah-indah.
Dalam hal muamalat, dibolehkan jual-beli secara salam, dibolehkan talak untuk
menghindarkan kemaslahatan dari suami-istri.
Termasuk dalam hal hajjiyah ini, memelihara kemerdekaan
pribadi, kemerdekaan beragama. Sebab dengan adanya kemerdekaan pribadi dan
kemerdekaan beragama, luaslah gerak langkah hidup manusia.
Melarang/mengharamkan rampasan dan penodongan termasuk juga dalam hajjiyah.
3.
Maslahah
tahsiniyah
Maslahah tasiniyah ialah mempergunakan semua yang layak dan
pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian
mahasinul akhlak.
Tahsiniyah juga masuk dalam lapanganan ibadah, adat,
muamalah, dan bidang uqubat. Lapangan ibadah misalnya, kewajiban bersuci dari
najis, menutup aurat,memakai pakaian yang baik-baik ketika akan shalat,
mendekatkan diri kepada Allah melalui amalan-amalan sunah, seperti shalat
sunah, puasa sunah, bersedekah dan lain-lain.
Lapangan adat, seperti menjaga adat makan, minum, memilih
makanan-makanan yang baik-baik dari yang tiak baik/bernajis. Dalam lapangan
muamalah, misalnya larangan menjual benda-benda yang bernajis, tidak memberikan
sesuatu kepada orang lain melebihi dari kebutuhannya. Dalam lapangaan uqubat,
misalnya dilarang berbuat curang dalam timbangan ketika berjual beli, dalam
peperangan tidak boleh membunuh wanita, anak-anak, pendeta, dan orang-orang
yang sudah lanjut usia.
Imam Abu Zahrah, menambahkan bahwa termasuk lapangan
tahsiniyah, yaitu melarang wanita-wanita muslimat keluar kejalan-jalan umum
memakai pakaian-pakaian yang senonok atau perhiasan yang mencolok mata. Sebab
hal ini bisa menimbulkan fitnah di kalangan masyarakat banyak yang pada
gilirannya akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan oleh keluarga dan
terutama oleh agama. Selanjutnya dikatakan bahwa adanya larangan tersebut bagi
wanita sebenarnya merupakan kemuliaan baginya untuk menjaga kehormatan dirinya
agar tetap bisa menjadi wanita-wanita yang baik dan menjadi kebanggaan.
2.4
Kehujjahan Maslahah Mursalah
Dalam kehujjahan maslahah mursalah, terdapat perbedaan
pendapat dikalangan ulama ushul di antaranya :
1.
Maslahah mursalah tidak dapat menjadi
hujjah/dalil menurut ulama-ulama syafi`iyyah, ulama hanafiyyah, dan sebagian
ulama malikiyah seperti ibnu Hajib dan ahli zahir
2.
Maslahah mursalah dapat menjadi
hujjah/dalil menurut sebagian ulama imam maliki dan sebagian ulam syafi`i,
tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama
ushul. Jumhur Hanafiyyah dan syafi`iyyah mensyaratkan tentang masalah ini,
hendaknya dimasukkan dibawah qiyas, yaitu bila terdapat hukum ashl yang dapat
diqiyaskan kepadanya dan juga terdapat illat mudhabit (tepat), sehiggga dalam
hubungan hukum itu terdpat tempat untuk merealisir kemaslahatan.
3.
Imam Al-Qarafi berkata tentang maslahah
mursalah “Sesungguhnya berhujjah dengan maslahah mursalah dilakukan oleh semua
madzhab, karena mereka membedakan antara satu dengan yang lainnya disertai
karena ada ketentuan-ketentuan hokum yang mengikat. “
Diantara ulama
yang paling banyak melakuakn atau menggunakan maslahah mursalah ialah Imam
Malik dengan alasan; Allah mengutus utusan-utusannya untuk membimbing umatnya
kepada kemaslahahan. Kalau memang mereka diutus demi membawa kemaslahahn
manusia maka jelaslah bagi kita bahwa maslahah itu satu hal yang dikehendaki
oleh syara`/agama mengingat hukum Allah diadakan untuk kepentingan umat manusia
baik dunia maupun akhirat.
0 comments:
Post a Comment