Terima kasih

Terima kasih sudah berkunjung di blog saya ;)

Sunday, June 10, 2012

AHKAMUSY SYARI"AH (HUKUM-HUKUM SYARI"AT)



AHKAMUSY SYARI"AH (HUKUM-HUKUM SYARI"AT)


W A J I B
            Wajib adalah suatu perintah yang harus dikerjakan, di mana orang yang meninggalkannya berdosa. Sebagian ulama ahli Ushul Fiqh memberikan definisi bahwa “ wajib adalah suatu perintah, di mana orang yang meninggalkan adalah tercela”. Menurut mazhab imam Hanafi bahwa definisi fardu tidak sama dengan wajib menurut syara’. Menurut mazhab Hanafi bahwa fardu adalah perintah yang berdasarkan dalil qath’I (pasti) yang tidak ada kebimbangan lagi, sedangkan wajib adalah perintah yang berdasarkan dalil zhanni yang masih mengandung keraguan. Perbedaan tersebut tentu mempunyai kosenkuensi terhadap perbedaan nilai masing-masing, yaitu kepastian perintah wajib nilanya di bawah kepastian perintah yang fardu. Sehingga ada ulama yang berpendapat bahwa orang meninggalkan ibadah fardu maka batallah amal ibadahnya. Misalnya orang yang menunaikan ibadah haji, tetapi tidak wuquf di Arafah maka batallah ibadah hajinya. Akan tetapi orang yang meninggalkan wajib ibadahnya masih sah. Misalnya orang yang menunaikan ibadah haji tetapi tidak melakukan sa’i antara bukit Shafa dan Marwah, berarti ibadah hajinya batal karena  kewajiban Sa’i bukan berdasarkan dalil qaht’i (pasti), tetapi hanya berdasarkan dalil zhanni yang mengandung keraguan.
            Sebagian ulama mazhab Hanafi ada yang menyebut perbuatan wajib yang pasti itu sebagai fardhu ‘amali. Dengan demikian seakan-akan mereka membagi fardhu menjadi dua macam, yaitu :
1.      Fardhu dalam kenyakinan dan amal (perbuatan), yaitu fardhu yang berdasarkan dalil qaht’i.
2.      Fardhu dalam perbuatan saja, yaitu fardhu yang berdasarkan dalil zhanni.

Pembagian Wajib dari Segi Masa Pelaksanaannya
Dari segi masa pelaksanaanya, wajib terbagi menjadi 2 macam
1.      Wajib muthlaq (bebas) yang pelaksanaanya tidak dibatasi oleh waktu tertentu, sehingga seandainya dilaksanakan sampai batas akhir masa kemampuan untuk melaksanakan tidak berdosa. Seperti mengqhada’ puasa Ramadhan bagi orang yang ‘udzur. Menurut pendapat imam Hanafi qhada’ puasa Ramadhan boleh dilaksanakan kapan saja, tanpa dibatasi oleh waktu. Sedangkan menurut pendapat imam Syafi’i bahwa orang yang mengqhada’ puasa Ramadhan di batasi oleh tahun di mana orang tersebut meninggalkan puasa Ramadhan.
2.      Wajib yang harus dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu. Waktu tertentu tersebut merupakan tanda atas wajibnya suatu perintah. Seperti waktu shalat, apabila sudah masuk maka menjadi tanda atas wajibnya melaksanakan shalat tersebut. Wajib yang harus dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu (pelaksanaannya dibatasi oleh waktu) terbagi menjadi dua macam, yaitu :
1.      Wajib muwassa’ (wajib yang mempunyai waktu luas) adalah ibadah yang waktunya luas (panjang) yang cukup unntuk sambil melaksanakan ibadah yang lain. Seperti ibadah shalat yang mempunyai waktu yang panjang misalnya shalat zhuhur, disela-sela kita shalat zhuhur kita bisa melaksanakan shalat-shalat sunat yang lain.
2.      Wajib mudhayyaq ialah suatu ibadah wajib, dimana waktu yang disediakan untuk melaksanakannya sangat terbatas sehingga tidak cukup untuk melaksanakan ibadah yang lain. Seperti ibadah puasa pada bulan Ramadhan di mana kita hanya melakukan puasa saja tidak dapat diisi dengan puasa-puasa sunat lainnya.

Pembagian Wajib dari Segi Tertentunya  Tuntutan
Dari segi tertentunya sebuah tuntutan, maka wajib dibagi menjadi dua macam, yaitu :
1.      Wajib mu’ayyan ialah suatu kewajiban yang  hanya memounyai satu tuntutan, seperti membayar hutang, memenuhi akad, membayar zakat dan sebagainya.
2.      Wajib mukhayyar ialah suatu kewajiban yang tidak hanya mempunyai satu mamcam tuntutan tetapi mempunyai dua atau tiga alternative yang dapat dipilih. Contoh kewajiban yang mempunyai dua alternatif ialah bahwa bagi imam (penguasa) diperbolehkan memilih antara membebaskan tawanan perang atau menerima tebusan mereka. Contoh kewajiban yang diperbolehkan untuk memilih tiga alternatif ialah kaffarat sumpah.bagi orang yang melanggar sumpahnya, ia diharuskan membayar kaffarat dengan memerdekakan hamba, memberi makan 10 orang miskin, atau memberi pakaian kepada mereka, sedangkan orang yang tidak mampu diwajibkan mengerjakan puasa tiga hari.

Pembagian Wajib dari Segi Kadar/Ukuran Perintah
Ditinjau dari segi kadar/ukurannya, wajib terbagi menjadi dua macam, yaitu :
1.      Wajib yang mempunyai ukuran-ukuran tertentu, seperti dalam pembagian harta pusaka.
2.      Wajib yang tidak mempunyai ukuran-ukuran yang konkrit, seperti kadar mengusap kepala (ketika berwudhu’), ukuran waktu ruku’ dan sujud dalam shalat, ukuran dalam memberikan dafkah/ biaya hidup sebelum ada hukum yang konkrit yang menjelaskan ukurna tersebut yang ukurannya relative tergantung dari kemampuan setiap individu.



Pebagian Wajib dari Segi Pelaksananya
Dari segi pelaksananya, wajib terbagi menjadi dua macam, yaitu :
1.      Wajib ‘aini ialah kewajiban yang harus dikerjakan oleh setiap orang mukallaf, sehingga jika ia meninggal, berdosalah ia dan berhak disiksa. Contohnya shalat, puasa, zakat, menepati akad (memenuhi janji), memberikan hak orang lain yang berhak, dan kewajiban yang lainnya yang apabila ditinggalkan akan mendapat dosa.
2.      Wajib kafa’i (fardhu kifayah) ialah suatu kewajiban yang hanya menuntut terwujudnya suatu pekerjaan dari sekelompok masyarakat. Sehingga jika kewajiban itu sudah dikerjakan oleh sebagian orang maka terbebaslah masyarat tersebut tetapi jika tidak ada yang melakukan kewajiban tersebut maka berdosalah seluruh anggota masyarakat tersebut. Seperti jihad untuk menegakkan agama Allah; amar ma’ruf nahi ‘anil munkar (memerintah kebaikan dan mencegah kemungkaran); menshalati mayat; membentuk kepemimpinan yang kuat dikalangan ummat Islam dan kewajiban-kewajiban yang lain yang tidak hanya dibebankan kepada setiap orang, tapi harus dikerjakan oleh masyarakat secara keseluruhan.

M A N D U B/S U N N A H
Mandub ialah perbuatan yang dianjurkan oleh Syara’ (Allah) untuk dikerjakan. Sebagai fuquha’ dari aliran Syi’ah memberikan definisi mandub ialah suatu perintah yang rajah – sangat baik untuk dikerjakan, tapi juga boleh untuk ditinggalkan. Definisi ini lebih luas dibandingkan dengan definisi yang lain, meskipun menterjihkan perbuatan mandub tersebut tidak bersifat pasti sebagaimana yang kita pahami dari teks tersebut.
            Mandub juga dinamakan nafilah, sunnah, tathawwu’, mustahab dan ihsan, yang semua sebutna ini mengacu pada pengertian mandub di atas.
            Setiap orang yang menganalisa hukum syara’ pasti akan tahu bahwa mandub  itu mempunyai beberapa tingkatan, di antaranya ialah :
1.      Sunnah mu’akkadah, yaitu suatu sunnah yang dijalankan oleh Rasulullah SAW secara kontinyu, tetapi beliau menjelaskan bahwa hal tersebut bukan fardhu yang harus dikerjakan. Seperti shalat witir (menurut ulama yang berpendapat sunnah), shalat dua rakaat setelah Maghrib dan dua rakaat setelah Zhuhur, dua rakaat setelah shalat Isya’. Menurut sebagian ulama bahwa bagi orang yang meninggalkan termasuk tercela meskipun tidak disiksa karena berarti menentang (mengingkari) sunnah yang dikerjakan Rasulullah SAW secara kontinyu. Sunnah mu’akkadah menurut Jamhurul Fuqaha’ ialah nikah bagi orang yang mampu dan dalam keadaan normal, membaca surat atau beberapa ayat al-Qur’an (dalam shalat) sesudah membaca Fatihah.
2.      Sunnah ghairul mu’akkadah, yaitu sunnah yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah SAW secara kontinyu. Seperti shalat empat rakaat sebelum Zhuhur, empat rakaat sebelum Ashar, empat rakaat sebelum Isya’, bershadaqah yang tidak fardhu, kecuali kepada irang yang sangat membutuhkan.
3.      Sunnah yang tingkatannya dibawah dua tingkatan di atas. Sunnah ini ialah mengikuti adat kebiasaan Rasulullah yang tidak ada hubungannya dengan tugas tabligh (penyampaian ajaran) dari Allah, atau penjelasan terhadap hukum syara’ . Seperti cara berpakaian, makan dan minumnya Rasulullah, memelihara jenggot, merapikan kumis yang semuanya ini merupakan adat kebiasaan yang baik.

H A R A M
Haram ialah larangan Allah yang pasti terhadap suatu perbuatan, baik ditetapkan dengan dalil yang qath’i maupun dalil zhanni. Menurut pendapat mazhab Hanafi, hukum haram harus berdasarkan pada dalil qhat’i yang tidak mengandung keraguan sedikitpun. Oleh karena itu, hukum-hukum haram yang berdasarkan pada dalil zhanni mereka sebut makruh tahrim. Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad malah menyebutkan makruh saja, agar tidak dikatakan haram.
Contoh-contoh perbuatan yang diharamkan diantaranya yaitu makan bangkai, minum khamr (minuman keras), berzina, membunuh seseorang yang diharamkan Allah tanpa ada hak, makan harta benda orang lain secara batil, menyakiti orang lain dengan segala corak dan ragamnya serta dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun kecuali untuk menolak bahaya yang lebih besar atau parah.

Pembagian Haram
Dasar yang dijadikan landasan hukum haram adalah adanya bahaya yang nyata yang tidak diragukan lagi. Setiap perbuatan yang diharamkan oleh syara’ pasti mengandung bahaya sedangkan perbuatan yang diperbolehkan oleh syara’ pasti mengandung kemanfaatan yang banyak. Atas dasar ini, hukum haram terbagi menjadi dua macam yaitu :
1.      Haram li-dzatih : yaitu perbuatan yang diharamkan oleh Allah karena bahaya tersebut terdapat dalam perbuatan itu sendiri. Seperti makan bangkai, minum khamr, berzina, mencuri yang bahayanya berhubungan langsung dengan lima hal yang harus dijaga (ad-Dharuriyat al-Khams), yakni badan, keturunan, harta benda, akal dan agama.
2.      Haram li-ghairih/’aridhi : yaitu perbuatan yang dilarang oleh syara’, di mana adanya larangan tersebut bukan terletak pada perbuatan itu sendiri, tetapi perbuatan tersebut dapat menimbulkan haram li-dzhatih. Seperti melihat aurat perempuan, dapat menimbulkan perbuatan zina, sedang zina diharamkan karena dzatiyahnya sendiri. Jual-beli barang-barang secara riba yang diharamkan, karena dapat menimbulkan riba yang diharamkan dzatiyahnya.
Perbedaan haram lidzatih dengan haram li-ghairih/’aridhi adalah sebagai berikut :
1.      Haram li-dzatih apabila menyangkut akad, maka dapat membatalkan akad tersebut. Karena haram lidzatih dapat menimbulkan cacatnya akad. Sedangkan haram li-ghairih/’aridh, di mana akad tersebut tidak batal, seperti jual beli pada waktu adzan Jum’at; akad jual belli pada barang yang telah ditawar orang lain; akad nikah dengan perempuan yang telah dipinang orang lain.
2.      Haram li-dzatih tidak diperbolehkann sama sekali, kecuali dalam keadaan dharurat (terpaksa). Alasannya karena haram li-dzatih adalah langsung berhubungan dengan hal-hal yang sangat vital sehingga keharaman tersebut tidak dapat dihilangkan kecuali oleh sebab yang vital juga. Sedangkan haram li-ghairih boleh dikerjakan bila ada hajat, meskipun tidak sampai tingkat dharurat (terpaksa). Alasannya haram li-ghairih tersebut tidak berhubungan langsung dengan masalah yang vital.

M A K R U H
Menurut pendapat Jumhur Fuqaha’, makruh adalah suatu larangan syara’ terhadap suatu perbuatan, tetapi larangan tersebut tidak bersifat pasti, larangan tidak ada yang menunjukkan atas haramnya perbuatan tersebut. Mazhab Hanafi membagi makruh menjadi 2 macam yaitu:
1.      Makruh tahrim : yaitu larangan yang pasti yang didasarkan pada dalil zhanni yang masih mengandung keraguan. Seperti memakai sutera, cincin dari emas dan perak bagi kaum lelaki. Makruh tahrim ini merupakan lawan (kebalikan) dari hukum wajib.
2.      Makruh tanzih : suatu larangan syara’ terhadap suatu perbuatan, tetapi larangan tersebut tidak bersifat pasti, larangan tidak ada yang menunjukkan atas haramnya perbuatan tersebut. Makruh tanzih ini merupakan lawan (kebalikan) dari hukum mandub.
Menurut pendapat Jumhur, bahwa orang yang yang mengerjakannya tidaklah tercela sedangkan orang yang meninggalkannya adalah terpuji. Sedang menurut mazhab Hanafi bahwa orang yang makruh tahrim tergolong tercela sedang orang yang melakukan makruh tanzih tidak, dan orang yang meninggalkan keduanya tergolong terpuji.
M U B A H
            Mubah adalah suatu hukum, dimana Allah SWT memberikan kebebasan kepada orang mukallaf untuk memilih antara mengerjakan suatu perbuatan atau meninggalkannya. Seperti makan, minum, bergurau dan sebagainya. Imam Asy-Syaukani memberikan definisi mubah sebagai berikut : “Mubah ialah suatu perbuatab yang apabila ditinggalkan sama-sama tidak memperoleh pujian. Dalam arti seseorang itu tidak terkena bahaya (dosa) kalau melaksanakan perbuatan tersebut atau meninggalkannya”. Disini dapat diketahui bahwa yang dikategorikan dalam mubah yaitu suatu perbuatan yang pada mulanya diharamkan, tetapi kareran ada suatu factor yang menyebabkan perbuatan tersebut diperbolehkan. Seperti membunuh orang murtad, ditinjau dari segi kemanusiaan, orang itu haram dibunuh, tetapi karena dia murtad, maka hilanglah keharaman tersebut.
            Hukum mubah ditetapkan karena ada salah satu dari tiga hal, yaitu:
1.      Tiada berdosa bagi orang yang mengerjakan perbuatan yang semula diharamkan, dengan ada qarinah (tanda-tanda) atas diperbolehkannya perbuatan tersebut.
2.      Tiada nash (dalil) yang menunjukkan haramnya perbuatan tersebut contohnya mendengarkan dan mempergunakan radio.
3.      Ada nash (dalil) yang menunjukkan atas halalnya perbuatan tersebut, seperti makan makanan yang halal.

Imam Asy- Syatibi membagi mubah ditinnnjau dari segi penggunaannya menjadi empat bagian, yaitu :
1.      Mubah yang dipergunakan untuk melayani suatu perintah yang diwajibkan, yang disebut dengan mubah juz’i (temporer) secara kully (keseluruhan) diperintahkan seperti makan dan nikah, seseorang tidak diperbolehkan untuk meninggalkan selama-lamanya.
2.      Mubah yang dipergunakan untuk melayani suatu perbuatan yang dilarang. Secara temporer perbuatan tersebut diperbolehkan, tetapi tidak boleh dikerjakan terus menerus. Seperti bergurau mendengarkan radio diperbolehkan secara temporer, tetapi seseorang yang berakal sehat tidak boleh menghabisakan waktunya hanya untuk mendengarkan radio dan bercanda gurau.
3.      Mubah yang dipergunakan untuk melayani perbuatan yang mubah.
4.      Mubah yang tidak dipergunakan untuk melayani apa-apa.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa hukum mubah itu hanya bersifat temporer, tidak ada perbuatan mubah yang bersifat abadi (berlaku sepanjang masa). Bahkan secara umum perbuatan mubah itu ada yang diperintahkan (diwajibkan) dan ada pula yang dilarang (diharamkan).

SEBAB (AS-SABAB)
            Sebab (as-Sabab) menurut Jumhur Ulama adalah : sesuatu yang lahir dan jelas batasan-batasannya, yang oleh Allah (al-Syari’, (Pembuat hukum)) dijadikan sebagai tanda bagi wujudnya hukum. Berdasarkan definisi ini, ada dua esensi yang terkandung di dalamnya:
Pertama ; bahwa suatu  tidak sah dijadikan sebagai sebab kecuali Allah (Syari’) sendiri yang menjadikan sebagai sebab. Karena hukum-hukum taklifi merupakan pembebanan dari Allah SWT, maka yang membebani adalah Allah SWT. Dan jika yang membebani adalah merupakan pembuat hukum (Syari’), maka Dialah yang menjadikan sebab-sebab sebagai dasar hhukum-hukumnya.
Kedua : bahwa sebab-sebsab itu bukanlah yang mempengaruhi terhadap wujudnya hukum-hukum taklifi, akan tetapi merupakan tanda bagi lahirnya hukum-hukum itu. Asy- Syathiby mengatakan bahwa “sebab” bukanlah pelaku aktif dengan sendirinya ia hanyalah menyertai terjadinya akibat (musabbab atau hukum), bukan yang menyebabkannya.

Pembagian Sebab
Sebab terbagi menjadi dua yaitu : pertama, sebab yang bukan berasal dari perbuatan mukallaf, dan kedua, sebab yang berasal dari perbuatan mukallaf.
            Sebab yang bukan berasal dari perbuatan mukallaf (manusia) adalah sebab-sebab yang dijadikan oleh Allah sebagai tanda atas wujud hukum.sepeti adanya waktu merupakan sebab bagi wajibnya shalat; keadaan terpaksa merupakan sebab diperolehnya makan bangkai; dan adanya kekhawatiran terjerumus dalam perzinaan bagi orang yang telah mampu berkelluarga merupakan sebab bagi wajibnya nikah, dan demikian seterusnya.
            Adapun sebab-sebab yang ada dalam jangkauan kemampuan manusia (mukallaf) adalah perbuatan-perbuatan manusia mukallaf yang oleh Allah dijadikan sebagai akibat timbulnya hukum. Seperti bepergian jauh bagi orang yang sedang berpuasa, merupakan sebab diperbolehkannya berbuka (ifthar), akad nikah yang sah merupakan sebab dihalalkannya berkumpul, akad jual beli merupakan sebab bagi timbulnya akibat-akibat hukum dan demikian seterusnya.
            Sebab yang ada dalam jangkauan manusia ini terbagi terbagi menjadi beberapa macam, antara lain berupa: perbuatan yang diperintahkan (dituntut untuk dikerjakan), perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan dan perbuatan yang diperbolehkan. Pada dasarnya, selama hal itu ada dalsam batass kemampuan manusia, maka masih berkaitan dengan hukum-hukum taklifi yang berupa tuntutan untuk dikerjakan, ditinggalkan dan diperbolehkan. Oleh karena ada dua tinjauan berkenaan dengan sebab-sebab pada bagian ini , yaitu : dari satu segi ia termasuk dalam khitab taklifi, dan dari segi lain ia termasuk dalam khitab wadh’ i. jika dilihat dari segi kemampuan manusia, tuntutan untuk mendatangkan manfaat dan menolak kemadharatan, maka sebab-sebab termasuk dalam lingkup hukum taklifi. Dari sisi di mana dengan sebab-sebab itu Allah (Syari’) menetapkan hukum-hukum lainnya maka termasuk dalam lingkup hukum wadh’i; seperti akad nikah yang merupakna sebab untuk dapat saling mewarisi harta warisan antara pasangan suami istri, dan dapat menghalalkan berkumpul serta mengharamkan kawin dengan mertua.

SYARAT (ASY-SYARTH)
            Asy-Syarth (syarat) adalah suatu yang menjadi tempat bergantung wujudnya hukum. Tidak adanya syarat berarti pasti tidak adanya hukum, tetapi wujudnya syarath tidak pasti wujudnya hukum. Adapun perbedaan antara sebab dengan syarat adalah : bahwa ditemukan (adanya) syarat itu tidak memastikan adanya hukum. Oleh karenanya, adanya wudhu’ yang merupakan syarat shalat tidak menentukan/tidak mengakibatkan wajibnya shalat. Akan tetapi shalat menjadi tidak sah tanpa adanya wudhu’.
            Adapun sebab, ditemukan (adanya) sebab itu memastikan adanya hukum terkecuali bila ada mani’ (penghalang). Karenanya, datangnya waktu shalat, menjadikan shalat wajib dilakukan. Jika memabukkan maka diharamkan, dan jika ada pencuri maka wajib atasnya hukuman had dan demikian seterusnya.
            Secara umum syarat syarat merupakan penyempurna sebab atau penyempurna musabbab (efek). Atas dasar ini, Ulama Ushul mengatakan, bahwa syarat ada dua macam, yaitu : pertama syarat yang menyempurnakan sebab, dan kedua : syarat yang menyempurnakan musabbab (efek), maksudnya hakikat musabbab dan rukunnya. Syarat yang menyempurnakan sebab adalah syarat yang hikmahnya menguatkan ma’na sababy, seperti syarat berputarnya masa setahun menyangkut nishab yang mewajibkan zakat.
            Adapun syarat yang menyempurnakan musabbab (efek) adalah syarat yang menguatkan hakikat musabbab  (efek), yakni menguatkan rukun musabbab. Misalnya : adanya syarat persamaan dalam hukum qishas antara orang yang melakukan kejahatan dengan orang yang menjadi korban kejahatan, dari segi keutuhan dan kecacatan beberapa anggota tubuh dan semisalnya. Sesungguhnya asas hukum qishas adalah persamaan antara hukuman dengan kejahatan yang diperbuat. Dan hal tersebut tidak akan terpenuhi kecuali dengan adanya persamaan dalam hal kemerdekaan dan keutuhan/keselamatan beberapa anggota tubuh dan semisalnya, antara pelaku kejahatan dengan orang yang menjadi korban kejahatan.
            Para ahli Fiqh membedakan musabbab (efek) dengan rukun musabbab. Rukun musabbab adalah sesuatu yang diadakan untuk hakikat musabbab, bukan yang keluar dari musabbab. Seperti persaksian dalam akad nikah, apabila terjadi akad nikah dengan tanpa saksi maka hal itu berarti telah terealisasi. Jika syarat-syaratnya telah terpenuhi berarti telah menimbulkan pengaruh syara’ dan jika syarat-syaratnya belum terpenuhi maka ‘akad itu tidak menimbulkan dampak hukumnya secara syara’.
            Dari segi sasaran syarath (sesuatu yang disyarati), maka syarat terbagi lagi menjadi dua macam, yaitu : pertama, syarat-syarat bagi hukum taklifi, dan kedua, syarat-syarat bagi hukum wadh’y. sebagai contoh thaharah (bersuci) merupakan syarat untuk memenuhi suatu perbuatan taklifi yang diperintahkan Syari’ (pembuat hukum). Yang kedua, yaitu syarat-syarat untuk memenuhi hukum wadh’i, seperti adanya kemampuan (qudrah) untuk menyerahkan barang dalam akad jual beli merupakan syarat bagi akad yang dianggap sebagai sebab untuk mendapatkan hak pemilikan.
            Para ahli ushul membagi syarat-syarat yang berhubungan dengan hukum wadh’i menjadi dua macam, yaitu :
1.      Syarat syar’iyyah, yaitu syarat yang oleh Syari’ (pembuat hukum) dijadikan sebagai syarat untuk memenuhi sebab, atau untuk memenuhi musabbab.
2.      Syarat ja’liyyah, yaitu syarat-syarat di mana Syari’ (pembuat hukum) memperbolehkan pihak-pihak yang melakukan akad untuk membuat syarat dalam akad demi tegaknya hukum.
Syarat-syarat ja’liyyah yang merupakan hasil kesepakatan orang yang melalukan akad ini, terbagi menjadi dua, yaitu:
pertama: Syarat yang berhubungan dengan ujud akad, yaitu syarat yang menyempurnakan sebab, seperti menggantungkan akad pada syarat, seperti seseorang yang menyuruh orang lain untuk mengerjakan suatu perbuatan ketika dia sendiri tidak mampu menunaikannya. Ketidak mampuan itu merupakan syarat bagi terlaksananya pertanggunagan (al-kafalah), yaitu syarat yang menyempurnakan sebab, yakni akad pertanggungan (aqdul kafalah)
kedua: Syarat yang menyempurnakan musabbab, yaitu syarat yang menyertai akad lalu menguatkan ketetapan-ketetapannya. Seperti jual beli dengan syarat pembeli memberikan jaminan dengan harga barang, atau penjual memberikan jaminan sebagai ganti dari harga, jika dia masih berhak atas barang itu, agar menjadi jelas bahwa barang itu bukan lagi menjadi milik si penjual. Artinya, kedua syarat ini ada pada musabbab, sebagai hasil akad.
Syarat ja’liyyah(syarat dari hasil kesepakatan) yang diperbolehkan secara syari’, namun syari’ juga tidak memperbolehkan secara mutlak, dan juga tidak melarang secara mutlak. Para ahli fiqih berselisih pendapat ada yang mempersempit da nada yang memperluas batas kebolehan itu.

PENGHALANG (AL-MANI’)
Al-Mani’ (penghalang) ialah perkara syara’ yang keberadaannya menafikan tujuan yang dikehendaki oleh sebab atau hukum. Asy-Syathiby mendifinisikan mani’ sebagai: sebab yang menetapkakan hukum lain karena adanya ‘illat yang menafikan hikmahnya hukum. Contohnya; sebab wajibnya dikeluarkannya zakat adalah nishab, dan termasuk penghalang-penghalangnya (mawani’, jamak dari mani’) adalah bahwa orang yang bernishab itu ternyata mempunyai hutang yang sebanding dengan nishab atau sebagiannya.
Al-Mani’ (penghalang) ini terbagi menjadi dua bagian : Pertama : mani’ yang berpengaruh terhadap sebab, dan kedua, mani’ yang mempengaruuhi hukum sekaligus menghilangkannya. Contoh mani’ yang pertama: perbedaan agama dan pembunuh itu menyebabkan terhalangnya memperoleh harta waris. Contoh bagian kedua (mani’/penghalang yang menghilangkan hukum dan tidak menghilangkan sebab) adalah ; adanya hubungan kebapakan merupakan penghalang (mani’) dikenakan hukum qishas.          
Mani’ yang menghalangi hukum, bukan sebab terbagi menjadi tiga:
1.      Mani’ yang tidaj mungkin berkumpul dengan humum taklifi, yaitu beruoa hilangnya akal dengan segala sebabnya, yakni tertidur, gila atau sakit ayan.
2.      Mani’ yang dapat berkumpul dengan dasar pembebanan (taklifi).
3.      Mani’ yang tidak menghilangkan dasar tuntutan taklifi tetapi menghapuskan ketetapannya dan merubah tuntutan yang bersifat pasti (wajib) menjadi tuntutan yang bersifat pilihan (takhyiry).
Imam Asy-Syathiby menjadikan rukhshah (kemurahan) sebagai bagian dari penghalang (mani’) yang berdiri sendiri, dan menamakannya sebagai mani’ yang menghapuskan dosa.


SAH, RUSAK, DAN BATAL (ASH-SHIHHAH, AL-FASAD, AL-BUTHLAN)
            Sah, rusak dan batal merupakan sifat-sifat yang ada dalam hukum syara’, baik itu hukum taklifi maupun hukkum wadh’i. shalat yang termasuk dalam lingkup hukum taklifi misalnya, dituntut keabsahannya, di mana melaksanakannya merupakan suatu kewajiban ketika telah ditemukan (ada) sebabnya serta syarat-syaratnya telah terpenuhi.
            Demikian juga hukum-hukum wadh’i disebut dengan sah, rusak, dan batal. Sebab ssah akan mengakibatkan timbulnya efek hukum (musabbab), begitu juga syarat yang sah akan menjadikan sempurnanya sebab atau hukum. Sebagi contoh akad jual beli (‘aqdul-bai) yang sah akan mengakibatkan timbulnya pengaruh-pengaruh akad. Dan wudhu’ yang sah dapat dipergunakan untuk menunaikan shalat.
            Perbuatan ibadah terbagi menjadi dua : ibadah yang sah dan ibadah yang tidak sah. Para ahli fiqh sepakat, bahwa tidak ada perbedaan antara ibadah yang tidak sah dengan ibadah yang batal dan yang rusak. Artinya, jika ibadah-ibadah itu telah memenuhi semua rukun dan syarat sahnya berarti sudah cukup dan bebas dari tanggungan (taklif). Sedang jika ibadah itu kurang sebagian dari syarat atau rukunnya, berarti belum cukup dan dengan melaksanakannya semacam ini berarti belum bebas dari tanggungan. Dalam hal ini tiada perbedaan kekurangan dari rukun atau syaratnya.
            Para ahli fiqh telah sepakat bahwa, akad yang sah adalah akad yang rukun dan semua sifat-sifatnya sempurna, yakni rukun dan syarat sahnya terpenuhi sebagaimana ditetapkan syari’ (Allah). Akad yang sah menurut Jumhur ‘Ulama adalah: akad yang menjadi sebab timbulnya pengaruh hukum, dan terpenuhi semua syarat yang menyempurnakannya, serta tidak ada mani’ yang menghalangi keabsahan sebab-sebabnya.
            Akad yang tidak sah (ghairush-shahih) adalah: akad yang syarat dan rukun-rukunnya tidak terpenuhi. Ulama berpendapat bahwa akad yang tidak sah hanya ada satu macam, tiada perbedaan antara yang batal (al-bathil) dan yang rusak (al-fasid), begitu juga antara cacat dalam rukun sebab atau cacat dalam syarat dan sifat-sifatnya. Sedang ulama Hanafiyah mengatakan; bila cacat terdapat dalam rukun akad maka akad itu menjadi batal, ia tidak mengakibatkan timbulnya hukum karena tidak adanya sebab. Dasar yang menimbulkan pengaruh hukum pada mulanya adalah sebab, sedang syarat-syarat adalah yang menyempurnakannya. Rukun akad jual beli (‘aqdul-bai’) misalnya, jika ‘aqid (orang yang mengadakan akad) dan mabi’ (barang yang dijual) sempurna maka akad itu menjadi sebab yang sah.
            Adapun yang menjadi pangkal perbedaan pendapat itu ada dua hal yaitu :
1.      Bahwa larangan menurut pendapat Jumhur, adalah mencegah terbentuknya setiap pengaruh dari beberapa pengaruh akad.
2.      Bahwa hilangnya syarat-syarat yang diperintahkan Syari’ untuk menetapkan hukum adalah mencegah terhadap penetapan itu. Alasan mereka adalah suatu akad disertai dengan ujudnya larangan merupakan merupakan kedurhakaan terhadap perintah Syari’, sehingga akad itu tidak dianggap oleh Syari’ sebagi suatu ketetapan.
Menetapkan pengaruh-pengaruh pada suatu sebab yang dilarang oleh Syari’ berarti melakukan perbuatan yang tidak diperintahkan Nabi SAW. dan Syari’, karena dalam perbuatan itu sendiri terdapat larangan-Nya. Ulama salaf telah sepakat (ijma’), bahwa dengan adanya dalil larangan berarti mennunjukkan batalnya akad. Ulama Hanafiyah menganggap bahwa ijab, qabul dan mahallul-‘aqdi adalah rukun-rukun akad, dan dalam hal ini mereka katakana sebagai suatu sebab yang menimbulkan akad. Setiap cacat yang terdapat dalam rukun-rukun tersebut menjadikan batalnya akad, karena fungsi sebabnya (sababiyyah) tidak sah, sedang rukun akad adalah berupa sebab yang oleh Syari’ dijadikan tanda atas wujudnya hukum.
Akad yang batal adalah yang tidak terpenuhi rukun-rukunnya, atau tidak terpenuhi syarat-syarat yang menyempurnakan rukun. Misalnya, bila tempat akad (mahallul ‘aqdi) itu tidak diperbolehkan, atau barangnya tidak ada (ma’dum), atau barang itu tidak bisa diserahkan. Karena akad dalam contoh ini rukun atau dasarnya cacat maka, akad itu menjadi batal. Akad yang batal sebagai “akad yang sendinya cacat”. Maksudnya sendi yang menimbulkan adanya sebab dalam akad itu (ashlus-sababiyyah). Sedang akad yang rusak (fasid) adalah “akad yang tercacat pada sifatnya”. Maksudnya akad itu kurang sebagian syarat-syarat yang menyempurnakan hukumnya dan menimbulkan pengaruh-pengaruhnya.
Ulama Hanafiyah membagi akad menjadi tiga macam yaitu: akad yang sah (‘aqdun-shahih), akad yang batal adalah tidak mempunyai wujud dan Syari’ tidak memberi akibat hukum padanya. Karena di dlam akad tidak dijumpai unsur penyebab (sababiyyah). Akad yang rusak, sesungguhnya syarat-syaratnya dijumpai, karena rukun-rukun akad itu terdapat dengan lengkap serta terpenuhi pula syarat yang menyempurnakannya. Wujud akad itu telah ada, sedangkan kekurangannya terdapat pada syarat yang menyempurnakan hukum.
Akad jual beli yang rusak (fasid) tetap mempunyai wujud, tetapi Syari’ tidak memberi akibat hukum sedikit pun pada akad itu, bahkan mewajibkan untuk membatalkannya. Jika pembeli telah menerima barang, maka dengan penerimaan ini berarti ia memilikinya dan wajib membayar nilai barang (bukan harga), dan hak pemilikan atas barang itu menjadi hilang malahan wajin dibatalkan (difasakh). Maka tidak ada kewajiban apapun, sementara hak pemilikan itu berlaku tidak tetap sampai barangnya rusak, atau pembeli mempergunakan untuk menjadi hak milik orang lain.
Ulama Hanafiyah menetapkan bahwa akad yang rusak mempunyai wujud, namun berupa wujud yang kurang sempurna (naqish), yang tidak menumbulkan akibat hukum kecuali pada saat menerima barang atau pada saat melakukan akad. Karena melaksanakan akad-ketika itu berarti melaksanakan hukum dengan syarat yang kurang.  
Share:

0 comments:

PEMBACA YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN PESAN ;)

Tes iklan

Category

Contact Form

Name

Email *

Message *

Followers

SUBSCRIBE Yaa

Blue Generation (IKRH 619)

Blue Generation (IKRH 619)

Batman Begins - Diagonal Resize 2

About Me