AHKAMUSY SYARI"AH (HUKUM-HUKUM SYARI"AT)
W A J I B
Wajib adalah suatu perintah yang
harus dikerjakan, di mana orang yang meninggalkannya berdosa. Sebagian ulama
ahli Ushul Fiqh memberikan definisi bahwa “ wajib adalah suatu perintah, di
mana orang yang meninggalkan adalah tercela”. Menurut mazhab imam Hanafi bahwa
definisi fardu tidak sama dengan wajib menurut syara’. Menurut mazhab
Hanafi bahwa fardu adalah perintah yang berdasarkan dalil qath’I (pasti) yang tidak ada kebimbangan lagi, sedangkan wajib
adalah perintah yang berdasarkan dalil zhanni
yang masih mengandung keraguan. Perbedaan tersebut tentu mempunyai kosenkuensi
terhadap perbedaan nilai masing-masing, yaitu kepastian perintah wajib nilanya
di bawah kepastian perintah yang fardu. Sehingga ada ulama yang berpendapat
bahwa orang meninggalkan ibadah fardu maka batallah amal ibadahnya. Misalnya
orang yang menunaikan ibadah haji, tetapi tidak wuquf di Arafah maka batallah
ibadah hajinya. Akan tetapi orang yang meninggalkan wajib ibadahnya masih sah.
Misalnya orang yang menunaikan ibadah haji tetapi tidak melakukan sa’i antara
bukit Shafa dan Marwah, berarti ibadah hajinya batal karena kewajiban Sa’i bukan berdasarkan dalil qaht’i (pasti), tetapi hanya berdasarkan
dalil zhanni yang mengandung
keraguan.
Sebagian ulama mazhab Hanafi ada
yang menyebut perbuatan wajib yang pasti itu sebagai fardhu ‘amali. Dengan demikian seakan-akan mereka membagi fardhu
menjadi dua macam, yaitu :
1.
Fardhu dalam kenyakinan dan
amal (perbuatan), yaitu fardhu yang berdasarkan dalil qaht’i.
2.
Fardhu dalam perbuatan saja, yaitu
fardhu yang berdasarkan dalil zhanni.
Pembagian Wajib dari Segi Masa Pelaksanaannya
Dari segi masa
pelaksanaanya, wajib terbagi menjadi 2 macam
1.
Wajib muthlaq (bebas) yang pelaksanaanya tidak dibatasi oleh waktu
tertentu, sehingga seandainya dilaksanakan sampai batas akhir masa kemampuan
untuk melaksanakan tidak berdosa. Seperti mengqhada’ puasa Ramadhan bagi orang
yang ‘udzur. Menurut pendapat imam
Hanafi qhada’ puasa Ramadhan boleh
dilaksanakan kapan saja, tanpa dibatasi oleh waktu. Sedangkan menurut pendapat
imam Syafi’i bahwa orang yang mengqhada’ puasa Ramadhan di batasi oleh tahun di
mana orang tersebut meninggalkan puasa Ramadhan.
2.
Wajib yang harus dilaksanakan
pada waktu-waktu tertentu. Waktu tertentu tersebut merupakan tanda atas
wajibnya suatu perintah. Seperti waktu shalat, apabila sudah masuk maka menjadi
tanda atas wajibnya melaksanakan shalat tersebut. Wajib yang harus dilaksanakan
pada waktu-waktu tertentu (pelaksanaannya dibatasi oleh waktu) terbagi menjadi
dua macam, yaitu :
1.
Wajib muwassa’ (wajib yang mempunyai waktu luas) adalah ibadah yang
waktunya luas (panjang) yang cukup unntuk sambil melaksanakan ibadah yang lain.
Seperti ibadah shalat yang mempunyai waktu yang panjang misalnya shalat zhuhur,
disela-sela kita shalat zhuhur kita bisa melaksanakan shalat-shalat sunat yang
lain.
2.
Wajib mudhayyaq ialah suatu ibadah wajib, dimana waktu yang disediakan
untuk melaksanakannya sangat terbatas sehingga tidak cukup untuk melaksanakan
ibadah yang lain. Seperti ibadah puasa pada bulan Ramadhan di mana kita hanya
melakukan puasa saja tidak dapat diisi dengan puasa-puasa sunat lainnya.
Pembagian Wajib dari Segi Tertentunya Tuntutan
Dari segi
tertentunya sebuah tuntutan, maka wajib dibagi menjadi dua macam, yaitu :
1.
Wajib mu’ayyan ialah suatu kewajiban yang
hanya memounyai satu tuntutan, seperti membayar hutang, memenuhi akad,
membayar zakat dan sebagainya.
2.
Wajib mukhayyar ialah suatu kewajiban yang tidak hanya mempunyai satu
mamcam tuntutan tetapi mempunyai dua atau tiga alternative yang dapat dipilih.
Contoh kewajiban yang mempunyai dua alternatif ialah bahwa bagi imam (penguasa)
diperbolehkan memilih antara membebaskan tawanan perang atau menerima tebusan
mereka. Contoh kewajiban yang diperbolehkan untuk memilih tiga alternatif ialah
kaffarat sumpah.bagi orang yang
melanggar sumpahnya, ia diharuskan membayar kaffarat dengan memerdekakan hamba,
memberi makan 10 orang miskin, atau memberi pakaian kepada mereka, sedangkan
orang yang tidak mampu diwajibkan mengerjakan puasa tiga hari.
Pembagian Wajib dari Segi Kadar/Ukuran Perintah
Ditinjau dari
segi kadar/ukurannya, wajib terbagi menjadi dua macam, yaitu :
1.
Wajib yang mempunyai
ukuran-ukuran tertentu, seperti dalam pembagian harta pusaka.
2.
Wajib yang tidak mempunyai
ukuran-ukuran yang konkrit, seperti kadar mengusap kepala (ketika berwudhu’),
ukuran waktu ruku’ dan sujud dalam shalat, ukuran dalam memberikan dafkah/
biaya hidup sebelum ada hukum yang konkrit yang menjelaskan ukurna tersebut
yang ukurannya relative tergantung dari kemampuan setiap individu.
Pebagian Wajib dari Segi Pelaksananya
Dari segi
pelaksananya, wajib terbagi menjadi dua macam, yaitu :
1.
Wajib ‘aini ialah kewajiban yang harus dikerjakan oleh setiap orang
mukallaf, sehingga jika ia meninggal, berdosalah ia dan berhak disiksa.
Contohnya shalat, puasa, zakat, menepati akad (memenuhi janji), memberikan hak
orang lain yang berhak, dan kewajiban yang lainnya yang apabila ditinggalkan
akan mendapat dosa.
2. Wajib kafa’i (fardhu
kifayah) ialah suatu kewajiban yang hanya menuntut terwujudnya suatu pekerjaan
dari sekelompok masyarakat. Sehingga jika kewajiban itu sudah dikerjakan oleh
sebagian orang maka terbebaslah masyarat tersebut tetapi jika tidak ada yang
melakukan kewajiban tersebut maka berdosalah seluruh anggota masyarakat
tersebut. Seperti jihad untuk menegakkan agama Allah; amar ma’ruf nahi ‘anil munkar (memerintah kebaikan dan mencegah
kemungkaran); menshalati mayat; membentuk kepemimpinan yang kuat dikalangan
ummat Islam dan kewajiban-kewajiban yang lain yang tidak hanya dibebankan
kepada setiap orang, tapi harus dikerjakan oleh masyarakat secara keseluruhan.
M A N D U B/S U N N A H
Mandub ialah perbuatan yang dianjurkan oleh Syara’ (Allah) untuk
dikerjakan. Sebagai fuquha’ dari
aliran Syi’ah memberikan definisi mandub
ialah suatu perintah yang rajah –
sangat baik untuk dikerjakan, tapi juga boleh untuk ditinggalkan. Definisi ini
lebih luas dibandingkan dengan definisi yang lain, meskipun menterjihkan
perbuatan mandub tersebut tidak bersifat pasti sebagaimana yang kita pahami
dari teks tersebut.
Mandub juga dinamakan nafilah, sunnah, tathawwu’, mustahab dan
ihsan, yang semua sebutna ini mengacu
pada pengertian mandub di atas.
Setiap orang yang menganalisa hukum
syara’ pasti akan tahu bahwa mandub itu mempunyai beberapa tingkatan, di antaranya
ialah :
1.
Sunnah mu’akkadah, yaitu suatu sunnah
yang dijalankan oleh Rasulullah SAW secara kontinyu, tetapi beliau menjelaskan
bahwa hal tersebut bukan fardhu yang harus dikerjakan. Seperti shalat witir
(menurut ulama yang berpendapat sunnah), shalat dua rakaat setelah Maghrib dan
dua rakaat setelah Zhuhur, dua rakaat setelah shalat Isya’. Menurut sebagian
ulama bahwa bagi orang yang meninggalkan termasuk tercela meskipun tidak
disiksa karena berarti menentang (mengingkari) sunnah yang dikerjakan
Rasulullah SAW secara kontinyu. Sunnah mu’akkadah
menurut Jamhurul Fuqaha’ ialah nikah bagi orang yang mampu dan dalam
keadaan normal, membaca surat atau beberapa ayat al-Qur’an (dalam shalat)
sesudah membaca Fatihah.
2.
Sunnah ghairul mu’akkadah, yaitu sunnah
yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah SAW secara kontinyu. Seperti shalat empat
rakaat sebelum Zhuhur, empat rakaat sebelum Ashar, empat rakaat sebelum Isya’,
bershadaqah yang tidak fardhu, kecuali kepada irang yang sangat membutuhkan.
3.
Sunnah yang tingkatannya dibawah dua tingkatan di atas. Sunnah ini ialah mengikuti adat kebiasaan Rasulullah yang tidak ada
hubungannya dengan tugas tabligh (penyampaian
ajaran) dari Allah, atau penjelasan terhadap hukum syara’ . Seperti cara
berpakaian, makan dan minumnya Rasulullah, memelihara jenggot, merapikan kumis
yang semuanya ini merupakan adat kebiasaan yang baik.
H A R A M
Haram ialah larangan Allah yang pasti terhadap suatu perbuatan, baik
ditetapkan dengan dalil yang qath’i maupun
dalil zhanni. Menurut pendapat mazhab
Hanafi, hukum haram harus berdasarkan pada dalil qhat’i yang tidak mengandung keraguan sedikitpun. Oleh karena itu,
hukum-hukum haram yang berdasarkan pada dalil zhanni mereka sebut makruh
tahrim. Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad malah menyebutkan makruh
saja, agar tidak dikatakan haram.
Contoh-contoh perbuatan yang diharamkan diantaranya yaitu makan
bangkai, minum khamr (minuman keras), berzina, membunuh seseorang yang
diharamkan Allah tanpa ada hak, makan harta benda orang lain secara batil,
menyakiti orang lain dengan segala corak dan ragamnya serta dalam situasi dan
kondisi yang bagaimanapun kecuali untuk menolak bahaya yang lebih besar atau
parah.
Pembagian Haram
Dasar yang
dijadikan landasan hukum haram adalah adanya bahaya yang nyata yang tidak
diragukan lagi. Setiap perbuatan yang diharamkan oleh syara’ pasti mengandung
bahaya sedangkan perbuatan yang diperbolehkan oleh syara’ pasti mengandung
kemanfaatan yang banyak. Atas dasar ini, hukum haram terbagi menjadi dua macam
yaitu :
1.
Haram li-dzatih : yaitu perbuatan yang diharamkan oleh Allah karena
bahaya tersebut terdapat dalam perbuatan itu sendiri. Seperti makan bangkai,
minum khamr, berzina, mencuri yang bahayanya berhubungan langsung dengan lima
hal yang harus dijaga (ad-Dharuriyat
al-Khams), yakni badan, keturunan, harta benda, akal dan agama.
2.
Haram li-ghairih/’aridhi : yaitu perbuatan yang dilarang oleh syara’, di
mana adanya larangan tersebut bukan terletak pada perbuatan itu sendiri, tetapi
perbuatan tersebut dapat menimbulkan haram li-dzhatih.
Seperti melihat aurat perempuan, dapat menimbulkan perbuatan zina, sedang
zina diharamkan karena dzatiyahnya
sendiri. Jual-beli barang-barang secara riba yang diharamkan, karena dapat
menimbulkan riba yang diharamkan dzatiyahnya.
Perbedaan haram lidzatih dengan haram li-ghairih/’aridhi adalah sebagai
berikut :
1.
Haram li-dzatih apabila menyangkut akad, maka dapat membatalkan akad
tersebut. Karena haram lidzatih dapat
menimbulkan cacatnya akad. Sedangkan haram li-ghairih/’aridh,
di mana akad tersebut tidak batal, seperti jual beli pada waktu adzan Jum’at;
akad jual belli pada barang yang telah ditawar orang lain; akad nikah dengan
perempuan yang telah dipinang orang lain.
2.
Haram li-dzatih tidak diperbolehkann sama sekali, kecuali dalam keadaan dharurat (terpaksa). Alasannya karena
haram li-dzatih adalah langsung
berhubungan dengan hal-hal yang sangat vital sehingga keharaman tersebut tidak
dapat dihilangkan kecuali oleh sebab yang vital juga. Sedangkan haram li-ghairih boleh dikerjakan bila ada
hajat, meskipun tidak sampai tingkat dharurat (terpaksa). Alasannya haram li-ghairih tersebut tidak berhubungan
langsung dengan masalah yang vital.
M A K R U H
Menurut pendapat Jumhur Fuqaha’, makruh adalah suatu larangan syara’
terhadap suatu perbuatan, tetapi larangan tersebut tidak bersifat pasti,
larangan tidak ada yang menunjukkan atas haramnya perbuatan tersebut. Mazhab
Hanafi membagi makruh menjadi 2 macam yaitu:
1.
Makruh tahrim : yaitu larangan yang pasti yang didasarkan pada dalil zhanni yang masih mengandung keraguan.
Seperti memakai sutera, cincin dari emas dan perak bagi kaum lelaki. Makruh tahrim ini merupakan lawan (kebalikan)
dari hukum wajib.
2.
Makruh tanzih : suatu larangan syara’ terhadap suatu perbuatan, tetapi
larangan tersebut tidak bersifat pasti, larangan tidak ada yang menunjukkan
atas haramnya perbuatan tersebut. Makruh tanzih
ini merupakan lawan (kebalikan) dari hukum mandub.
Menurut pendapat Jumhur, bahwa orang yang yang mengerjakannya
tidaklah tercela sedangkan orang yang meninggalkannya adalah terpuji. Sedang
menurut mazhab Hanafi bahwa orang yang makruh tahrim tergolong tercela sedang orang yang melakukan makruh tanzih tidak, dan orang yang
meninggalkan keduanya tergolong terpuji.
M U B A H
Mubah adalah suatu hukum, dimana
Allah SWT memberikan kebebasan kepada orang mukallaf untuk memilih antara
mengerjakan suatu perbuatan atau meninggalkannya. Seperti makan, minum,
bergurau dan sebagainya. Imam Asy-Syaukani memberikan definisi mubah sebagai berikut
: “Mubah ialah suatu perbuatab yang apabila ditinggalkan sama-sama tidak
memperoleh pujian. Dalam arti seseorang itu tidak terkena bahaya (dosa) kalau
melaksanakan perbuatan tersebut atau meninggalkannya”. Disini dapat diketahui
bahwa yang dikategorikan dalam mubah yaitu suatu perbuatan yang pada mulanya
diharamkan, tetapi kareran ada suatu factor yang menyebabkan perbuatan tersebut
diperbolehkan. Seperti membunuh orang murtad, ditinjau dari segi kemanusiaan,
orang itu haram dibunuh, tetapi karena dia murtad, maka hilanglah keharaman
tersebut.
Hukum mubah ditetapkan karena ada
salah satu dari tiga hal, yaitu:
1.
Tiada berdosa bagi orang yang
mengerjakan perbuatan yang semula diharamkan, dengan ada qarinah (tanda-tanda) atas diperbolehkannya perbuatan tersebut.
2.
Tiada nash (dalil) yang
menunjukkan haramnya perbuatan tersebut contohnya mendengarkan dan
mempergunakan radio.
3.
Ada nash (dalil) yang
menunjukkan atas halalnya perbuatan tersebut, seperti makan makanan yang halal.
Imam Asy- Syatibi membagi mubah ditinnnjau dari segi penggunaannya
menjadi empat bagian, yaitu :
1.
Mubah yang dipergunakan untuk
melayani suatu perintah yang diwajibkan, yang disebut dengan mubah juz’i (temporer) secara kully (keseluruhan) diperintahkan
seperti makan dan nikah, seseorang tidak diperbolehkan untuk meninggalkan
selama-lamanya.
2.
Mubah yang dipergunakan untuk
melayani suatu perbuatan yang dilarang. Secara temporer perbuatan tersebut
diperbolehkan, tetapi tidak boleh dikerjakan terus menerus. Seperti bergurau
mendengarkan radio diperbolehkan secara temporer, tetapi seseorang yang berakal
sehat tidak boleh menghabisakan waktunya hanya untuk mendengarkan radio dan
bercanda gurau.
3.
Mubah yang dipergunakan untuk
melayani perbuatan yang mubah.
4.
Mubah yang tidak dipergunakan
untuk melayani apa-apa.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa hukum mubah itu hanya bersifat
temporer, tidak ada perbuatan mubah yang bersifat abadi (berlaku sepanjang
masa). Bahkan secara umum perbuatan mubah itu ada yang diperintahkan
(diwajibkan) dan ada pula yang dilarang (diharamkan).
SEBAB (AS-SABAB)
Sebab (as-Sabab) menurut Jumhur
Ulama adalah : sesuatu yang lahir dan jelas batasan-batasannya, yang oleh Allah
(al-Syari’, (Pembuat hukum)) dijadikan sebagai tanda bagi wujudnya hukum.
Berdasarkan definisi ini, ada dua esensi yang terkandung di dalamnya:
Pertama ; bahwa suatu tidak
sah dijadikan sebagai sebab kecuali Allah (Syari’) sendiri yang menjadikan
sebagai sebab. Karena hukum-hukum taklifi merupakan pembebanan dari Allah SWT,
maka yang membebani adalah Allah SWT. Dan jika yang membebani adalah merupakan
pembuat hukum (Syari’), maka Dialah yang menjadikan sebab-sebab sebagai dasar
hhukum-hukumnya.
Kedua : bahwa sebab-sebsab itu bukanlah yang mempengaruhi terhadap
wujudnya hukum-hukum taklifi, akan tetapi merupakan tanda bagi lahirnya
hukum-hukum itu. Asy- Syathiby mengatakan bahwa “sebab” bukanlah pelaku aktif
dengan sendirinya ia hanyalah menyertai terjadinya akibat (musabbab atau hukum), bukan yang menyebabkannya.
Pembagian Sebab
Sebab terbagi menjadi dua yaitu : pertama, sebab yang bukan berasal
dari perbuatan mukallaf, dan kedua, sebab yang berasal dari perbuatan mukallaf.
Sebab yang bukan berasal dari
perbuatan mukallaf (manusia) adalah sebab-sebab yang dijadikan oleh Allah
sebagai tanda atas wujud hukum.sepeti adanya waktu merupakan sebab bagi
wajibnya shalat; keadaan terpaksa merupakan sebab diperolehnya makan bangkai;
dan adanya kekhawatiran terjerumus dalam perzinaan bagi orang yang telah mampu
berkelluarga merupakan sebab bagi wajibnya nikah, dan demikian seterusnya.
Adapun sebab-sebab yang ada dalam
jangkauan kemampuan manusia (mukallaf) adalah perbuatan-perbuatan manusia
mukallaf yang oleh Allah dijadikan sebagai akibat timbulnya hukum. Seperti
bepergian jauh bagi orang yang sedang berpuasa, merupakan sebab
diperbolehkannya berbuka (ifthar),
akad nikah yang sah merupakan sebab dihalalkannya berkumpul, akad jual beli
merupakan sebab bagi timbulnya akibat-akibat hukum dan demikian seterusnya.
Sebab yang ada dalam jangkauan
manusia ini terbagi terbagi menjadi beberapa macam, antara lain berupa:
perbuatan yang diperintahkan (dituntut untuk dikerjakan), perbuatan yang
dituntut untuk ditinggalkan dan perbuatan yang diperbolehkan. Pada dasarnya,
selama hal itu ada dalsam batass kemampuan manusia, maka masih berkaitan dengan
hukum-hukum taklifi yang berupa tuntutan untuk dikerjakan, ditinggalkan dan
diperbolehkan. Oleh karena ada dua tinjauan berkenaan dengan sebab-sebab pada
bagian ini , yaitu : dari satu segi ia termasuk dalam khitab taklifi, dan dari
segi lain ia termasuk dalam khitab wadh’ i. jika dilihat dari segi kemampuan
manusia, tuntutan untuk mendatangkan manfaat dan menolak kemadharatan, maka
sebab-sebab termasuk dalam lingkup hukum taklifi. Dari sisi di mana dengan
sebab-sebab itu Allah (Syari’) menetapkan hukum-hukum lainnya maka termasuk
dalam lingkup hukum wadh’i; seperti akad nikah yang merupakna sebab untuk dapat
saling mewarisi harta warisan antara pasangan suami istri, dan dapat
menghalalkan berkumpul serta mengharamkan kawin dengan mertua.
SYARAT (ASY-SYARTH)
Asy-Syarth (syarat) adalah suatu
yang menjadi tempat bergantung wujudnya hukum. Tidak adanya syarat berarti pasti
tidak adanya hukum, tetapi wujudnya syarath tidak pasti wujudnya hukum. Adapun
perbedaan antara sebab dengan syarat adalah : bahwa ditemukan (adanya) syarat
itu tidak memastikan adanya hukum. Oleh karenanya, adanya wudhu’ yang merupakan
syarat shalat tidak menentukan/tidak mengakibatkan wajibnya shalat. Akan tetapi
shalat menjadi tidak sah tanpa adanya wudhu’.
Adapun sebab, ditemukan (adanya)
sebab itu memastikan adanya hukum terkecuali bila ada mani’ (penghalang). Karenanya, datangnya waktu shalat, menjadikan
shalat wajib dilakukan. Jika memabukkan maka diharamkan, dan jika ada pencuri
maka wajib atasnya hukuman had dan demikian seterusnya.
Secara umum syarat syarat merupakan
penyempurna sebab atau penyempurna musabbab
(efek). Atas dasar ini, Ulama Ushul mengatakan, bahwa syarat ada dua macam,
yaitu : pertama syarat yang menyempurnakan sebab, dan kedua : syarat yang
menyempurnakan musabbab (efek),
maksudnya hakikat musabbab dan
rukunnya. Syarat yang menyempurnakan sebab adalah syarat yang hikmahnya menguatkan
ma’na sababy, seperti syarat
berputarnya masa setahun menyangkut nishab yang mewajibkan zakat.
Adapun syarat yang menyempurnakan musabbab (efek) adalah syarat yang
menguatkan hakikat musabbab (efek), yakni menguatkan rukun musabbab. Misalnya : adanya syarat
persamaan dalam hukum qishas antara orang yang melakukan kejahatan dengan orang
yang menjadi korban kejahatan, dari segi keutuhan dan kecacatan beberapa
anggota tubuh dan semisalnya. Sesungguhnya asas hukum qishas adalah persamaan
antara hukuman dengan kejahatan yang diperbuat. Dan hal tersebut tidak akan
terpenuhi kecuali dengan adanya persamaan dalam hal kemerdekaan dan
keutuhan/keselamatan beberapa anggota tubuh dan semisalnya, antara pelaku
kejahatan dengan orang yang menjadi korban kejahatan.
Para ahli Fiqh membedakan musabbab (efek) dengan rukun musabbab. Rukun musabbab adalah sesuatu yang diadakan untuk hakikat musabbab, bukan yang keluar dari musabbab. Seperti persaksian dalam akad
nikah, apabila terjadi akad nikah dengan tanpa saksi maka hal itu berarti telah
terealisasi. Jika syarat-syaratnya telah terpenuhi berarti telah menimbulkan
pengaruh syara’ dan jika syarat-syaratnya belum terpenuhi maka ‘akad itu tidak
menimbulkan dampak hukumnya secara syara’.
Dari segi sasaran syarath (sesuatu yang disyarati), maka
syarat terbagi lagi menjadi dua macam, yaitu : pertama, syarat-syarat bagi
hukum taklifi, dan kedua, syarat-syarat bagi hukum wadh’y. sebagai contoh thaharah
(bersuci) merupakan syarat untuk memenuhi suatu perbuatan taklifi yang
diperintahkan Syari’ (pembuat hukum).
Yang kedua, yaitu syarat-syarat untuk
memenuhi hukum wadh’i, seperti adanya
kemampuan (qudrah) untuk menyerahkan
barang dalam akad jual beli merupakan syarat bagi akad yang dianggap sebagai
sebab untuk mendapatkan hak pemilikan.
Para ahli ushul membagi
syarat-syarat yang berhubungan dengan hukum
wadh’i menjadi dua macam, yaitu :
1.
Syarat syar’iyyah, yaitu syarat yang oleh Syari’ (pembuat hukum) dijadikan sebagai syarat untuk memenuhi
sebab, atau untuk memenuhi musabbab.
2.
Syarat ja’liyyah, yaitu syarat-syarat di mana Syari’ (pembuat hukum) memperbolehkan pihak-pihak yang melakukan
akad untuk membuat syarat dalam akad demi tegaknya hukum.
Syarat-syarat ja’liyyah
yang merupakan hasil kesepakatan orang yang melalukan akad ini, terbagi menjadi
dua, yaitu:
pertama: Syarat yang berhubungan dengan ujud akad, yaitu syarat yang
menyempurnakan sebab, seperti menggantungkan akad pada syarat, seperti
seseorang yang menyuruh orang lain untuk mengerjakan suatu perbuatan ketika dia
sendiri tidak mampu menunaikannya. Ketidak mampuan itu merupakan syarat bagi
terlaksananya pertanggunagan (al-kafalah),
yaitu syarat yang menyempurnakan sebab, yakni akad pertanggungan (aqdul kafalah)
kedua: Syarat yang menyempurnakan musabbab, yaitu syarat yang menyertai akad lalu menguatkan
ketetapan-ketetapannya. Seperti jual beli dengan syarat pembeli memberikan
jaminan dengan harga barang, atau penjual memberikan jaminan sebagai ganti dari
harga, jika dia masih berhak atas barang itu, agar menjadi jelas bahwa barang
itu bukan lagi menjadi milik si penjual. Artinya, kedua syarat ini ada pada musabbab, sebagai hasil akad.
Syarat ja’liyyah(syarat
dari hasil kesepakatan) yang diperbolehkan secara syari’, namun syari’ juga
tidak memperbolehkan secara mutlak, dan juga tidak melarang secara mutlak. Para
ahli fiqih berselisih pendapat ada yang mempersempit da nada yang memperluas
batas kebolehan itu.
PENGHALANG (AL-MANI’)
Al-Mani’ (penghalang) ialah perkara syara’ yang keberadaannya menafikan
tujuan yang dikehendaki oleh sebab atau hukum. Asy-Syathiby mendifinisikan mani’ sebagai: sebab yang menetapkakan
hukum lain karena adanya ‘illat yang
menafikan hikmahnya hukum. Contohnya; sebab wajibnya dikeluarkannya zakat
adalah nishab, dan termasuk penghalang-penghalangnya (mawani’, jamak dari mani’)
adalah bahwa orang yang bernishab itu ternyata mempunyai hutang yang sebanding
dengan nishab atau sebagiannya.
Al-Mani’ (penghalang) ini terbagi menjadi dua bagian : Pertama : mani’ yang berpengaruh terhadap sebab, dan
kedua, mani’ yang mempengaruuhi hukum
sekaligus menghilangkannya. Contoh mani’
yang pertama: perbedaan agama dan pembunuh itu menyebabkan terhalangnya
memperoleh harta waris. Contoh bagian kedua (mani’/penghalang yang menghilangkan hukum dan tidak menghilangkan
sebab) adalah ; adanya hubungan kebapakan merupakan penghalang (mani’) dikenakan hukum qishas.
Mani’ yang menghalangi hukum, bukan sebab terbagi menjadi tiga:
1.
Mani’ yang tidaj mungkin berkumpul
dengan humum taklifi, yaitu beruoa hilangnya akal dengan segala sebabnya, yakni
tertidur, gila atau sakit ayan.
2.
Mani’ yang dapat berkumpul dengan dasar pembebanan
(taklifi).
3.
Mani’ yang tidak menghilangkan dasar
tuntutan taklifi tetapi menghapuskan ketetapannya dan merubah tuntutan yang
bersifat pasti (wajib) menjadi tuntutan yang bersifat pilihan (takhyiry).
Imam Asy-Syathiby menjadikan rukhshah (kemurahan) sebagai bagian
dari penghalang (mani’) yang berdiri
sendiri, dan menamakannya sebagai mani’
yang menghapuskan dosa.
SAH, RUSAK, DAN BATAL (ASH-SHIHHAH, AL-FASAD, AL-BUTHLAN)
Sah, rusak dan batal merupakan
sifat-sifat yang ada dalam hukum syara’, baik itu hukum taklifi maupun hukkum wadh’i. shalat yang termasuk dalam
lingkup hukum taklifi misalnya, dituntut keabsahannya, di mana melaksanakannya
merupakan suatu kewajiban ketika telah ditemukan (ada) sebabnya serta
syarat-syaratnya telah terpenuhi.
Demikian juga hukum-hukum wadh’i disebut dengan sah, rusak, dan
batal. Sebab ssah akan mengakibatkan timbulnya efek hukum (musabbab), begitu juga syarat yang sah akan menjadikan sempurnanya
sebab atau hukum. Sebagi contoh akad jual beli (‘aqdul-bai) yang sah akan mengakibatkan timbulnya pengaruh-pengaruh
akad. Dan wudhu’ yang sah dapat dipergunakan untuk menunaikan shalat.
Perbuatan ibadah terbagi menjadi dua
: ibadah yang sah dan ibadah yang tidak sah. Para ahli fiqh sepakat, bahwa
tidak ada perbedaan antara ibadah yang tidak sah dengan ibadah yang batal dan
yang rusak. Artinya, jika ibadah-ibadah itu telah memenuhi semua rukun dan
syarat sahnya berarti sudah cukup dan bebas dari tanggungan (taklif). Sedang jika ibadah itu kurang
sebagian dari syarat atau rukunnya, berarti belum cukup dan dengan melaksanakannya
semacam ini berarti belum bebas dari tanggungan. Dalam hal ini tiada perbedaan
kekurangan dari rukun atau syaratnya.
Para ahli fiqh telah sepakat bahwa,
akad yang sah adalah akad yang rukun dan semua sifat-sifatnya sempurna, yakni
rukun dan syarat sahnya terpenuhi sebagaimana ditetapkan syari’ (Allah). Akad yang sah menurut Jumhur ‘Ulama adalah: akad
yang menjadi sebab timbulnya pengaruh hukum, dan terpenuhi semua syarat yang
menyempurnakannya, serta tidak ada mani’
yang menghalangi keabsahan sebab-sebabnya.
Akad yang tidak sah (ghairush-shahih) adalah: akad yang
syarat dan rukun-rukunnya tidak terpenuhi. Ulama berpendapat bahwa akad yang
tidak sah hanya ada satu macam, tiada perbedaan antara yang batal (al-bathil) dan yang rusak (al-fasid), begitu juga antara cacat
dalam rukun sebab atau cacat dalam syarat dan sifat-sifatnya. Sedang ulama
Hanafiyah mengatakan; bila cacat terdapat dalam rukun akad maka akad itu
menjadi batal, ia tidak mengakibatkan timbulnya hukum karena tidak adanya
sebab. Dasar yang menimbulkan pengaruh hukum pada mulanya adalah sebab, sedang
syarat-syarat adalah yang menyempurnakannya. Rukun akad jual beli (‘aqdul-bai’) misalnya, jika ‘aqid (orang yang mengadakan akad) dan mabi’ (barang yang dijual) sempurna maka
akad itu menjadi sebab yang sah.
Adapun yang menjadi pangkal
perbedaan pendapat itu ada dua hal yaitu :
1.
Bahwa larangan menurut pendapat
Jumhur, adalah mencegah terbentuknya setiap pengaruh dari beberapa pengaruh
akad.
2.
Bahwa hilangnya syarat-syarat
yang diperintahkan Syari’ untuk
menetapkan hukum adalah mencegah terhadap penetapan itu. Alasan mereka adalah
suatu akad disertai dengan ujudnya larangan merupakan merupakan kedurhakaan
terhadap perintah Syari’, sehingga
akad itu tidak dianggap oleh Syari’
sebagi suatu ketetapan.
Menetapkan pengaruh-pengaruh pada suatu sebab yang dilarang oleh Syari’ berarti melakukan perbuatan yang
tidak diperintahkan Nabi SAW. dan Syari’,
karena dalam perbuatan itu sendiri terdapat larangan-Nya. Ulama salaf telah
sepakat (ijma’), bahwa dengan adanya dalil larangan berarti mennunjukkan
batalnya akad. Ulama Hanafiyah menganggap bahwa ijab, qabul dan mahallul-‘aqdi
adalah rukun-rukun akad, dan dalam hal ini mereka katakana sebagai suatu sebab
yang menimbulkan akad. Setiap cacat yang terdapat dalam rukun-rukun tersebut
menjadikan batalnya akad, karena fungsi sebabnya (sababiyyah) tidak sah, sedang rukun akad adalah berupa sebab yang
oleh Syari’ dijadikan tanda atas
wujudnya hukum.
Akad yang batal adalah yang tidak terpenuhi rukun-rukunnya, atau
tidak terpenuhi syarat-syarat yang menyempurnakan rukun. Misalnya, bila tempat
akad (mahallul ‘aqdi) itu tidak
diperbolehkan, atau barangnya tidak ada (ma’dum),
atau barang itu tidak bisa diserahkan. Karena akad dalam contoh ini rukun atau
dasarnya cacat maka, akad itu menjadi batal. Akad yang batal sebagai “akad yang
sendinya cacat”. Maksudnya sendi yang menimbulkan adanya sebab dalam akad itu (ashlus-sababiyyah). Sedang akad yang
rusak (fasid) adalah “akad yang
tercacat pada sifatnya”. Maksudnya akad itu kurang sebagian syarat-syarat yang
menyempurnakan hukumnya dan menimbulkan pengaruh-pengaruhnya.
Ulama Hanafiyah membagi akad menjadi tiga macam yaitu: akad yang sah
(‘aqdun-shahih), akad yang batal adalah
tidak mempunyai wujud dan Syari’
tidak memberi akibat hukum padanya. Karena di dlam akad tidak dijumpai unsur
penyebab (sababiyyah). Akad yang
rusak, sesungguhnya syarat-syaratnya dijumpai, karena rukun-rukun akad itu
terdapat dengan lengkap serta terpenuhi pula syarat yang menyempurnakannya.
Wujud akad itu telah ada, sedangkan kekurangannya terdapat pada syarat yang
menyempurnakan hukum.
Akad jual beli yang rusak (fasid)
tetap mempunyai wujud, tetapi Syari’
tidak memberi akibat hukum sedikit pun pada akad itu, bahkan mewajibkan untuk
membatalkannya. Jika pembeli telah menerima barang, maka dengan penerimaan ini
berarti ia memilikinya dan wajib membayar nilai barang (bukan harga), dan hak
pemilikan atas barang itu menjadi hilang malahan wajin dibatalkan (difasakh).
Maka tidak ada kewajiban apapun, sementara hak pemilikan itu berlaku tidak
tetap sampai barangnya rusak, atau pembeli mempergunakan untuk menjadi hak
milik orang lain.
Ulama Hanafiyah menetapkan bahwa akad yang rusak mempunyai wujud,
namun berupa wujud yang kurang sempurna (naqish),
yang tidak menumbulkan akibat hukum kecuali pada saat menerima barang atau pada
saat melakukan akad. Karena melaksanakan akad-ketika itu berarti melaksanakan
hukum dengan syarat yang kurang.
0 comments:
Post a Comment